"Firman, nggak bisa besok aja?"
Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat. "Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?" Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya. "Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah." Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan. Setelah diam setengah menit, pada akhirnya aku mengambil buku kecil dari tas kerjaku dan mengangsurkannya, lengkap dengan sebuah pena menyertainya. "Tulis di sana alasan kamu harus bertahan dan tulis juga alasan kamu harus melepaskan. Aku tunggu di luar. Kalau sudah, ketuk kacanya tiga kali." Belum sempat Nana menjawab, aku sudah lebih dulu melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil, sengaja memberikannya keleluasaan untuk berpikir. Mataku menatap berkeliling, menikmati semburat warna jingga di kejauhan sana. Sebentar lagi senja datang mengantar malam. Sesekali tatapanku tertuju pada satu-dua mobil yang memasuki kawasan ini. Semuanya kendaraan mewah, menandakan penghuni perumahan rata-rata orang berada. Itu artinya, mereka memiliki harga diri yang jelas lebih tinggi dibandingkan rakyat jelata. Termasuk Reza, orang yang akan aku temui. "Rasanya ngakan rumit menghadapi Reza," gumamku sambil tersenyum, memainkan kerikil di dekat sepatu. Kalau teori di kepalaku benar, justru kemenangan Nana di depan mata walaupun semua aset atas nama suaminya. Ketukan di kaca mobil terdengar, membuatku menoleh ke belakang. Keningku berkerut. Dia sudah selesai membuat pertimbangan? Detik itu juga aku bergerak kembali memasuki mobil dan menatap wanita itu dengan mata menyelidik. "Aku nggak tahu harus nulis apa," ujarnya lirih hampir tak terdengar. Untung saja aku melihat gerak bibirnya dengan seksama, jadi tahu apa yang baru saja dikatakan. "Ada apa?" Nana menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya, tidak tahu harus berbuat apa. Dia mengembalikannya buku mungil itu padaku sebelum memalingkan wajah, menatap keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. Aku melirik arloji di pergelangan tanganku, hampir pukul enam sore. Sebenarnya ini sudah di luar jam kerjaku, tapi aku juga tidak bisa membiarkan urusan ini berlarut-larut. Masih begitu banyak proses yang harus dilewati nanti. "Na," panggilku dengan suara serak, berusaha tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Namun nyatanya, aku tetap saja ingin tahu. Ada puluhan pertanyaan yang ingin aku dengar jawabannya langsung dari mulut Nana. "Kamu masih cinta sama Reza?" Aku melihat wanita itu sedikit terkesiap, menatap mataku lekat-lekat. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. "Maaf kalau aku lancang bertanya hal seperti itu, tapi kamu sudah jadi klienku, Na. Kalau kamu masih cinta sama suami kamu, mungkin lebih baik proses ini tidak usah dilanjutkan." Nana tak lantas menjawab, tampak berpikir keras. Pasti dia punya banyak pertimbangan. "Oke, karena kamu masih bimbang, malam ini kamu pikirkan matang-matang, Na. Kita bicarakan lagi besok. Kalau kamu mantap mau menggugat suami kamu sekaligus memperjuangkan harta gono-gini, aku siap memperjuangkannya. Segala cara bakal aku lakukan supaya kamu dapat hak asuh anakmu." Dia mengangguk lemah, tapi tak bisa menyembunyikan rasa bimbang yang sejak tadi mengganggunya. Wanita itu seolah terombang-ambing, meragukan hubungannya dengan Reza, bisa berlanjut atau stop sampai di sini. Tanganku memutar kunci mobil dan menghidupkannya, bersiap membawa kendaraan itu keluar kompleks perumahan. Aku tidak bisa memaksa. Biarkan dia mengambil keputusannya sendiri. "Tunggu!" Suara Nana mencegah gerakan tanganku memutar kemudi. Aku menoleh ke arahnya, menunggu kata berikutnya. "Kita ke rumah sekarang. Walaupun mungkin ini sakit buat aku, tapi aku nggak mau berlarut-larut dibodohi." "Kamu yakin?" tanyaku sangsi dan dia mengangguk sebagai jawaban. "Dari awal Mas Reza pasti udah merencanakan ini semua. Kalau gak, gimana bisa dia yang ambil kendali semua aset aku? Mungkin aku yang terlalu bodoh, dibutakan sama cinta dan perhatian semu dari dia. Dia datang di saat aku butuh sosok teman setelah kamu pergi." Deg! Detak jantungku seolah berhenti satu detakan bersama jarum tajam yang menghunjam dan membuat dadaku sesak. "Mas Reza sejak ospek udah naruh perhatian ke aku. Dia kasih hukuman karena aku bengong waktu dia lagi kasih penjelasan. Sejak saat itu, kami sering bertemu. Aku yang lagi patah hati, disirami perhatian-perhatian kecil yang lama-lama membuatku merasa nyaman. "Perlahan tapi pasti, Mama tahu hal itu dan jadi minta bantuan Mas Reza buat jaga aku. Cuma dia satu-satunya teman di kampus. Itu juga yang membuat Om Wirawan langsung merekrut Mas Reza begitu wisuda. Dia anggap Mas Reza layak dapat tempat khusus di perusahaan karena bisa 'momong' aku." Aku menarik napas dalam, bisa mengerti alur cerita yang baru saja diungkapkan. Hubungannya dengan Reza bukan berdasar suka sama suka sejak awal, tapi antara si pemberi dan penerima. Nana yang rapuh dan kesepian, menerima perhatian yang saat itu dibutuhkan karena aku meninggalkannya. "Acara lamaran, Papa sama Om Wirawan yang berinisiatif. Mereka takut aku hamil di luar nikah karena kita sering jalan berdua. Semua mereka yang atur. Begitu aku wisuda, kami langsung nikah dan Papa lepas kami berdua. Uang yang didapat dari hadiah pernikahan, sebagian aku pakai buat buka usaha katering dan sebagian buat ambil kredit rumah." Suara Nana sudah lebih baik, tidak lagi parau seperti sebelumnya setelah minum air mineral yang aku berikan. "Usahaku lancar dan langsung dapat banyak pelanggan berkat luasnya relasi Papa sama Om Wirawan yang udah anggap aku kayak anaknya sendiri. Jabatan Mas Reza juga terus dapat promosi. Kata Papa, dia punya anggota tim yang hebat dan solid, jadi bisa ambil target, bahkan melampauinya. Seiring berjalannya waktu, Mas Reza dipindahkan dari tim itu dan sekarang keadaannya kacau. Jabatannya bahkan diturunkan." Aku mengangguk, semakin memahami Reza meskipun belum pernah bertatap muka dengannya. Aku segera mengambil ponsel dan mengirimkan pesan ke staf IT yang selama ini membantu di firma hukum tempatku bekerja. Dia bisa menelusuri jejak digital seseorang, termasuk juga riwayat hidupnya. [Cari tahu semua data tentang klien yang datang hari ini & suaminya. Jangan lupa latar belakang keluarganya juga.] "Firman, kalau memang kami harus berpisah, mungkin itu yang terbaik. Aku percayakan kasus ini ke kamu sepenuhnya. Bisa?" Aku menoleh ke arah Nana, mengangguk mantap setelah menyimpan kembali ponsel ke dalam saku. "Tentu! Aku ada di pihakmu dan siap pasang badan buat kamu, Na!"Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 81. Tiga Gerbang Penuh Penjagaan "Benar di sini tempatnya? Kenapa sepi sekali seperti nggak ada satu pun tamu yang datang?" tanya Firman begitu mobil yang dikendarai Dani berhenti di sebuah pintu gerbang. Tak ada orang sama sekali di sana."Nggak semua orang bisa masuk, makanya mereka punya keamanan berlapis. Ini baru pintu gerbang pertama. Lingkar luar, puluhan kilometer dari tempat acara. Masih ada dua gerbang lainnya sebelum kita sampai di vila."Bukan Dani, melainkan Om Wirawan yang menjelaskan. Pria itu duduk di kursi belakang, menampilkan wajah tenang meski tahu maut mungkin tengah menghadang.Dani sendiri masih sibuk menempelkan kartu undangan di sebuah alat pemindai yang tertanam di dinding. Butuh satu-dua detik sampai lampu hijau menyala dan gerbang dengan tinggi kurang lebih enam meter itu terbuka."Dari sini, kita mulai diawasi. Perhatikan, baik di tempat terbuka maupun di tempat-tempat tersembunyi, ada kamera." Suara Cinderella menje
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bom! Hanya itu yang ada dalam bayangan di kepala Firman. Sesaat setelah berteriak, dia langsung menyambar tubuh mungil Bima dan menyerahkannya kepada Nadya. Dengan menanggung resiko akan keselamatan nyawanya sendiri, dia mengambil benda mungil roda empat itu dan berlari melemparkannya ke dalam kolam renang. Setidaknya, efek yang terjadi sedikit diminimalisir jika terjadi ledakan. Itu yang Firman pikirkan. Namun, menit-menit berlalu, tak ada yang terjadi. "Mas, kamu kenapa?" tanya Nadya yang masih menggendong Bima, menatap sang suami dengan kening berkerut penuh tanya setelah posisi keduanya berdekatan. Dari arah belakang, kedua orang tua Nadya ikut muncul. Mereka terkejut mendengar teriakan panik Firman yang selama ini selalu berbicara dengan lemah lembut kepada Nadya dan Bima. Semua orang berpandangan, menggeleng. Sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Firman bisa bertindak seimpulsif itu? Firman terlihat masih syok, seperti belum ters
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 79. Sebuah Ancaman“Bagaimana? Kalian sudah bereskan bagian masing-masing?” tanya Om Wirawan begitu duduk di kursi kebesarannya, menatap Firman, Dani, dan Cinderella bergantian, sehari sebelum gala dinner diadakan.“Sudah, Om. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk melumpuhkan orang-orang itu, ada di sini. Tolong Om periksa lebih dulu. Jika ada yang perlu diperbaiki, saya lakukan sekarang juga.”Firman mendorong map tebal berisi beberapa bundel dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengacara kepercayaan Om Wirawan.Pria dengan wajah dingin itu memusatkan atensinya pada deretan huruf dan angka yang ada di atas kertas. Beberapa kali keningnya berkerut, sesekali mengangguk. Setiap tulisan dengan cetak tebal, menjadi fokus utamanya.“Oke, nanti untuk pengalihan aset dan lain-lain, mungkin akan ada perubahan. Kamu siapkan soft copy-nya, kirimkan ke saya.”Firman mengangguk, segera mengambil ponsel dan mengirimkan dokumen yang dimaksud.“Dani, pr
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 78. High Risk, High Return. Low Risk, Low Return! “Apa ada masalah, Mas?” tanya Nadya yang menyadari wajah Firman belum sepenuhnya lega. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang, mengecek ponsel, kemudian menggeleng pelan. Meski tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi gerak-gerik itu membuat sang istri terusik. “Ah, kamu kebangun, Na?” Alih-alih menjawab, Firman justru mendekat dan langsung mengelus pipi Nadya. Seulas senyum coba pria itu tunjukkan, menyembunyikan kegamangan hati dan pikirannya. “Ada masalah?” ulang Nadya sambil meraih jemari sang suami. “Bukan hal yang penting, Na. Aku cuma—” “Teror itu belum ada titik temu? Belum tahu siapa pengirimnya?” sela Nadya lebih dulu, membuat tubuh Firman menegang. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang perawatan. Tidak ada gunanya menyembunyikan masalah dari sang istri. Bukankah pasangan adalah tempat berbagi keluh kesah? “Maaf udah bikin kamu jadi ikut khawatir, Sayang