Share

Joyce Hamil (POV Firman)

last update Last Updated: 2024-12-05 00:21:22

Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA.

“Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat.

Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri.

Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya.

“Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tipikal anak satu-satunya memang seperti itu, kuat kemauannya. Tidak bisa dibantah.

“Yuk!” Tanpa aba-aba, gadis itu menarik tanganku untuk keluar dari kelas. Mengabaikan pandangan beberapa anak yang berpapasan di koridor sekolah.

Begitulah awal hubunganku dengan Nadya yang lebih suka dipanggil Nana. Dia yang lebih bersemangat atas hubungan kami. Bahkan dia juga yang memintaku menjadi pacarnya.

Orang tua Nana menerimaku dengan baik tanpa melihat latar belakangku yang tak berpunya. Sebaliknya, mereka sangat peduli padaku.

Pak Bagaskara mencarikan universitas terbaik untukku. Bukan di kota ini, melainkan di luar negeri. Beliau, mengenalkanku pada seorang pemilik yayasan pendidikan. Aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sana. Meskipun itu artinya, aku harus meninggalkan Nana.

Kami bertengkar untuk pertama kalinya. Dia melarangku pergi, tapi aku bersikeras dan kami tetap berpisah. Hari itu, kulihat dia menangis, tapi aku tetap harus berangkat.

Sepuluh tahun berlalu, rasa sesak itu kembali datang. Aku melihat Nana menangis di pelukan ayahnya. Sama seperti saat meninggalkannya di bandara.

“Firman, masuk.” Suara bariton Pak Bagaskara memecah keheningan, memutuskan lamunan panjangku akan masa lalu. Beliau mengajakku kembali ke ruang kerja. Ragu-ragu aku melangkah ke sana.

Sejujurnya, aku takut melihat Nana yang tampak terluka. Entah luka karena rumah tangganya yang ada di ujung tanduk, atau luka lama perpisahan kami yang kembali terbuka. Bagiku, kedua hal itu sama-sama menyakitkan.

Aku duduk sambil mengamati Nana yang terus menundukkan kepala. Penampilannya tidak banyak berubah, masih sama cantiknya dengan sepuluh tahun lalu. Hanya saja, sebuah jilbab pasmina menyembunyikan rambut panjangnya yang indah. Dia berhijab sekarang.

“Seperti yang sudah saya jelaskan di bawah, Nana ditipu oleh suaminya. Aset-aset yang mereka beli saat jadi suami istri, nggak ada satu pun yang menggunakan namanya. Cuma ruko kecil dan sebuah pick up tua yang tersisa. Itu pun karena saya yang mengurusnya saat itu. Nana dibutakan cinta dan memercayai Reza sepenuhnya. Bahkan, pria itu juga berniat mengambil hak asuh Bima, anak semata wayang mereka.”

Aku meneguk ludah mendengar Pak Bagaskara mengulangi hal yang sudah dia jelaskan di lobi tadi. Beliau terlihat amat murka, tapi masih coba mengendalikan emosinya. Tetap berwibawa.

“Apa suami Nana sudah mendaftarkan perceraiannya?” Lidahku kelu, memaksakan diri menyebutkan pertanyaan itu.

“Belum. Sampai sekarang dia masih main tarik ulur. Posisinya belum aman di perusahaan, jadi nggak bisa menceraikan Nana begitu saja. Bagaimanapun juga, pemilik perusahaan tempatnya bekerja sangat menyayangi Nana seperti putrinya sendiri. Cepat atau lambat, dia akan ditendang dari sana jika bukan lagi suami Nana. Sekarang Wirawan memang belum tahu, tapi begitu surat gugatan cerai didaftarkan, dia nggak mungkin diam saja.”

Aku kembali diam, mengangguk satu kali. Pak Wirawan adalah ayah angkat Nadya yang sama berpengaruhnya seperti Pak Bagaskara ini. Mereka bisa melakukan apa saja hanya dengan menjentikkan jari. Aku jelas tahu sepak terjang mereka, beberapa tahun ini mengurus masalah hukum yang tidak bisa mereka hindari.

“Saya mau kamu merebut semua aset itu, mengembalikannya atas nama Nadya. Sejak awal Reza itu nggak punya apa-apa waktu nikahin anak saya. Enak saja dia mau ambil untung. Saya justru mau dia jadi miskin seperti semula.”

“Pa, aku cuma mau Bima.” Nana mengangkat wajahnya, menggeleng berkali-kali sambil memegangi lengan ayahnya. Dia seolah tidak rela membuat suaminya menderita. Mungkin masih cinta. Bagaimanapun juga, Nadya hanya wanita biasa.

Bodohnya, hatiku kembali bergetar ingin mengulurkan tangan dan mengacak puncak kepala seperti yang biasa kulakukan saat dia merajuk padaku di masa lalu. Aku harus mengenyahkan perasaan ini, bersikap profesional, memperlakukan Nana seperti klien lain pada umumnya.

“Aku nggak peduli apa yang mau Papa lakukan, tapi aku cuma mau Bima.” Nana mengulangi permintaannya, memohon dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya.

“Firman ....” Bukannya menjawab permohonan sang anak, Pak Bagaskara justru menatapku dengan pandangan tegas. Jelas sekali dia tidak tega menghardik putrinya. Bahkan, melepaskan tautan tangan wanita itu pun dengan sangat hati-hati.

“Kamu tahu apa yang saya inginkan. Bicarakan dengan Nana. Kalau ada dokumen yang kamu butuhkan, segera hubungi saya.”

“Pa?”

Pak Bagaskara beranjak dari kursinya, mengabaikan panggilan Nana. Beliau menebalkan telinga, pergi dari ruangan ini dan tidak menengok sama sekali.

Hening beberapa detik setelah pintu jati di depan sana tertutup sempurna. Menyisakan aku dan Nana dalam situasi yang canggung. Bahkan dua menit setelahnya, kami berdua tetap bungkam sampai notifikasi di ponsel Nana memecah suara. Mau tak mau dia harus melihatnya.

Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan sampai membuat wajahnya begitu tegang. Buku-buku jarinya bahkan mengerat seolah ingin melempar ponselnya. Bulir air mata yang semula tertahan kini keluar dari ujung mata. Dadaku kembali sesak, tapi tetap tidak bisa berkata-kata.

“Firman,” panggilnya dengan suara tersekat di tenggorokan. Jelas sekali dia berusaha meneguhkan diri, menatap wajahku.

“Ya?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Kamu bisa bantu aku?”

Mulutku terbuka, tapi justru tak bisa bersuara. Entah kenapa, melihat Nana menangis seperti ini amat menyakitkan untukku. Aku hanya menganggukkan kepala.

Pun sama yang terjadi dengan wanita itu, dia tidak bisa mengungkapkan isi kepala. Hanya bisa menyodorkan ponselnya padaku dengan tangan gemetar.

Menepis semua prasangka yang ada, aku meraih benda pipih itu dan melihat layarnya. Keningku berkerut, menatap nama Joyce di bagian atas. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya.

Namun, perhatianku terpusat pada pesan paling bawah yang dikirimkan dua menit lalu. Sebuah foto testpack dengan dua garis biru terlihat di sana bersama pesan mengejutkan dari Joyce.

[Na, aku hamil anak Mas Reza.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ma E
wanita murahan banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part Final

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 88. Extra Part Final “Bimaaa, tolong rapikan mainan adikmu, Nak,” panggil Nadya dari ruang keluarga sambil mengangkat beberapa bantal sofa. “Mami, masa aku terus yang harus beresin?!” Anak lelaki sembilan tahun—yang sedang memainkan mobil remote control—langsung menghela napas panjang, wajahnya setengah merajuk. “Seharian ini aku udah lima kali bersihin mainan Zahra. Capek tahu! Nanti juga berantakan lagi,” imbuhnya sambil memelotot sebal ke arah tersangka. Zahra, si kecil berusia lima tahun, justru sedang asyik menjejalkan boneka kelinci ke dalam keranjang mainannya. Dia tidak tahu kakaknya sedang jengkel karena ulahnya, malah sibuk mengeluarkan mainan yang lainnya, berserak memenuhi karpet berbulu. Wajah bulatnya bersinar penuh kepolosan. Dari dapur, Firman yang sedang membantu Nadya memotong sayuran, mendengar protes Bima. Ia dan Nadya saling pandang lalu terkekeh bersamaan. Ada bahagia sederhana di balik tawa mereka—bahagia karena kini

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Malam Pertama Pengantin Baru

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 87. Malam Pertama Pengantin BaruRuang ganti hotel yang tadinya penuh dengan MUA, WO, dan keluarga kini sudah lengang. Tinggal Dani dan Alya, masih memakai baju pengantin. Lampu temaram menambah suasana romansa di antara mereka.Dani bersandar santai di kursi, dasinya sudah dilepas separuh, sementara Alya sibuk mencoba membuka kancing kebaya bagian belakang yang sulit dijangkau. Wajahnya terlihat lelah.“Butuh bantuan?” tanya Dani sambil menangkap tangan Alya dan mencuri sebuah kecupan dari samping.Alih-alih senang dengan keberadaan sang suami, Alya justru mendengus kesal.“Nggak usah tanya. Kalau niat bantu, langsung aja.”“Langsung apa?” balas Dani dengan nada menggoda, sengaja berbisik di dekat telinga Alya dan mengembuskan napas hangat yang membuat gadis itu tegang.“Mas Dani ngapain, sih?!” Alya memutar tubuhnya, mencoba mendorong tubuh sang suami yang sedikit menunduk sejak beberapa menit lalu saat mendekatinya.“Aku capek, Mas. Jangan nam

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Lamaran Pria Posesif

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 85. Lamaran Pria Posesif "Peluru sudah berhasil dikeluarkan dari kaki pasien. Tapi kondisinya masih lemah. Kami sarankan rawat inap sampai trauma psikisnya tertangani," ucap sang dokter dengan suara tenang namun tegas. Dani mengangguk, berterima kasih sebelum berjalan cepat ke ruang perawatan. Pintu kamar digeser perlahan. Di baliknya, Alya terbaring diam, sudah mengenakan pakaian rumah sakit. Wajahnya pucat dan terlihat kelelahan. Dia sudah beberapa kali mengikuti gala dinner bisnis, tapi menjadi bagian dari pesta berdarah adalah pengalaman yang pertama baginya. "Mas Dani," panggil Alya lirih setelah membuka mata saat merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. "Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?" Dani mengamati Alya, memindai manik mata gadis kesayangannya. Alih-alih menjawab, Alya justru tersedu. Tangannya segera meraih lengan Dani dan memeluknya erat-erat. Dani yang ikut merasa terenyuh, membiarkan gadis itu menangis. Selama ini Aly

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Game Over

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 84. Game OverTubuh Felix limbung, terhuyung ke belakang dan ambruk di lantai. Belati yang tadi menancap di perutnya, kini jatuh berkelontang dari tangan Andrew.“Apa yang terjadi?” tanya pria bermata sipit dengan tangan berlumur darah kakak kandungnya sendiri. Suaranya bergetar dengan mata terbelalak. Tatapannya terpaku pada tubuh yang tergeletak dengan napas yang semakin melemah. Kemeja yang dipakai berubah merah oleh darah.Semua suara seolah lenyap, bahkan teriakan panik dan derap kaki para tamu yang masih berusaha menyelamatkan diri, tak lagi terdengar oleh Andrew. Dia bahkan sampai lupa bernapas, tangannya gemetar.“Mas…” Dua langkah dari sana, Alya yang terduduk lunglai, menatap dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam lengan Dani erat-erat.Di belakang keduanya, Firman hanya bisa terdiam. Rasa perih di pelipisnya tak lagi penting, dia justru sibuk menoleh ke sana kemari mencari jalan keluar. Wajah-wajah di sekitar mereka menyiratka

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Bulan Tersaput Awan

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Curang dan Suka Main Belakang

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status