Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys :)
Retha tampak terkejut. “Tapi, Pak—”“Kenapa? Kamu tidak terima?” potong Alvano, tatapannya tajam.Jelas Retha tidak terima. Harusnya bawahannya yang mengerjakan semua ini. Kenapa justru dia yang diminta untuk merevisi semuanya?!Namun, tentu saja Retha tidak berani berkomentar. Dia tahu betul sifat bosnya—sekali memberi perintah, tidak ada yang bisa menyanggahnya.“T-tidak, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”Alvano kembali menatap layar tablet di depannya. “Kita lanjut.”Rapat berlanjut seperti biasa, tapi energi dalam ruangan sudah berubah. Beberapa orang tampak lebih berhati-hati saat menyampaikan pendapat. Yang lain sibuk mencatat poin penting, tidak ingin terlihat lengah. Sementara Isvara hanya duduk diam, sesekali menatap layar laptop, sesekali mencuri pandang ke arah pria di ujung meja.Tidak ada satu pun yang menyinggung kembali soal insiden tadi.Hingga akhirnya, Alvano menutup sesi dengan singkat.“Baik. Meeting cukup sampai sini. Semua tolong kirim update sebelum jam lima.”
Selama ini, Isvara terlalu sibuk menjaga jarak. Terlalu sibuk menata ulang hidupnya yang tiba-tiba berubah drastis, sampai-sampai lupa bertanya siapa sebenarnya orang yang kini jadi suaminya. Bahkan setelah tinggal satu atap, percakapan mereka nyaris tidak pernah menyentuh hal-hal pribadi. “Aku kira kamu …” Isvara menggigit bibir bawahnya. “Iya, aku kira kamu orang kaya biasa.”Alih-alih menjawab, Alvano hanya tersenyum tipis.Isvara menghela napas panjang. “Aku kaget, Van. Gimana aku nggak kaget, kamu itu—bosku sekarang. Bahkan turun langsung ke proyekku.”Van?Panggilan itu menggema di kepala Alvano. Baru pertama kali Isvara memanggilnya begitu. Hanya keluarganya yang biasa memakai panggilan itu. Selama ini, tak ada satu pun orang luar yang menyebutnya begitu—termasuk kolega, bahkan Livia dulu pun tidak.Isvara seolah tak sadar telah mengucapkannya. Namun bagi Alvano, panggilan itu terasa ... berbeda. Ada jarak yang mulai bergeser.“Aku tahu ini mungkin bikin kamu nggak nyaman,” uj
“Nggak mungkin,” gumam Isvara tanpa sadar.“Apa?” tanya Citra, tidak begitu jelas mendengar gumaman Isvara.“Oh, nggak apa-apa,” jawab Isvara cepat. “Aku soalnya baru pertama kali lihat CEO kita. Kirain tadi salah satu brand director atau apa.”Beruntung suara Isvara tetap stabil, padahal jantungnya berdentum tak karuan. Kepalanya mendadak penuh pertanyaan.Kenapa Alvano tidak bilang?Apa dia sengaja menyembunyikannya?Atau … memang Isvara yang terlalu polos karena tidak pernah bertanya?Lift berdenting. Pintu terbuka. Mereka melangkah keluar, kembali menuju area kerja masing-masing.“Kalian tahu nggak?” Andre ikut bersuara. “Mulai besok Pak Al bakal turun langsung buat handle proyek Valora X Tenka.”Citra mengangkat alis. “Serius? CEO turun langsung ke proyek kita?”“Iya,” Andre mengangguk antusias. “Katanya proyek ini besar dan strategis banget. Jadi beliau mau lihat langsung progress-nya. HR udah konfirmasi tadi pagi.”Langkah Isvara refleks melambat.Langsung memimpin proyek?Itu b
Kalau sudah cukup personel, mengapa Isvara diterima bekerja di tempat ini?Isvara diam. Tidak tahu apakah perlu menjawab atau cukup tersenyum sopan.Andre, laki-laki satu-satunya di ruangan itu cepat-cepat menyahut, mencoba mencairkan suasana, “Mungkin kerjaannya nambah, Mbak. Tenka ‘kan rewel katanya. Lima kepala aja kadang ngos-ngosan.”“Bukan soal jumlah kepala,” timpal Retha. Kali ini pandangannya mengarah langsung ke Isvara. “Tapi biasanya, penambahan personel itu melalui diskusi tim. Dan aku pribadi ... nggak diajak bicara soal ini.”Isvara kembali diam. Ada rasa tidak nyaman merayap di tengkuknya. Namun, dia tetap berusaha tersenyum.“Maaf, saya juga belum banyak tahu soal pengaturannya,” ucap Isvara pelan. “Saya hanya mengikuti instruksi HR untuk hadir hari ini.”Retha tidak menjawab, hanya kembali menunduk ke layar laptop.Lalu terdengar suara gesekan kursi. Seorang perempuan berkacamata dengan wajah teduh berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Isvara.“Hai, aku Citra. C
Setelah melewati tahap wawancara dan tes masuk, Isvara akhirnya mendapat email panggilan untuk tanda tangan kontrak. Hari ini, dia resmi mulai bekerja di Valora Group.Dua hari.Hanya butuh dua hari dari kirim CV sampai diterima kerja.Sesingkat itu?Isvara bukannya tidak curiga. Dia paham betul, proses seleksi dalam dunia kerja biasanya memakan waktu. Apalagi untuk perusahaan sebesar Valora. Dalam hati kecilnya, dia tahu kemungkinan besar ada ‘dorongan dari atas’. Dan siapa lagi kalau bukan Alvano?Namun, Isvara memilih tidak membahasnya—bahkan kepada dirinya sendiri. Dia tidak ingin hari pertamanya diwarnai prasangka atau keraguan. Jika memang ada campur tangan Alvano, maka itu urusan lain. Sekarang, dia hanya ingin fokus bekerja.Berdiri di depan gedung Valora Group yang menjulang di tengah distrik bisnis ibu kota, Isvara menarik napas dalam. Bangunan kaca setinggi belasan lantai itu terlihat modern dan megah, seperti lambang prestise yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan.L
“Kamu serius?” Mata Isvara langsung berbinar. Mungkin ini bisa jadi jalan keluar agar dia tidak terlalu lama menganggur. Tinggal di rumah saja benar-benar bukan gaya hidup wanita itu.Sejak SMA, Isvara terbiasa sibuk. Kuliah sambil kerja part time, lalu setelah lulus langsung bekerja di Dermavia tanpa jeda. Berhenti tiba-tiba seperti sekarang membuatnya merasa kosong, dan sedikit kehilangan arah.“Serius,” jawab Alvano. “Kirim aja. Aku bantu terusin ke bagian yang relevan.”“Oke … makasih.” Isvara mengangguk pelan, masih setengah tidak percaya. Alvano kembali menyesap kopi hitamnya, lalu mengangguk singkat. “Jangan lupa, CV yang bener, ya. Jangan format ala kadarnya.”Isvara menyipit. “Maksudnya?”“Ya siapa tahu kamu biasa nulis CV pakai Comic Sans dan kasih background pink,” jawab Alvano sambil tersenyum.“Please, aku nganggur, bukan nggak punya selera,” balas Isvara, menggeleng. Namun, sudut bibirnya terangkat sedikit. Akhirnya, dia merasa napasnya tidak terlalu berat pagi ini.Alva