Zahra hampir saja menabrak mobil di depannya jika dia tidak segera sadar. Untung saja, kesadarannya kembali. Dia langsung mengerem sebelum sampai mencium bemper belakang mobil di depannya. “Ya Allah, selamatkan aku setidaknya sampai di rumah.” Zahra melaju kembali dengan lebih hati-hati. Dia sudah tidak menangis lagi. Emosinya sudah lebih stabil.
***Meyyis***
Zahra sudah sampai di depan rumah. Terlihat Jelita berlari menyusulnya. Anak itu seperti mengerti bila ibunya menangis. Dia menarik baju ibunya dan mengusap sisa air matanya.
“Mama jangan menangis.” Demikian tangan mungilnya mengatakannya, walau Zahra masih terbata mengeja yang dikatakan putrinya tersebut.
“Terima kasih, Sayang.” Zahra menggendong bocah itu masuk ke rumah. Hari ini Zahra menjadi pemalas. Dia hanya duduk diam saja, semua dikerjakan oleh pembantu. Wanita yang menjadi asisten rumah tangga itu menawari Zahra ma
“Kenapa nggak, Mas? Bukankah menolong orang itu hukumnya wajib? Kita mampu, kenapa tidak?” Raehan tersenyum kecut dengan kata-kata sang istri tersebut. Ah, lagi-lagi itu luput dari pantauan Zahra. Raehan merasa sedikit gelisah dengan kedatangan wanita itu.***MEYYIS***Malam itu, wanita itu merintih karena perutnya terasa sakit. Zahra membawanya ke rumah sakit. Saat dini hari tiba, Zahra dan seluruh anggota keluarga termasuk pembantunya juga ikut. Kecuali Jelita dan pengasuhnya.“Dok, apa yang terjadi?” tanya Zahra pada dokter.“Wanita ini mengalami keguguran, Nyonya. Bayinya tidak bisa diselamatkan lagi.” Zahra menganga menutup mulutnya karena kaget ternyata wanita itu dalam keadaan hamil. Maka dilakukan prosedur untuk membersihkan janinnya. Semua beres malam itu. Pagi harinya, wanita itu sudah boleh di bawa pulang. Zahra dengan seluruh kebaikan hatinya merawa
Raehan selalu tidak bisa menolak jika sudah seperti ini. Dia memejamkan mata menikmati haru tubuh wanita itu. Lelaki itu terbuai lagi dan lagi. Maka terjadi interaksi pertemuan antara bibir dan bibir yang tidak terelakkan lagi.“Mbak Zoya ....” Zahra datang saat itu. Dia sangat kaget.***Meyyis***Zoya dan Raehan refleks saling melepaskan tautannya mendengar suara Zahra. “Mas Raehan? Kamu ke sini lagi?” Zahra kaget karena suaminya kembali lagi.“Ah, itu anu. Aku mencarimu. Tadi Jelita menanyakanmu.” Zahra memang terlalu polos. Dia percaya dengan alasan dari Raehan.“Zoh, benarkah? Anak kita sangat baik. Dia pasti mengerti. Baiklah, mungkin Bibi saja suruh ke sini, ya?” Zahra memberikan alternatif.“Tidak usah, Mbak Zahra. Saya sudah lumayan sehat. Biarkan saya sendiri.Mbak Zahra kalau mau pulang juga tidak apa-apa
“Seandainya aku bisa keluar dari masalah pelik ini?” Raehan masih terus menganiaya dirinya dengan menjambak rambutnya untuk meredakan rasa pusing yang mendera. Setidaknya itu menurut perasaannya.***MEYYIS***Hari-hari berjalan normal. Kini Zoya sudah sembuh. Atas ijin Zahra, Zoya kerja dikantor. Di sinilah belang mereka terungkap. Bahwa semua perselingkuhan itu terungkap dengan ijin Allah. Zahra menemukan semua nota dan juga bekas tanda cinta berwarna merah di leher suaminya. Awalnya, Zahra mengira hanya perasaannya saja. Nota-nota itu juga hanya nota restoran. Dia mengira hanya suaminya ingin makan direstoran saja. Sampai semakin lama, tingkah laku Raehan berubah.“Pa, kamu membeli parfum baru?” tanya Zahra saat bercengkarama dengan Raehan.“Ha, oh ... iya-iya aku membeli parfum baru, kenapa?” Raehan terlihat gugup.
“Bukan begitu, ya sudah jangan ngambek lagi. Kau memang yang paling enak.” Raehan memeluk tubuh itu dari belakang. Ah, mereka sangat menjijikkan. Raehan, Raehan, kau akan sadar ketika Zahra sudah tidak ada disampingmu. Saat itu tiba, mau menangis darah juga kau tak akan bisa membuat diri Zahra kembali. Entah karena kematian, atau perceraian. Tak selamanya diri bisa menutup kebobrokan. ***Meyyis***Hari demi hari berjalan hambar. Pernikahan Zahra dan Raehan sudah jauh dari kata ‘SAMAWA’ sebuah kata yang bersanding dari hakikat pernikahan. Raehan mulai bisa protes dengan yang dilakukan Zahra. Seakan semua serba salah. Seperti pagi ini saat Zahra baru pulang.“Papa kemana semalaman? Tidak memberi kabar?” tanya Zahra. Dia meminta tas yang dijinjing oleh sang suami. Raehan menunjukkan ketidaksukaannya. Dia menyorot tajam ke arah Zahra, hingga wanita itu hanya menunduk.
Bagai lolos hati Zahra. Dia melakukan semua itu karena Raehan yang meminta. Dia melarang Zahra berdandan karena kecantikannya akan memikat seluruh klien laki-lakinya. Dia cemburu pada setiap laki-laki yang memandang istrinya saat mereka bersama. Mengapa sekarang berubah? Zahra semakin tergugu dengan Rehan yang sudah mengoyak seluruh baju yang dia kenakan.***MEYYIS***Zahra merasa sakit diseluruh tubuhnya. Tidak hanya bagian inti tubuhnya yang merasakan sakit tak terkira akibat pemaksaan itu. Namun lebih dari pada itu. Jiwanya juga merasa terkoyak karena pemaksaan itu. Dia telentang memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Malam ini sungguh tidak ada keikhlasan dalam jiwanya. Tubuhnya sangat rapuh dan merasa gemetar dalam diam. Sedangkan Raehan sudah terlelap. Setelah beberapa saat, Zahra bangkit dan memunguti baju-bajunya yang sudah sobek di mana-mana. Dia beranjak mandi. Si bawah pancuran air wanita itu bercampur dengan air shower ya
Sebenarnya memang Zahra putri dari pengusaha terkenal. Saat ayahnya meninggal, Zahra masih berusia dua puluh tahun saat itu, kuliah semester lima. Dia harus menikah dengan Raehan satu tahun kemudian selepas dia lulus kuliah. Walau sempat mencicipi kerja hanya sekitar dua bulan.*Flash Back Off****Meyyis***“Cukup, Sayang! Tidak usah diteruskan. Pelan-pelan saja. Bukan aku tidak mau mendengarmu. Tubuh kamu sudah tidak bisa mentoleransi kesedihan itu. Cukup untuk hari ini. Aku mencintaimu dengan seluruh yang ada pada dirimu. Jika memang setelah menikah kau belum bisa melakukan kewajibanmu, aku akan bantu kamu untuk sembuh dari trauma.” Marc memeluk tubuh itu. Ya, tubuh tremor Zahra yang sudah tidak bisa mentoleransi semua kejadian yang dia terima. Penganiayaan dan penistaan yang dilakukan oleh Raehan membuatnya sangat takut.“Tapi ....” Zahra memotong kalimantnya karena telunjuk Marc berada
“Cepatlah mandi, sudah bau tahu!” canda Zahra. Marc hanya nyengir menunjukkan giginya yang memutih.“Marc!” Marc menoleh.“Ada apa?”“Mandi dulu, aku mau bicara.”***MEYYIS***Marc keluar dari kamar mandi dengan rambut yang m,asih basah. “Sudah jam setengah dua belas. Kamu tidak tidur, Sayang.” Ah, panggilan itu terdengar merdu. Marc sudah tidak sungkan lagi memanggil Zahra dengan sebutan sayang.“Aku mau ngomong sesuatu.” Marc masih kalungan handuk. Dia sesekali mengeringkan dengan handuknya itu. Mendengar Zahra akan bicara sesuatu, lelaki itu menghentikan aksinya. Ah, Marc memang sangat tampan. Zahra tidak munafik tergoda. Apalagi dengan bulu-bulu halus yang mulai nampak di sekitar rahangnya. Zahra memejamkan matanya untuk menetralkan pikirannya.“Iya ngomong aj
“Aku tidak peduli, yang menikah itu aku dan kamu bukan mereka.” Zahra menghangat hatinya, tapi juga sedih. Jika orang tua Marc tidak menyukainya itu berarti dia sebagai pemicu pertengkaran keduanya. Semoga saja orang tua Marc menyetujuinya. Mereka saling diam sampai beberapa menit.***Meyyis***Esok hari menjelang. Dunia terasa berpihak padanya Marc hari ini. Mentari dengan lembut bersinar, ketika Marc sudah rapi mau menuju masa depannya. Ya, hari ini dia akan mengurus sudat-surat yang sudah hilang selain itu pengantar nikah juga. Ya, sekarang adalah lima hari menjelang Idul Fitri. Marc berjanji, saat malam suci itu mereka sudah berstatus sebagai suami istri. Lelaki bule itu memang ingin menepati apa yang sudah keluar dari tenggorokanya. Baginya, menepati janji hukumnya wajib.“Ruben? Kalau kau sibuk, aku tidak memaksamu untuk mengantarkanku.” Ruben baru saja memarkirkan mobilnya ketika Marc sampai di basement