Butuh usaha extra sih Van :)
“Ra,” panggil Alvano lembut, kali ini benar-benar terdengar seperti bujukan. “Tolong, malam ini jangan bikin jarak. Kalau kamu keliatan dingin sama aku, Mam pasti langsung tahu ada apa-apa. Kamu tahu sendiri Mam paling peka.”Isvara menatap suaminya lama, lalu akhirnya menghela napas. Dia tahu Alvano ada benarnya. “Iya. Tapi jangan kira aku udah nggak kesel,” ucapnya datar.Alvano tersenyum samar, tangannya dengan hati-hati meraih jemari istrinya. Kali ini, Isvara tidak menepis, meski genggamannya lemah sekali. “Nggak apa-apa. Kamu kesel, aku siap. Yang penting aku masih bisa gandeng kamu malam ini.”Sambil tetap berpegangan tangan, mereka melangkah masuk ke dalam ballroom yang sudah ramai. Lampu gantung kristal berkilau, tamu-tamu berdandan glamor, dan di ujung ruangan Marina serta Atma berdiri menyambut para undangan dengan wajah sumringah.“Senyum dikit, Cantik. Kalau kamu cemberut begini, semua orang bakal makin yakin aku nyakitin kamu,” bisik Alvano di telinga Isvara.Isvara mel
“Lita, tolong kasih arahan ke Mbak Wati soal sarapan yang cocok untuk istriku. Sesuaikan dengan kondisi ibu hamil, jangan sampai salah menu.” Alvano memberi instruksi singkat. Nada suaranya tenang, tapi tegas, seperti biasa saat memberi perintah kerja.“Baik, Tuan. Ada lagi?” Lita mencatat cepat di tablet kecil yang selalu dia bawa.Alvano merapikan jasnya sambil melirik sekilas ke arah kamar. Jangan tanya di mana Isvara. Sudah pasti istrinya masih tidur. Semalam, hampir jam tiga pagi, dia masih mendengar suara isak tangis itu dari balik selimut. Namun, dia memilih untuk diam, pura-pura tidak mendengar. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena tahu istrinya butuh ruang untuk melampiaskan lelahnya.“Pastikan juga hari ini istriku tidak terlalu lelah. Kalau ada janji atau kegiatan, batasi. Nanti malam kita harus datang ke pesta anniversary pernikahan orang tuaku. Aku kasih alamatnya ke kamu. Kamu yang antar dia langsung ke venue, karena aku berangkat dari kantor,” jelas Alvano panjang
“Takut, Mas. Aku tadi cuma gertak aja.” Isvara menunduk, suaranya kecil sekali, nyaris hilang.“Dengar baik-baik.” Alvano tiba-tiba meraih tangan istrinya, menarik Isvara turun hingga terduduk di pangkuannya. Genggamannya begitu kuat, seolah menegaskan satu hal: tidak ada ruang untuk lari. “Jangan pernah bilang pulang ke rumah Ibu lagi. Selama aku ada di sini, tempatmu cuma satu–di sisiku. Mau aku lagi marah, mau aku lagi sibuk, kamu tetap di sini. Jangan macam-macam!”Isvara membeku. Matanya berkaca-kaca, sementara jantungnya berdegup kencang. Dia sadar betul, barusan dia benar-benar membangunkan macan tidur.“Ra, kamu pikir aku marah cuma karena kamu pulang telat?” Suara Alvano berat, tajam. Rahangnya mengeras, jemarinya mengetuk meja kayu dengan ritme yang membuat udara di ruangan kian menegang. “Aku marah karena ponselmu mati. Aku telepon berkali-kali, nggak ada jawaban.”“Kan bisa hubungi Lita,” gumam Isvara lirih, berharap itu bisa meredakan amarah.“Bukan soal Lita! Aku maunya k
“Apa?” sahut mereka hampir bersamaan, mata sama-sama membesar penuh rasa ingin tahu. “Sekarang gaya hidup Mbak Retha berubah drastis. Glamor banget. Pernah aku disuruh nganter barang ke apartemennya. Eh, ternyata dia udah pindah ke apartemen yang jauh lebih mewah. Dan waktu aku lihat di laci tempat penyimpanan kunci, ada dua kunci mobil sport di situ. Bukan tipe mobil yang biasa dia pakai dulu,” ungkap Mila, lalu menatap mereka satu per satu dengan dramatis. “Astaga, kalau gitu jelas dia punya sugar daddy lah. Nggak mungkin cuma dari gajinya,” sahut Rani, refleks menepuk meja. Membuat Isvara langsung berhenti mengunyah. “Eh, jangan asal ngomong gitu, Ran,” tegur Isvara. “Aku inget, dulu Mbak Retha juga pernah nuduh aku hal yang sama. Kalau ternyata salah, apa nggak sama aja kita kayak dia?” Meja mendadak hening. “Iya sih, Ra. Aku kebablasan ngomong. Maaf.” Rani menunduk, wajahnya sedikit salah tingkah. Mila buru-buru menengahi. “Yaudah, jangan pakai istilah itu deh. Tapi tetap a
“Lita, tolong kamu jelasin sama aku. Kenapa kamu mau jadi asisten aku? Nggak mungkin kamu nggak kenal aku, ‘kan?” suara Isvara terdengar tegas. Kini dia sudah bersandar di kursi penumpang belakang, tangan terlipat di dada, sorot matanya menatap tajam ke arah kursi depan.Lita yang memegang kemudi menelan ludah. Jemarinya mengencang di setir, sebelum akhirnya dia menjawab, “Saya memang kenal, Non Isvara. Dan justru itu alasannya. Saya mau minta maaf.”“Minta maaf buat apa?” sahut Isvara ketus.“Untuk masa lalu.” Lita melirik sebentar ke spion tengah, lalu kembali fokus ke jalan. Wajahnya serius, jauh dari senyum formal yang tadi dia tunjukkan di depan Alvano. “Saya tahu saya salah sudah ikut-ikutan bully Non waktu SMP. Saya tidak punya alasan untuk membenarkan. Saya hanya bisa bilang saya menyesal. Dan saya berharap, lewat kerja ini saya bisa perbaiki semuanya.”Isvara tercekat. Ingatan itu kembali begitu saja: saat dirinya dibilang gila, rambut ditarik sambil diteriaki kata-kata kejam,
“Mas! Kenapa dia yang jadi asisten aku?!” semprot Isvara begitu pintu kamar tertutup. Wajahnya memerah, jelas-jelas menuntut penjelasan.Alvano menoleh pelan, keningnya berkerut. “Memang apa yang salah?”“Maksud aku, dia siapa?” ralat Alvano cepat. “Aku cuma ambil dia dari yayasan. Dan kebetulan dia orang yang sesuai sama kriteria: mantan perawat gizi, bisa dampingin kamu, ngerti kesehatan.”“Tapi kenapa kamu nggak bilang dulu? Kenapa semua harus keputusan kamu? Kamu selalu begini! Bertindak sendirian, seolah aku ini cuma penumpang. Padahal kita ini tim. Kamu memang leader, tapi aku juga punya andil dalam hubungan ini. Bisa nggak sih sekali aja kamu diskusi dulu sama aku?!” cecar Isvara.Alvano terdiam. Kata-kata itu menohok. Dia tahu, selama ini dia memang terbiasa mengatur tanpa banyak bertanya, bahkan kepada istrinya. Perlahan, dia menghela napas, lalu mengakui, “Oke. Untuk yang satu ini, aku salah. Aku minta maaf, Ra.”Isvara masih menatapnya, penuh luka dan amarah.“Tapi,” Alvano