Makasih banget buat kalian semua ya :) Alhamdulillah udah sampai ke 100k views. Love u guys...
“Nil, jangan dorong Lingga begitu!” Teriakan Avanira menginterupsi pikiran Isvara.Kedua wanita di kafe itu langsung menoleh bersamaan. Melalui kaca besar, mereka melihat Lingga yang baru saja belajar berlari kini terduduk di atas pasir warna-warni, bibirnya mengerucut siap menangis. Sementara di depannya, Avanil berdiri dengan tangan disilangkan di dada dan wajah tanpa rasa bersalah sama sekali.Adisti sontak berdiri. “Ya ampun! Lingga!” serunya sambil bergegas ke arah pintu.Isvara spontan ikut bangkit, jantungnya berdegup kencang. “Astaga, bocah ini lagi-lagi bikin masalah.”Begitu mereka tiba di area bermain, tangisan Lingga langsung pecah. Bocah dua tahun itu meraih tangan ibunya dengan sedu sedan, sementara Avanira ikut menangis karena merasa marah sekaligus kasihan pada sepupunya itu.“Nil jahat! Nil dorong Lingga!” Avanira memukul bahu kembarannya dengan tangan mungil, tapi Avanil malah memandangnya santai.“Aku nggak dorong dia, Mommy.” Avanil berkata datar, nada suaranya ser
“Mom, Daddy mana? Kenapa masih belum pulang? Kita, ‘kan, mau ke playground hari ini.” Avanira memprotes sambil duduk di sofa ruang keluarga. Gadis kecil itu sudah siap dengan kaus bergambar kelinci dan celana pendek warna pastel, sementara rambut panjangnya diikat dua.Benar-benar tampak menggemaskan, meski wajahnya kini sedang cemberut.Isvara yang baru keluar dari dapur membawa dua gelas susu hanya bisa tersenyum miris. “Sayang, Daddy masih ada pekerjaan. Sepertinya, belum bisa pulang pagi ini.”“Kita memang nggak jadi main ke playground hari ini, Mom?” Kali ini Avanil yang bertanya. Nada suaranya lebih tenang dari adiknya, tapi sorot matanya jelas kecewa.Anak lelaki itu duduk bersedekap di sofa, kaus biru lautnya sudah rapi, sepatu sneakers mungil terpasang di kakinya. Dia memang jarang menangis seperti Avanira, tapi itu tidak berarti dia tidak kecewa.“Maaf, Sayang.” Isvara menunduk, hatinya ikut terasa berat melihat wajah mereka. “Gimana kalau kita tetap pergi, tapi ajak Lingga
Hari-hari terasa bergulir begitu cepat. Satu bulan telah berlalu sejak kepergian Giri.Mereka perlahan mulai belajar merelakan, mencoba kembali berdiri dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Atma yang awalnya masih terpukul, kini mulai memimpin Narendra Group, memikul beban tanggung jawab yang sebelumnya berada di tangan sang ayah.Sementara Alvano, selain tetap memimpin Valora, juga mulai masuk aktif ke Narendra Holdings. Beban itu bukan hanya berat, tapi juga memakan waktu.Alvano jarang pulang tepat waktu. Tubuhnya hampir tak pernah benar-benar beristirahat, pikirannya penuh dengan angka, rapat, dan strategi bisnis yang berjalan bersamaan di dua perusahaan raksasa.Pagi itu, matahari mulai menembus tirai ruang makan rumah keluarga kecil mereka. Aroma roti panggang, susu hangat memenuhi udara, bercampur dengan suara sendok yang beradu pelan di atas piring.“Mom, Daddy ke mana? Kok Nira nggak lihat Daddy dari kemarin?” tanya Avanira dengan wajah mungilnya yang cemberut. Gadis kec
“Mas, sini tiduran di kasur,” ajak Isvara kepada sang suami yang sedari tadi hanya duduk di sofa kamar tamu. Mereka masih di kediaman Giri dan berencana untuk pulang esok hari. Giri baru dikebumikan petang tadi, dan rumah itu masih menyimpan aroma bunga tabur bercampur dupa, seolah kesedihan ikut melekat di dindingnya.Anak-anak sudah tertidur pulas di ranjang, tubuh kecil mereka meringkuk di bawah selimut tebal.Karena Alvano tak juga beranjak, Isvara menghampirinya lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan suaminya yang terasa dingin, lalu menggenggamnya erat.“Mas, nggak usah pura-pura kuat sekarang. Kalau Mas mau nangis, nangis aja. Nggak ada yang lihat kecuali aku,” ucap Isvara lembut, matanya memandang suaminya dengan penuh rasa sayang.Alvano mengangkat wajahnya pelan. Mata yang biasanya tajam itu kini tampak lelah dan basah. Rahangnya mengeras, tapi tangannya menggenggam balik tangan Isvara, seakan berpegangan pada satu-satunya jangkar yang tersisa.Sejenak mereka hanya diam
Pagi ini. Kabut hitam menyelimuti rumah duka, seakan langit pun turut meratap. Udara dipenuhi aroma dupa dan bunga melati yang samar, bercampur dengan bisikan pelan para pelayat yang datang silih berganti.Di tengah ruangan besar itu, peti berbalut kain putih berdiri anggun namun menyayat hati. Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menciptakan cahaya temaram yang membuat suasana semakin berat.Semua keluarga besar Narendra telah hadir. Wajah-wajah yang biasanya terlihat tegar dan berwibawa kini dipenuhi guratan duka. Bahkan para pria yang jarang menunjukkan emosi pun tak mampu menyembunyikan mata yang memerah.Keluarga Isvara pun tak luput hadir. Isvara duduk di deretan kursi depan, tubuhnya lemas seperti kehilangan tenaga. Matanya bengkak, kulit pucat, dan kedua tangannya saling meremas erat di pangkuannya.Giri. Sosok yang begitu menyayanginya meski hanya cucu menantu. Sosok yang selalu memperlakukannya seperti darah daging sendiri, bahkan saat yang lain meragukannya.Kini, beliau te
Esok malamnya, Isvara sedang menyiapkan makan malam di dapur. Hari ini mereka memang berencana makan bersama, jadi dia memastikan meja rapi, makanan hangat, dan semua terlihat istimewa. Alvano pun berjanji akan pulang tepat waktu.Sementara itu, di ruang keluarga, Avanira duduk manis di karpet empuk. Tangannya sibuk menyusun balok warna-warni hingga membentuk menara kecil, lalu boneka kelincinya dia taruh di puncak bangunan itu.“Nil, lihat! Ini kastil buat bonekaku,” ucap Avanira ceria, matanya berbinar bangga.Avanil hanya mengangguk datar. Wajah kecilnya serius, seolah tengah merencanakan sesuatu. Dalam diam, senyum licik terbit di bibirnya. Avanil pun mendekat, menunduk berbisik dramatis. “Nira …”Avanira menoleh polos. “Apa, Nil?”“Kalau nanti Mommy sama Daddy punya bayi lagi …” Avanil sengaja merendahkan suara, membuatnya terdengar misterius. “Kamu tahu nggak siapa yang nggak akan disayang?”“Siapa?” Avanira mengedip bingung. “Kamu. Soalnya kamu anak tengah. Anak tengah itu bia