Aduh Jefri kenapa itu?
Isvara akhirnya menoleh, tapi sudut bibirnya nyaris terangkat. Bukan karena lucu, tapi karena pria ini memang selalu tahu cara membuatnya kesal setengah mati.“Lihat ini, video dari CCTV lantai bawah.” Alvano menggeser ponselnya lebih dekat.Di layar, Isvara melihat sosok Alvano yang sedang mabuk di meja bar bersama Jefri, lalu seorang perempuan mendekat, menarik-narik lengannya. Gerakannya jelas memaksa.“Lihat gimana dia narik-narik aku. Bukan aku yang nyari dia, Ra. Dia yang maksa ikut,” ucap Alvano tegas.Isvara masih diam, matanya terpaku pada layar, tapi bibirnya terkatup rapat.“Lagian, ngapain aku beli pelacur sih? Kalau aku punya istri yang …,” Alvano mencondongkan tubuh, menatap Isvara lekat-lekat, “… jauh lebih cantik. Dan jauh lebih memuaskan.”Isvara langsung menoleh cepat, wajahnya memanas. “Kamu–”“Karena cuma kamu yang bisa bikin aku kehilangan kendali,” potong Alvano. “Nggak ada yang lain bisa bikin aku segila ini.”Isvara mengerjap, mencoba mempertahankan tatapan taj
Isvara tercekat. Kata-kata itu sederhana, tapi justru membuat dadanya berdenyut. Dia buru-buru memalingkan wajah, melanjutkan langkah dengan lebih cepat. Dan Alvano tetap mengikuti, tanpa menambah kata.Sekitar sepuluh menit kemudian mereka sampai. Isvara masuk, memesan secangkir matcha latte hangat. Alvano ikut masuk beberapa detik kemudian, hanya memesan kopi hitam, lalu duduk di meja terdekat.Mereka tidak duduk bersama, tapi posisi kursi mereka cukup dekat untuk tetap saling tahu.Isvara membuka novel yang dia bawa dari kamar, pura-pura sibuk membaca. Namun, dari sela-sela halaman, dia bisa merasakan tatapan Alvano yang kadang jatuh ke arahnya. Tidak menuntut, tidak mendesak. Hanya ada.Dan entah kenapa, jauh lebih sulit diabaikan daripada jika pria itu memaksa.Isvara menutup bukunya keras-keras, lalu mendengus. “Kalau kamu kira aku bakal luluh cuma karena kamu diem-diem ngikutin aku kayak gini … kamu salah besar.”“Aku nggak pernah bilang aku benar,” sahut Alvano lalu menyesap k
“Oke, kalau gitu aku nginep di kamar lain.” Suara Alvano terdengar rendah, berat, tapi tetap keluar. Mengalah lebih baik daripada memaksa dan makin menyakiti.“Bagus.” Itu satu-satunya kata dari Isvara yang menutup percakapan mereka.Alvano tidak membantah. Dia hanya mengambil kopernya, melangkah ke pintu, lalu keluar dengan langkah berat.__Malam harinya, Isvara turun ke restoran hotel untuk makan malam. Scarf melingkari lehernya, langkahnya pelan, seolah setiap meter menuju ruang makan hanya menambah beban di bahunya. Walau malas, tubuhnya tetap butuh makanan.Ruang makan dipenuhi cahaya lampu gantung yang hangat, dentingan sendok-garpu berpadu dengan musik akustik rendah. Isvara memilih meja di pojok, jauh dari keramaian. Dia memesan bibimbap dan segelas hallabong tea, menu paling aman tanpa banyak berpikir.Namun sebelum pesanan datang, perasaannya sudah terganggu. Dari ekor matanya, dia menangkap sosok pria tinggi berjaket hitam, duduk di meja tak jauh darinya. Alvano.Pria itu
Pagi berikutnya.Cahaya pagi menyelinap lembut lewat celah tirai bata vulkanik. Isvara duduk di tepi balkon, bersandar di kursi rotan dengan jaket tipis menutup bahu. Uap teh hangat di tangannya menari pelan, sementara angin laut membawa aroma asin bercampur segar rerumputan.Hari ini perempuan itu memutuskan keluar, hanya untuk berjalan tanpa tujuan jelas. Kafe Chi Chi, yang katanya terkenal di kalangan wisatawan dan penduduk lokal, hanya berjarak beberapa menit dari hotel. Menu deli sederhana, hallabong tea, dan carrot cake khas Jeju menjadi alasan kecil untuk keluar dari kepompong kamarnya.Jalan setapak menuju kafe dihiasi pohon pinus ramping dan rerumputan tinggi yang bergoyang oleh angin. Di kejauhan, samar-samar terdengar debur ombak. Setiap langkah membuat napas perempuan itu sedikit lebih lega, seolah tiap meter menjauhkan dirinya dari kenangan yang menyesakkan.Chi Chi tampak hangat dari luar. Interior kayu lembut, aroma kopi bercampur citrus dari hallabong, dan musik akust
Alvano mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Sinar matahari pagi menjelang siang itu menyelinap masuk lewat jendela besar di depan sofa, menampar wajahnya dengan hangat yang justru membuat dada semakin sesak.Ya … semalam pria itu memutuskan tidur di sofa. Tempat favorit Isvara untuk menghabiskan waktu ketika mereka di penthouse. Tempat yang sekarang terasa dingin, kosong, dan terlalu lebar untuk dirinya sendiri.Tangannya terulur ke meja kecil di samping sofa, meraih ponsel yang tergeletak di atasnya. Notifikasi dari Jefri sudah muncul, terkirim sepuluh menit lalu. Rekaman CCTV yang dia minta semalam kini ada di layar.Walau masih kesal pada asistennya itu, Alvano harus mengakui satu hal: Jefri tidak pernah bekerja asal-asalan. Dia selalu selesai dengan rapi, dan tepat waktu.Namun satu hal masih menggantung di pikirannya. Isvara.Kemana sebenarnya perempuan itu pergi? Titik terakhir mobil listriknya berhenti di bandara. Setelah itu, hilang. Tidak ada jejak lagi.“Tuan, sara
“Mbak Wati,” panggil Alvano ketika kakinya sudah menapak di lantai bawah. Suaranya serak, agak berat karena sisa alkohol yang belum hilang.“Iya, Tuan, ada apa?” sahut Wati sambil mengucek matanya. Rambutnya masih acak-acakan, jelas dia baru saja terbangun dari tidur.“Isvara ke mana?” tanyanya cepat.Wati tampak terkejut. “Loh … di kamar nggak ada, Tuan? Tadi saya sudah tidur, jadi nggak tahu Nona Isvara ke mana.”Alvano menghela napas pendek, rahangnya mengeras. Tanpa menjawab, dia berbalik menuju ruang kerjanya. Suara pintu terbuka dan tertutup kembali bergema di tengah kesunyian penthouse.Dia langsung menyalakan laptop, mengakses aplikasi pelacak mobil listrik yang terhubung dengan akun pribadinya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard dengan napas memburu. Dalam hitungan detik, peta digital muncul di layar. Titik merah yang mewakili mobil Isvara masih bergerak, menandakan perempuan itu belum berhenti di satu tempat.Tatapan Alvano terkunci pada layar. Setiap detik yang be