Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys :)
Alvano menatap lembaran itu lama. Bukan untuk mempertimbangkannya. Kalau bisa, dia ingin merobeknya saat ini juga.“Papa serius?” tanya Alvano akhirnya. Bukan pertanyaan sungguhan–lebih kepada konfirmasi getir.“Papa selalu serius, apalagi soal reputasi keluarga ini,” jawab Atma. Dia menyandarkan punggung, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Perempuan itu ... tidak memenuhi kriteria untuk menjadi pendampingmu. Bukan karena siapa dia, tapi karena apa yang dia bawa.”Alvano mengepalkan jemari. Rahangnya mengeras. “Dan menurut Papa, perceraian ini solusinya?”“Ini solusi paling logis, Van.”Logis, katanya.Memang selalu sulit bicara soal cinta pada orang yang tidak menganggap cinta relevan dalam hidupnya.Atma melanjutkan dengan suara datar, “Kamu mau kehilangan kursimu sebagai pewaris utama? Sepupu-sepupumu menunggu kamu jatuh, Van. Menunggu kamu punya titik lemah. Dan sekarang, kamu membuka celah itu.”Alvano menarik napas panjang, berusaha meredam bara yang mulai membakar tenggoro
Isvara menarik napas pendek. Lalu, menatap suaminya lebih lama, sedangkan matanya masih sembab. “Kenapa ... kamu nggak pernah cari tahu sendiri sebelumnya, Van?”Sebenarnya, Alvano sudah bisa menebak sejak lama. Dimulai dari hilangnya sebagian ingatan Isvara saat kakeknya meninggal, lalu ketakutannya pada ruangan gelap, ditambah ucapan Anita tempo hari. Semuanya seperti kepingan puzzle yang nyaris lengkap. Namun, Alvano memilih untuk tidak menyusunnya. Kalau Isvara belum siap bercerita, kenapa harus memaksa?“Karena ... aku nggak pernah ngerasa perlu gali masa lalu kamu sampai sejauh itu.” Alvano menggenggam tangan Isvara lebih erat. Matanya sendu, tapi bicaranya tegas. “Aku pikir ... semua orang berhak punya rahasia. Dan aku nggak mau nyakitin kamu dengan maksain buka kotak luka yang mungkin kamu sendiri masih susah nutupnya.”Isvara mengerjap. Ada sesuatu yang meluruh di dadanya. Pria ini, lagi-lagi, meruntuhkan egonya. “Van ... kamu ngerti ‘kan, itu juga salah satu alasan kenapa
“Hey, Cantik. Kamu akhirnya bangun juga.”Suara Alvano terdengar terlalu lembut untuk menampung semua badai yang masih menggulung di dada istrinya.Isvara hanya mampu mengangguk pelan, sementara kepalanya terasa berdenyut seakan menolak untuk benar-benar kembali ke dunia nyata.Alvano duduk di sisi ranjang, satu tangannya bertumpu di kasur dekat pinggang Isvara. Wajahnya lelah, matanya sembab. Entah sejak kapan dia menatap istrinya seperti itu. Ini bukan ranjang rumah sakit. Mereka ada di kamar. Karena Alvano, dalam paniknya, memilih menggendong Isvara begitu saja, ketika perempuan itu mendadak ambruk tak sadarkan diri di ruang tamu.“Mana Mama?” Entah kenapa, justru itu yang pertama meluncur dari bibir Isvara.Alvano menghela napas, jemarinya meremas seprai. “Mama udah aku suruh pulang.”Hening lagi.Hanya suara detak jam dan napas mereka yang saling bersahutan dalam kamar. Sunyi ini bahkan terasa lebih mencekik daripada pertengkaran tajam di ruang tamu tadi.“Aku panggil dokter, ya?
“Alvano! Mama hanya mau memastikan kamu tidak salah pilih. Kamu itu penerus keluarga Narendra. Perusahaan, reputasi, masa depan. Apa kamu mau semuanya runtuh hanya karena kamu memilih seorang perempuan yang bahkan tidak bisa memastikan dirinya sendiri tetap waras?” Nada marah Marina terdengar jelas sekali.Isvara menegang, matanya melebar sedikit. Alvano menoleh sekilas padanya, lalu kembali menatap ibunya.“Sakit mental itu sama aja kayak sakit flu, Mam,” ucap Alvano pelan, tapi tajamnya menusuk. “Sama-sama perlu diobati, sama-sama nggak bikin orangnya jadi lebih rendah dari siapa pun.”Isvara mendongak kaget, matanya melebar. Jadi Alvano sudah tahu tentang penyakitnya? Sejak kapan? Baru saja atau jauh sebelum ini?Marina menghela napas. Tangannya meremas jemari sendiri, lalu mencondongkan tubuh, menatap Isvara bagai hendak menelanjangi seluruh luka dalam pikirannya. “Mungkin bagi orang lain begitu, Van. Tapi tidak dengan keluarga kita. Kamu ingin istrimu ... menjadi sumber kelemahanm
Isvara kini sudah tiba di garasi. Dia duduk diam beberapa saat di dalam mobil, meremas setir erat-erat. Rasanya seperti hendak masuk ke sebuah ruangan gelap tanpa tahu apa yang menunggunya.Dalam hati, perempuan itu hanya sempat berbisik pelan, semoga semua baik-baik saja. Terlebih Alvano masih di Jepang, baru pulang dua hari lagi. Mau tidak mau, kali ini dia harus menghadapi ibu mertuanya sendiri.Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Isvara keluar mobil dan melangkah menuju pintu depan.Begitu masuk, aroma teh melati langsung tercium. Pandangannya langsung jatuh pada sosok Marina yang duduk tegak di sofa ruang tamu. Elegan dengan blus krem mahal, jemarinya melingkar pada cangkir putih porselen.“Selamat malam, Mam,” sapa Isvara pelan. Dia mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku.Marina hanya menoleh sekilas. “Duduk,” ujarnya pendek, tanpa membalas sapaan.Isvara menurut. Dia duduk di ujung sofa seberang, menata tangannya rapi di atas paha. Namun, kalau dilihat lebih dekat, uj
Seminggu berikutnya berjalan aneh. Cepat sekaligus lambat.Cepat, karena pekerjaan Isvara semakin banyak sejak Andre keluar, atau lebih tepatnya dipecat. Berkas menumpuk, revisi strategi tidak berhenti datang, deadline bergulir tanpa ampun. Kadang dia hanya sempat meneguk kopi yang sudah dingin sambil menatap angka-angka kabur di layar laptop.Namun juga lambat, karena setiap menit terasa kosong. Rumah yang sama, tapi sunyi. Tidak ada Alvano yang menunggu di ruang makan atau duduk di ruang kerja, menatapnya dari balik laptop dengan senyum tipis itu.Ah, Isvara jadi semakin rindu dengan pria menyebalkan itu.Hari ini Isvara baru saja rampung meeting dengan vendor packaging di kantor klien. Rasanya lega sekali saat melangkah keluar ruang presentasi, meski kaki pegal luar biasa. Setidaknya, proyek Tenka mulai menampakkan wujud.Perempuan itu berjalan menuju basement parkir sambil memijat tengkuk. Setelah menaruh tas di kursi penumpang, Isvara duduk diam di balik kemudi. Lalu perhatiannya