Kudorong pintu di depanku sekuat tenaga, membuat dua orang di depan sana terperanjat seketika. Mereka saling tatap, tidak menyangka akan tertangk4p basah seperti sekarang.
"Nadya?" Joyce, yang merupakan sahabatku sejak kecil, memanggil namaku sambil menjauh dari ranjank dengan wajah pucat. "Nadya! Apa-apaan kamu?" Mas Reza langsung berdiri, serabutan memakai kaus hitam dan celana pendek. Suaranya tercekat di tenggorokan, menatapku seperti melihat hantu. Dia sadar, kamera ponselku merekam perselingkuhan mereka. "Nadya, ini nggak seperti yang kamu lihat." Joyce menatapku sambil berurai air mata. "Aku sama Mas Reza cuma—" "Diam!" Aku menyentak galak. Dadaku terasa semakin sesak. Sudah ketahuan, masih saja coba berkilah. "Aku nggak butuh penjelasan wanita murahan kayak kamu!" Kemarahanku tak tertahankan membuat tanganku sampai bergetar. Rekaman video yang kuambil sedikit blur. Yang penting aku punya bukti. Mas Reza mendekatiku dengan wajah merah padam. "Turunin ponsel kamu!" "Nggak!"Aku mundur dua langkah. "Kamu sama Joyce ...." Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Lidahku kelu, tenggorokanku kering. Jangan tanya air mata, sudah membasahi pipiku sebelum masuk ke ruangan ini. Mas Reza meraup wajahnya dengan tangan. Dia kalut, tidak menyangka aku tiba-tiba memergokinya. "Mas, jelasin!" Gigiku bergemeletuk. Aku pikir rumah tangga kami baik-baik saja, harmonis dan tidak pernah ada masalah. Karier Mas Reza tergolong cemerlang. Setelah menikah denganku, dia dipromosikan menjadi kepala bagian marketing di perusahaan milik orang tua angkatku. Setahun berikutnya, dia dipercaya memegang cabang di kota kami. Mas Reza juga dapat inventaris mobil dari perusahaan. Sama seperti Mas Reza, usaha kateringku dilimpahkan rezeki yang tumpah ruah. Kehidupan rumah tangga kami benar-benar sempurna. Keluarga kecil yang bahagia. Aku tidak pernah berpikir kalau bahtera yang begitu damai ini tiba-tiba digulung gelombang maha dahsyat dalam bentuk seorang wanita. Mas Reza memiliki wanita idaman lain di belakangku. Dan parahnya, itu sahabatku sendiri. Tempatku berbagi keluh kesah saat ada masalah. Joyce sudah berpisah dengan suaminya setahun lalu karena dinyatakan tidak bisa hamil. Entah itu nyata atau tidak, aku tidak pernah bertanya demi menjaga perasaannya. "Turunin ponsel kamu, Nad! Kita bicarakan ini baik-baik!" Mas Reza membentak, membuat lamunan singkatku terhenti. Dia memasang wajah tegas, berharap aku menuruti permintaannya. Aku memang menurunkan ponselku, tapi detik berikutnya langsung mengirimkan video itu ke Mama. Kutatap Mas Reza dan Joyce bergantian. "Bisa kamu jelasin, Mas? Kenapa kamu sama Joyce bisa ngelakuin ini?" Aku menggeram marah saat melihat suamiku justru dengan santai duduk di kursi tidak jauh dari wanita selingkuhannya, alih-alih langsung menjawab pertanyaanku. Mas Reza mengambil ro kok dari laci meja dan menyalakannya. Asap putihnya membubung ke udara dan menghilang beberapa detik berikutnya. "Kamu udah lihat sendiri, Nad. Kenapa masih tanya?" "Apa kurangku sampai kamu butuh wanita lain buat pelampiasan? Apa salahku? Semua kebutuhan kamu masih aku urus. Tiap hari aku masih sediakan bekal makanan buat kamu. Pakaian dan keperluan kantor, nggak ada yang ketinggalan aku siapkan. Semalam juga kita masih berhubungan. Apa aku kurang memuaskanmu?!" "Ya, itu salah satunya." Ingin sekali aku menyebutkan sumpah serapah yang ada di kepala, tapi akal sehatku tidak mengizinkannya. Itu hanya akan menjatuhkan harga diriku sebagai seorang wanita. "Apa salahku, Mas?" ulangku dengan suara bergetar. "Kamu bener-bener nggak sadar kesalahanmu, Nad?" Aku bergeming. Apa maksudnya? "Kamu terlalu sombong. Kamu pikir kamu istri yang paling sempurna di dunia ini, heh?" Lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana merespons pertanyaannya. "Kamu lupa diri. Setelah bisnis katering punyamu itu sukses, bisa beli ruko besar sekaligus buka restoran di pusat kota, sejak itu kamu nolak u4ng bulanan yang aku kasih. Kamu jadi sosok super woman yang bisa ngelakuin apa pun sendiri. Keluarga sialanmu itu ... aku capek dibanding-bandingin sama pencapaian kamu. Mereka suka cita ngerayain kesuksesanmu dan mencibir waktu tahu cabang yang aku kelola anjlok omset penjualannya. Nggak cukup menanggung malu, ayah angkat br*ngsekmu itu menurunkan jabatanku sejak bulan lalu. Apa kamu tahu? “Diturunkan?!” Aku melihat wajah Mas Reza yang mulai tampak frustrasi. Sebenarnya, aku juga benar-benar syok mendengarnya “Dia punya masalah sebesar itu tapi aku nggak tahu sama sekali? Dia nggak pernah cerita dan aku salah karena nggak pernah tanya?” bisikku hampir tanpa suara. "Kenapa? Kaget?" sarkas Mas Reza. "Bukannya kamu harusnya ngetawain aku juga? Sama kayak yang dilakuin keluargamu itu." “Nggak ada yang ngetawain kamu, Mas!” Aku menggeleng tegas. Mana mungkin aku mentertawakan suamiku sendiri yang kesusahan. Aku justru akan mendukung semua usaha yang dia lakukan. Aku masih tidak bisa mengerti kenapa Mas Reza menodai pernikahan kami, tapi kemudian justru playing victim di sini. Dia menuduhku sebagai akar masalah hari ini. "Aku capek ada di balik bayang-bayang kamu terus, Nad. Sampai kapan pun, Papa kamu memang nggak akan merestuiku. Mendingan kita bubaran aja." "Maksud kamu apa, Mas?!" Suaraku tercekat di tenggorokan. "Jangan cari alasan. Kamu emang suka sama Joyce, kan?" Aku berusaha membohongi diriku sendiri, mencari penjelasan yang lebih masuk akal. Akan lebih baik kalau dia mengatakan sudah bosan menjadi suamiku dan ingin menikahi Joyce yang lebih cantik "Nggak. Aku cuma manfaatin temenmu yang kesepian. Apalagi dia mandul. Aku nggak perlu khawatir dia hamil." Sebuah tamparan mendarat di wajah Mas Reza. Bukan aku yang melakukannya, tapi Joyce yang sedari tadi menyimak dalam diam pembicaraan kami berdua. "Kamu tega, Mas!" Detik itu juga, Joyce lari dari kamar setelah memunguti pakaiannya. Dia pasti sakit hati dimanfaatkan begini. Detik-detik berlalu dalam keheningan. Aku terduduk di lantai, kehabisan tenaga memikirkan apa yang terjadi pada kami bertiga. Meski Joyce sudah menyakitiku, tapi aku masih menyimpan iba padanya. Bagaimanapun juga, kami sama-sama wanita. "Mas ...." "Udahlah, Nad. Kamu introspeksi diri kamu sendiri, nggak usah sok kasihan ke wanita murahan kayak Joyce itu. Pikirkan kesalahan kamu selama ini. Bahkan Bima juga lebih dekat dengan Mama dibandingkan kamu, ibunya sendiri. Apa hal itu kamu juga nggak paham?" Aku merasakan dadaku begitu sesak. Oksigen seolah enggan masuk ke paru-paru. Benarkah aku biang masalah ini? Bima kutitipkan karena Mama memang kesepian, bukan karena aku tidak mau mengurusnya. "Nadya Kinanthi, mulai hari ini aku talak kamu. Kamu bukan lagi istriku!" Seperti tersambar petir di siang hari, tubuhku kaku seketika. Langit seolah runtuh detik itu juga. "Mas Reza—" “Apa lagi? Kita cerai!" Jangan lupa subscribe dan tinggalkan komentar kalian, ya!Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 81. Tiga Gerbang Penuh Penjagaan "Benar di sini tempatnya? Kenapa sepi sekali seperti nggak ada satu pun tamu yang datang?" tanya Firman begitu mobil yang dikendarai Dani berhenti di sebuah pintu gerbang. Tak ada orang sama sekali di sana."Nggak semua orang bisa masuk, makanya mereka punya keamanan berlapis. Ini baru pintu gerbang pertama. Lingkar luar, puluhan kilometer dari tempat acara. Masih ada dua gerbang lainnya sebelum kita sampai di vila."Bukan Dani, melainkan Om Wirawan yang menjelaskan. Pria itu duduk di kursi belakang, menampilkan wajah tenang meski tahu maut mungkin tengah menghadang.Dani sendiri masih sibuk menempelkan kartu undangan di sebuah alat pemindai yang tertanam di dinding. Butuh satu-dua detik sampai lampu hijau menyala dan gerbang dengan tinggi kurang lebih enam meter itu terbuka."Dari sini, kita mulai diawasi. Perhatikan, baik di tempat terbuka maupun di tempat-tempat tersembunyi, ada kamera." Suara Cinderella menje
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bom! Hanya itu yang ada dalam bayangan di kepala Firman. Sesaat setelah berteriak, dia langsung menyambar tubuh mungil Bima dan menyerahkannya kepada Nadya. Dengan menanggung resiko akan keselamatan nyawanya sendiri, dia mengambil benda mungil roda empat itu dan berlari melemparkannya ke dalam kolam renang. Setidaknya, efek yang terjadi sedikit diminimalisir jika terjadi ledakan. Itu yang Firman pikirkan. Namun, menit-menit berlalu, tak ada yang terjadi. "Mas, kamu kenapa?" tanya Nadya yang masih menggendong Bima, menatap sang suami dengan kening berkerut penuh tanya setelah posisi keduanya berdekatan. Dari arah belakang, kedua orang tua Nadya ikut muncul. Mereka terkejut mendengar teriakan panik Firman yang selama ini selalu berbicara dengan lemah lembut kepada Nadya dan Bima. Semua orang berpandangan, menggeleng. Sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Firman bisa bertindak seimpulsif itu? Firman terlihat masih syok, seperti belum ters
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 79. Sebuah Ancaman“Bagaimana? Kalian sudah bereskan bagian masing-masing?” tanya Om Wirawan begitu duduk di kursi kebesarannya, menatap Firman, Dani, dan Cinderella bergantian, sehari sebelum gala dinner diadakan.“Sudah, Om. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk melumpuhkan orang-orang itu, ada di sini. Tolong Om periksa lebih dulu. Jika ada yang perlu diperbaiki, saya lakukan sekarang juga.”Firman mendorong map tebal berisi beberapa bundel dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengacara kepercayaan Om Wirawan.Pria dengan wajah dingin itu memusatkan atensinya pada deretan huruf dan angka yang ada di atas kertas. Beberapa kali keningnya berkerut, sesekali mengangguk. Setiap tulisan dengan cetak tebal, menjadi fokus utamanya.“Oke, nanti untuk pengalihan aset dan lain-lain, mungkin akan ada perubahan. Kamu siapkan soft copy-nya, kirimkan ke saya.”Firman mengangguk, segera mengambil ponsel dan mengirimkan dokumen yang dimaksud.“Dani, pr
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 78. High Risk, High Return. Low Risk, Low Return! “Apa ada masalah, Mas?” tanya Nadya yang menyadari wajah Firman belum sepenuhnya lega. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang, mengecek ponsel, kemudian menggeleng pelan. Meski tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi gerak-gerik itu membuat sang istri terusik. “Ah, kamu kebangun, Na?” Alih-alih menjawab, Firman justru mendekat dan langsung mengelus pipi Nadya. Seulas senyum coba pria itu tunjukkan, menyembunyikan kegamangan hati dan pikirannya. “Ada masalah?” ulang Nadya sambil meraih jemari sang suami. “Bukan hal yang penting, Na. Aku cuma—” “Teror itu belum ada titik temu? Belum tahu siapa pengirimnya?” sela Nadya lebih dulu, membuat tubuh Firman menegang. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang perawatan. Tidak ada gunanya menyembunyikan masalah dari sang istri. Bukankah pasangan adalah tempat berbagi keluh kesah? “Maaf udah bikin kamu jadi ikut khawatir, Sayang