Alvano itu ibarat setetes air di padang pasir nggak sih?
“Lita, tolong kamu jelasin sama aku. Kenapa kamu mau jadi asisten aku? Nggak mungkin kamu nggak kenal aku, ‘kan?” suara Isvara terdengar tegas. Kini dia sudah bersandar di kursi penumpang belakang, tangan terlipat di dada, sorot matanya menatap tajam ke arah kursi depan.Lita yang memegang kemudi menelan ludah. Jemarinya mengencang di setir, sebelum akhirnya dia menjawab, “Saya memang kenal, Non Isvara. Dan justru itu alasannya. Saya mau minta maaf.”“Minta maaf buat apa?” sahut Isvara ketus.“Untuk masa lalu.” Lita melirik sebentar ke spion tengah, lalu kembali fokus ke jalan. Wajahnya serius, jauh dari senyum formal yang tadi dia tunjukkan di depan Alvano. “Saya tahu saya salah sudah ikut-ikutan bully Non waktu SMP. Saya tidak punya alasan untuk membenarkan. Saya hanya bisa bilang saya menyesal. Dan saya berharap, lewat kerja ini saya bisa perbaiki semuanya.”Isvara tercekat. Ingatan itu kembali begitu saja: saat dirinya dibilang gila, rambut ditarik sambil diteriaki kata-kata kejam,
“Mas! Kenapa dia yang jadi asisten aku?!” semprot Isvara begitu pintu kamar tertutup. Wajahnya memerah, jelas-jelas menuntut penjelasan.Alvano menoleh pelan, keningnya berkerut. “Memang apa yang salah?”“Maksud aku, dia siapa?” ralat Alvano cepat. “Aku cuma ambil dia dari yayasan. Dan kebetulan dia orang yang sesuai sama kriteria: mantan perawat gizi, bisa dampingin kamu, ngerti kesehatan.”“Tapi kenapa kamu nggak bilang dulu? Kenapa semua harus keputusan kamu? Kamu selalu begini! Bertindak sendirian, seolah aku ini cuma penumpang. Padahal kita ini tim. Kamu memang leader, tapi aku juga punya andil dalam hubungan ini. Bisa nggak sih sekali aja kamu diskusi dulu sama aku?!” cecar Isvara.Alvano terdiam. Kata-kata itu menohok. Dia tahu, selama ini dia memang terbiasa mengatur tanpa banyak bertanya, bahkan kepada istrinya. Perlahan, dia menghela napas, lalu mengakui, “Oke. Untuk yang satu ini, aku salah. Aku minta maaf, Ra.”Isvara masih menatapnya, penuh luka dan amarah.“Tapi,” Alvano
Tanpa sepatah kata pun, Alvano bangkit. Langkahnya tenang menuju meja rias. Isvara menelan ludah, matanya mengikuti setiap gerakan suaminya. Saat pria itu kembali dengan sebotol lotion beraroma lavender di tangan, napasnya langsung kacau.Alvano membuka tutup botol itu perlahan, lalu menunduk hingga wajahnya dekat sekali dengan istrinya. Senyum samar di bibirnya, tapi tatapannya terlalu dalam. “Kamu siap, Ra?” bisiknya rendah, nyaris seperti ajakan yang berbahaya.‘Ya Tuhan … jangan bilang dia serius!’ Wajah Isvara memanas seketika, tangannya refleks menutupi pipi. “Mas! Kamu … kamu jangan aneh-aneh ya!” serunya panik, nyaris meloncat dari kursi.Padahal wajar saja, pasangan suami istri tentu tidak tabu melakukan itu. Namun bagi Isvara, kedekatan seperti ini masih membuatnya gugup. Seakan setiap gerak Alvano selalu terasa baru dan membuat jantungnya berantakan.Alvano hanya terkekeh kecil, lalu menggandeng tangannya. Dengan santai dia menuntun Isvara ke ranjang. Semakin paniklah pere
Sepanjang perjalanan menuju ruang rawat istrinya, langkah Alvano lebih lambat dari biasanya. Ucapan dr. Lestari terus terngiang di kepalanya. Ternyata perjuangan menahan kebutuhan biologisnya selama trimester pertama tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan Isvara yang harus menahan mual, lelah, dan nyeri setiap hari demi dua nyawa kecil dalam rahimnya. Ada rasa malu sekaligus tekad baru dalam dirinya: dia ingin jadi sandaran, bukan beban.Akhirnya, Alvano membuka pintu kamar VIP dengan hati-hati. Cahaya lampu temaram menyambutnya, bersama sosok Isvara yang sudah setengah duduk di ranjang. Wajahnya masih pucat, pipinya belum kembali berwarna, tapi begitu melihat suaminya masuk, matanya berbinar kecil, seolah itu sudah cukup untuk membuat dunia terasa lebih ringan.“Mas, dari mana?” tanyanya lembut, suaranya masih serak tapi jelas lebih segar dari sebelumnya.Alvano menutup pintu, lalu mendekat. “Baru ngobrol sama dr. Lestari. Tidur kamu nyenyak?” tanyanya kemudian, dia meraih kursi d
Brakk! Jefri langsung tersedak kopinya sampai nyaris keluar lewat hidung. Dia buru-buru menutup mulut dengan tangan. “Mas … maksudnya–”“Dewa! Jangan bilang kamu–”“Bukan kayak yang kalian pikir! Cuma … ya, semacam kecelakaan kecil,” kilah Dewangga cepat, kedua tangannya terangkat panik.“Dewa!” Suara Alvano meninggi, nyaris membentak. Untung saja dia masih sadar mereka sedang di kafetaria rumah sakit, sehingga nada tajam itu tertahan di tenggorokan.“Mas, sumpah aku nggak rencanain.” Napas Dewangga tersengal, matanya gelisah. “Waktu itu aku lagi di klub, terus lihat Aruna dipegang-pegang sama cowok lain. Aku mabuk, marah, dan akhirnya kelewatan.”Ya, seperti yang semua orang tahu, Aruna memang ratu klub sejak dulu.Jefri menunduk makin dalam, pura-pura sibuk mengaduk kopi, padahal telinganya panas seperti habis disetrika.“Memang kamu nggak pakai … itu?” Alvano sengaja menahan kata yang jelasnya, mengingat mereka ada di tempat umum.“Boro-boro, Mas. Namanya juga lagi mabuk, ya gas aja
Ratna menyalakan mesin USG, gel dingin kembali dioleskan ke perut Isvara. Isvara spontan menggenggam tangan Alvano lebih erat.“Relax ya, Bu. Kita cek perkembangan si kembar,” ujar Ratna lembut.Monitor menyala, menampilkan bayangan dua janin mungil yang bergerak samar. Detak jantung terdengar ritmis, memenuhi ruangan dengan bunyi yang membuat dada mereka bergetar.Alvano menunduk, matanya terpaku tanpa berkedip. “Itu … mereka makin jelas,” gumamnya lirih, seolah takut suaranya bisa merusak momen. Jemarinya refleks mengusap kepala Isvara.“Betul, Pak.” Ratna tersenyum sambil menunjuk layar. “Sekarang usia kandungannya masuk tujuh minggu lebih. Janin satu sudah 1,1 cm, janin dua sekitar 1,2 cm. Pertumbuhannya bagus, stabil, dan keduanya punya detak jantung yang kuat. Tidak ada tanda bahaya.”Isvara mengembuskan napas lega, matanya berkaca-kaca. “Mereka sehat ya, Dok?”“Sehat,” jawab Ratna mantap. “Tapi Ibu tetap harus banyak istirahat. Asupan makanan juga penting. Nanti saya atur vitami