Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA.
“Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat. Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri. Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya. “Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tipikal anak satu-satunya memang seperti itu, kuat kemauannya. Tidak bisa dibantah. “Yuk!” Tanpa aba-aba, gadis itu menarik tanganku untuk keluar dari kelas. Mengabaikan pandangan beberapa anak yang berpapasan di koridor sekolah. Begitulah awal hubunganku dengan Nadya yang lebih suka dipanggil Nana. Dia yang lebih bersemangat atas hubungan kami. Bahkan dia juga yang memintaku menjadi pacarnya. Orang tua Nana menerimaku dengan baik tanpa melihat latar belakangku yang tak berpunya. Sebaliknya, mereka sangat peduli padaku. Pak Bagaskara mencarikan universitas terbaik untukku. Bukan di kota ini, melainkan di luar negeri. Beliau, mengenalkanku pada seorang pemilik yayasan pendidikan. Aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sana. Meskipun itu artinya, aku harus meninggalkan Nana. Kami bertengkar untuk pertama kalinya. Dia melarangku pergi, tapi aku bersikeras dan kami tetap berpisah. Hari itu, kulihat dia menangis, tapi aku tetap harus berangkat. Sepuluh tahun berlalu, rasa sesak itu kembali datang. Aku melihat Nana menangis di pelukan ayahnya. Sama seperti saat meninggalkannya di bandara. “Firman, masuk.” Suara bariton Pak Bagaskara memecah keheningan, memutuskan lamunan panjangku akan masa lalu. Beliau mengajakku kembali ke ruang kerja. Ragu-ragu aku melangkah ke sana. Sejujurnya, aku takut melihat Nana yang tampak terluka. Entah luka karena rumah tangganya yang ada di ujung tanduk, atau luka lama perpisahan kami yang kembali terbuka. Bagiku, kedua hal itu sama-sama menyakitkan. Aku duduk sambil mengamati Nana yang terus menundukkan kepala. Penampilannya tidak banyak berubah, masih sama cantiknya dengan sepuluh tahun lalu. Hanya saja, sebuah jilbab pasmina menyembunyikan rambut panjangnya yang indah. Dia berhijab sekarang. “Seperti yang sudah saya jelaskan di bawah, Nana ditipu oleh suaminya. Aset-aset yang mereka beli saat jadi suami istri, nggak ada satu pun yang menggunakan namanya. Cuma ruko kecil dan sebuah pick up tua yang tersisa. Itu pun karena saya yang mengurusnya saat itu. Nana dibutakan cinta dan memercayai Reza sepenuhnya. Bahkan, pria itu juga berniat mengambil hak asuh Bima, anak semata wayang mereka.” Aku meneguk ludah mendengar Pak Bagaskara mengulangi hal yang sudah dia jelaskan di lobi tadi. Beliau terlihat amat murka, tapi masih coba mengendalikan emosinya. Tetap berwibawa. “Apa suami Nana sudah mendaftarkan perceraiannya?” Lidahku kelu, memaksakan diri menyebutkan pertanyaan itu. “Belum. Sampai sekarang dia masih main tarik ulur. Posisinya belum aman di perusahaan, jadi nggak bisa menceraikan Nana begitu saja. Bagaimanapun juga, pemilik perusahaan tempatnya bekerja sangat menyayangi Nana seperti putrinya sendiri. Cepat atau lambat, dia akan ditendang dari sana jika bukan lagi suami Nana. Sekarang Wirawan memang belum tahu, tapi begitu surat gugatan cerai didaftarkan, dia nggak mungkin diam saja.” Aku kembali diam, mengangguk satu kali. Pak Wirawan adalah ayah angkat Nadya yang sama berpengaruhnya seperti Pak Bagaskara ini. Mereka bisa melakukan apa saja hanya dengan menjentikkan jari. Aku jelas tahu sepak terjang mereka, beberapa tahun ini mengurus masalah hukum yang tidak bisa mereka hindari. “Saya mau kamu merebut semua aset itu, mengembalikannya atas nama Nadya. Sejak awal Reza itu nggak punya apa-apa waktu nikahin anak saya. Enak saja dia mau ambil untung. Saya justru mau dia jadi miskin seperti semula.” “Pa, aku cuma mau Bima.” Nana mengangkat wajahnya, menggeleng berkali-kali sambil memegangi lengan ayahnya. Dia seolah tidak rela membuat suaminya menderita. Mungkin masih cinta. Bagaimanapun juga, Nadya hanya wanita biasa. Bodohnya, hatiku kembali bergetar ingin mengulurkan tangan dan mengacak puncak kepala seperti yang biasa kulakukan saat dia merajuk padaku di masa lalu. Aku harus mengenyahkan perasaan ini, bersikap profesional, memperlakukan Nana seperti klien lain pada umumnya. “Aku nggak peduli apa yang mau Papa lakukan, tapi aku cuma mau Bima.” Nana mengulangi permintaannya, memohon dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya. “Firman ....” Bukannya menjawab permohonan sang anak, Pak Bagaskara justru menatapku dengan pandangan tegas. Jelas sekali dia tidak tega menghardik putrinya. Bahkan, melepaskan tautan tangan wanita itu pun dengan sangat hati-hati. “Kamu tahu apa yang saya inginkan. Bicarakan dengan Nana. Kalau ada dokumen yang kamu butuhkan, segera hubungi saya.” “Pa?” Pak Bagaskara beranjak dari kursinya, mengabaikan panggilan Nana. Beliau menebalkan telinga, pergi dari ruangan ini dan tidak menengok sama sekali. Hening beberapa detik setelah pintu jati di depan sana tertutup sempurna. Menyisakan aku dan Nana dalam situasi yang canggung. Bahkan dua menit setelahnya, kami berdua tetap bungkam sampai notifikasi di ponsel Nana memecah suara. Mau tak mau dia harus melihatnya. Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan sampai membuat wajahnya begitu tegang. Buku-buku jarinya bahkan mengerat seolah ingin melempar ponselnya. Bulir air mata yang semula tertahan kini keluar dari ujung mata. Dadaku kembali sesak, tapi tetap tidak bisa berkata-kata. “Firman,” panggilnya dengan suara tersekat di tenggorokan. Jelas sekali dia berusaha meneguhkan diri, menatap wajahku. “Ya?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. “Kamu bisa bantu aku?” Mulutku terbuka, tapi justru tak bisa bersuara. Entah kenapa, melihat Nana menangis seperti ini amat menyakitkan untukku. Aku hanya menganggukkan kepala. Pun sama yang terjadi dengan wanita itu, dia tidak bisa mengungkapkan isi kepala. Hanya bisa menyodorkan ponselnya padaku dengan tangan gemetar. Menepis semua prasangka yang ada, aku meraih benda pipih itu dan melihat layarnya. Keningku berkerut, menatap nama Joyce di bagian atas. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya. Namun, perhatianku terpusat pada pesan paling bawah yang dikirimkan dua menit lalu. Sebuah foto testpack dengan dua garis biru terlihat di sana bersama pesan mengejutkan dari Joyce. [Na, aku hamil anak Mas Reza.]Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 81. Tiga Gerbang Penuh Penjagaan "Benar di sini tempatnya? Kenapa sepi sekali seperti nggak ada satu pun tamu yang datang?" tanya Firman begitu mobil yang dikendarai Dani berhenti di sebuah pintu gerbang. Tak ada orang sama sekali di sana."Nggak semua orang bisa masuk, makanya mereka punya keamanan berlapis. Ini baru pintu gerbang pertama. Lingkar luar, puluhan kilometer dari tempat acara. Masih ada dua gerbang lainnya sebelum kita sampai di vila."Bukan Dani, melainkan Om Wirawan yang menjelaskan. Pria itu duduk di kursi belakang, menampilkan wajah tenang meski tahu maut mungkin tengah menghadang.Dani sendiri masih sibuk menempelkan kartu undangan di sebuah alat pemindai yang tertanam di dinding. Butuh satu-dua detik sampai lampu hijau menyala dan gerbang dengan tinggi kurang lebih enam meter itu terbuka."Dari sini, kita mulai diawasi. Perhatikan, baik di tempat terbuka maupun di tempat-tempat tersembunyi, ada kamera." Suara Cinderella menje
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bom! Hanya itu yang ada dalam bayangan di kepala Firman. Sesaat setelah berteriak, dia langsung menyambar tubuh mungil Bima dan menyerahkannya kepada Nadya. Dengan menanggung resiko akan keselamatan nyawanya sendiri, dia mengambil benda mungil roda empat itu dan berlari melemparkannya ke dalam kolam renang. Setidaknya, efek yang terjadi sedikit diminimalisir jika terjadi ledakan. Itu yang Firman pikirkan. Namun, menit-menit berlalu, tak ada yang terjadi. "Mas, kamu kenapa?" tanya Nadya yang masih menggendong Bima, menatap sang suami dengan kening berkerut penuh tanya setelah posisi keduanya berdekatan. Dari arah belakang, kedua orang tua Nadya ikut muncul. Mereka terkejut mendengar teriakan panik Firman yang selama ini selalu berbicara dengan lemah lembut kepada Nadya dan Bima. Semua orang berpandangan, menggeleng. Sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Firman bisa bertindak seimpulsif itu? Firman terlihat masih syok, seperti belum ters
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 79. Sebuah Ancaman“Bagaimana? Kalian sudah bereskan bagian masing-masing?” tanya Om Wirawan begitu duduk di kursi kebesarannya, menatap Firman, Dani, dan Cinderella bergantian, sehari sebelum gala dinner diadakan.“Sudah, Om. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk melumpuhkan orang-orang itu, ada di sini. Tolong Om periksa lebih dulu. Jika ada yang perlu diperbaiki, saya lakukan sekarang juga.”Firman mendorong map tebal berisi beberapa bundel dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengacara kepercayaan Om Wirawan.Pria dengan wajah dingin itu memusatkan atensinya pada deretan huruf dan angka yang ada di atas kertas. Beberapa kali keningnya berkerut, sesekali mengangguk. Setiap tulisan dengan cetak tebal, menjadi fokus utamanya.“Oke, nanti untuk pengalihan aset dan lain-lain, mungkin akan ada perubahan. Kamu siapkan soft copy-nya, kirimkan ke saya.”Firman mengangguk, segera mengambil ponsel dan mengirimkan dokumen yang dimaksud.“Dani, pr
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 78. High Risk, High Return. Low Risk, Low Return! “Apa ada masalah, Mas?” tanya Nadya yang menyadari wajah Firman belum sepenuhnya lega. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang, mengecek ponsel, kemudian menggeleng pelan. Meski tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi gerak-gerik itu membuat sang istri terusik. “Ah, kamu kebangun, Na?” Alih-alih menjawab, Firman justru mendekat dan langsung mengelus pipi Nadya. Seulas senyum coba pria itu tunjukkan, menyembunyikan kegamangan hati dan pikirannya. “Ada masalah?” ulang Nadya sambil meraih jemari sang suami. “Bukan hal yang penting, Na. Aku cuma—” “Teror itu belum ada titik temu? Belum tahu siapa pengirimnya?” sela Nadya lebih dulu, membuat tubuh Firman menegang. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang perawatan. Tidak ada gunanya menyembunyikan masalah dari sang istri. Bukankah pasangan adalah tempat berbagi keluh kesah? “Maaf udah bikin kamu jadi ikut khawatir, Sayang