共有

Tekad Bulat (POV Firman)

last update 最終更新日: 2024-12-05 20:42:58

"Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama.

Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang.

"Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan.

"Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?"

Nana menghempas tanganku, berdiri dengan cepat sampai membuat es teh di atas meja tumpah. Tapi, itu tidak lebih penting dari protesnya karena tidak setuju dengan keputusan akhirku.

“Kalau kamu tetap pergi, kita nggak ada hubungan lagi. Kita putus!”

Nana berlari mencegat taksi dan meninggalkan aku sendiri. Berhari-hari kucoba menemuinya, tetapi nihil. Hanya Om Bagaskara dan Tante Widya yang minta maaf padaku atas keras kepala anak kesayangan mereka itu.

Aku pikir Nana tidak akan datang ke bandara, tapi dia tiba-tiba muncul saat aku sudah melewati petugas imigrasi. Tangisnya menggema, membuat orang-orang memusatkan perhatian padanya. Dia berteriak memintaku tinggal, tapi sebagai seorang pria, aku punya harga diri untuk diperjuangkan. Mimpi-mimpi masa depan. Meski itu artinya, aku harus kehilangan gadis yang aku cinta.

Suara pintu yang terbuka membuat lamunanku terjeda. Refleks wajahku menoleh ke sebelah kanan di mana Nana keluar dari kamar mandi yang ada di ruang kerjaku. Wajahnya basah dengan mata yang masih terlihat sembap.

Setelah menunjukkan pesan dari Joyce tentang kehamilannya, dia masuk ke kamar mandi dan mengunci diri setidaknya selama tiga puluh menit. Selama itulah aku mengenang masa lalu kami berdua.

Aku berdeham, berusaha mengusir rasa sesak yang entah datang dari mana. Setidaknya aku harus profesional dalam bekerja.

"Bisa kita bicarakan kasus ini dengan kepala dingin, Na?" tanyaku sambil menunjuk berkas yang diantarkan oleh asistenku dua menit yang lalu. Itu form kosong yang harus diisi nama dan data-data klien sebelum kami mengambil tindakan hukum.

"Silakan isi dulu form-nya."

Nana mengangguk, kembali duduk di depanku. Ku lihat dia sesekali menarik napas dalam, mengembuskannya dari mulut. Tangannya masih gemetar saat kuulurkan pena padanya. Dia pasti syok, terguncang psikisnya.

"Sudah berapa lama kamu menikah dengan tergugat?" tanyaku dengan suara yang aku usahakan setenang mungkin, menyembunyikan gemuruh di dalam dadaku.

"Lima tahun. Hari ini tepat anniversary yang kelima."

Satu jarum tajam menghunjam ulu hatiku, membuat penyesalan itu datang lagi. Jika saja aku memaksakan diri pulang, mungkinkah Nana membatalkan pernikahannya dengan Reza?

"Seperti yang Papa bilang, aku terlalu bodoh dan memercayai Mas Reza sepenuhnya. Dia yang pegang kendali semua aset kami, bahkan kepemilikan restoran, mobil, rumah, termasuk buku tabungan, semua atas nama dia. Cuma kios kecil sama pick up tua yang menggunakan namaku karena Papa yang mengurusnya."

Aku mengangguk, menatap selembar kertas berisi tuntutan Nana.

"Kamu mau ambil semuanya?"

Kali ini Nana menggeleng, "Nggak semua. Aku cuma mau hak asuh Bima ada di tanganku. Kalau aset itu masih bisa kita perjuangkan, aku bersedia ikuti prosesnya. Kalaupun nggak, nggak masalah. Bima jauh lebih penting dari segalanya."

Aku terdiam beberapa detik, menatap wajah cantik yang menyimpan kesedihan di matanya. Sesayang itukah seorang ibu pada anaknya? Kenapa aku tidak mendapatkan kesempatan seperti itu?

"Tadinya aku nggak kepikiran buat menggugat harta gono-gini, tapi Papa yang mendesakku sampai memaksaku ke sini. Setelah lihat pesan dari Joyce, entah kenapa rasanya aku nggak rela jerih payahku selama ini jatuh ke tangan dia. Jadi, mungkin memang ini keputusan yang terbaik. Karena Mas Reza mungkin nggak akan pernah mendaftarkan perceraian kami, aku yang akan menggugat cerai. Keputusanku udah bulat. Kamu bisa bantu urus sisanya, kan?"

Ini pertama kalinya Nana menatap mataku lekat-lekat. Akan tetapi, ini sama sekali bukan Nana yang kukenal. Sorot matanya yang selalu memancarkan keceriaan, sekarang penuh oleh kekecewaan berbalut dendam dan kemarahan. Aku hampir tidak mengenalinya. Apa yang ada di dalam kepalanya?

"Bisa kan hak asuh Bima jatuh ke tanganku?"

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari kata yang tepat agar Nana tidak terguncang.

"Saat terjadi perceraian, seorang Ibu berhak mengasuh anak yang berusia di bawah 12 tahun. Setelah anak itu mencapai usia yang disebutkan sebelumnya, dia berhak memilih antara Ayah atau Ibu sebagai pemegang hak pengasuhan. Tapi dalam kasus tertentu, seorang Ibu juga bisa kehilangan hak asuh jika dia memiliki riwayat buruk seperti pernah tersandung kasus kriminal, maupun ketidakmampuan dalam hal finansial."

Raut wajah Nana yang semula terlihat sedikit lega, sekarang tampak lebih keruh dibandingkan sebelumnya. Dia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya karena khawatir.

Meski tak menyuarakan isi hatinya, tapi aku tahu berbagai pikiran buruk pasti memenuhi kepala Nana. Dia mungkin akan semakin terguncang jika harta dan anak semata wayangnya hilang dari genggaman.

"Na, masih ada berkas yang harus kamu lengkapi," ucapku setelah beberapa menit berlalu dalam diam.

"Berkas apa saja?"

Aku mengambil selembar kertas dan menuliskan dokumen apa saja yang akan digunakan untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Reza.

"Surat nikah asli, salinan surat nikah yang sudah dilegalisir dan bermaterai, salinan KTP, salinan kartu keluarga, juga foto kopi akta kelahiran anak bermaterai dan dilegalisir."

Aku menyerahkan lembaran kertas itu ke Nana.

"Jika ingin melanjutkan proses gugatan cerai dengan urusan harta gono-gini, kamu juga harus menyiapkan dokumen lain seperti bukti kepemilikan kendaraan, surat tanah, rumah, juga aset lainnya."

Kedua bahu Nana luruh, tampak putus asa.

"Ada apa?" tanyaku pada akhirnya. "Semua dokumen itu dipegang sama suamimu?"

Dia mengangguk lemah.

"Oke, kita ambil sekarang."

"Eh? Sekarang?!" Nana terhenyak, mengangkat wajahnya yang semula menunduk.

"Ayo!"

Aku mengambil jas di belakang kursi, memakainya dengan cepat dan mengambil ponsel serta kunci mobil. Entah demi Nana dan kebahagiaannya atau demi nama baik firma hukum ini, aku pasti akan melakukan yang terbaik yang aku bisa!

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Game Over

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 84. Game OverTubuh Felix limbung, terhuyung ke belakang dan ambruk di lantai. Belati yang tadi menancap di perutnya, kini jatuh berkelontang dari tangan Andrew.“Apa yang terjadi?” tanya pria bermata sipit dengan tangan berlumur darah kakak kandungnya sendiri. Suaranya bergetar dengan mata terbelalak. Tatapannya terpaku pada tubuh yang tergeletak dengan napas yang semakin melemah. Kemeja yang dipakai berubah merah oleh darah.Semua suara seolah lenyap, bahkan teriakan panik dan derap kaki para tamu yang masih berusaha menyelamatkan diri, tak lagi terdengar oleh Andrew. Dia bahkan sampai lupa bernapas, tangannya gemetar.“Mas…” Dua langkah dari sana, Alya yang terduduk lunglai, menatap dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam lengan Dani erat-erat.Di belakang keduanya, Firman hanya bisa terdiam. Rasa perih di pelipisnya tak lagi penting, dia justru sibuk menoleh ke sana kemari mencari jalan keluar. Wajah-wajah di sekitar mereka menyiratka

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Bulan Tersaput Awan

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Curang dan Suka Main Belakang

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Tiga Gerbang Penuh Penjagaan

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 81. Tiga Gerbang Penuh Penjagaan "Benar di sini tempatnya? Kenapa sepi sekali seperti nggak ada satu pun tamu yang datang?" tanya Firman begitu mobil yang dikendarai Dani berhenti di sebuah pintu gerbang. Tak ada orang sama sekali di sana."Nggak semua orang bisa masuk, makanya mereka punya keamanan berlapis. Ini baru pintu gerbang pertama. Lingkar luar, puluhan kilometer dari tempat acara. Masih ada dua gerbang lainnya sebelum kita sampai di vila."Bukan Dani, melainkan Om Wirawan yang menjelaskan. Pria itu duduk di kursi belakang, menampilkan wajah tenang meski tahu maut mungkin tengah menghadang.Dani sendiri masih sibuk menempelkan kartu undangan di sebuah alat pemindai yang tertanam di dinding. Butuh satu-dua detik sampai lampu hijau menyala dan gerbang dengan tinggi kurang lebih enam meter itu terbuka."Dari sini, kita mulai diawasi. Perhatikan, baik di tempat terbuka maupun di tempat-tempat tersembunyi, ada kamera." Suara Cinderella menje

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Ambisi Balas Dendam

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bom! Hanya itu yang ada dalam bayangan di kepala Firman. Sesaat setelah berteriak, dia langsung menyambar tubuh mungil Bima dan menyerahkannya kepada Nadya. Dengan menanggung resiko akan keselamatan nyawanya sendiri, dia mengambil benda mungil roda empat itu dan berlari melemparkannya ke dalam kolam renang. Setidaknya, efek yang terjadi sedikit diminimalisir jika terjadi ledakan. Itu yang Firman pikirkan. Namun, menit-menit berlalu, tak ada yang terjadi. "Mas, kamu kenapa?" tanya Nadya yang masih menggendong Bima, menatap sang suami dengan kening berkerut penuh tanya setelah posisi keduanya berdekatan. Dari arah belakang, kedua orang tua Nadya ikut muncul. Mereka terkejut mendengar teriakan panik Firman yang selama ini selalu berbicara dengan lemah lembut kepada Nadya dan Bima. Semua orang berpandangan, menggeleng. Sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Firman bisa bertindak seimpulsif itu? Firman terlihat masih syok, seperti belum ters

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Sebuah Ancaman

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 79. Sebuah Ancaman“Bagaimana? Kalian sudah bereskan bagian masing-masing?” tanya Om Wirawan begitu duduk di kursi kebesarannya, menatap Firman, Dani, dan Cinderella bergantian, sehari sebelum gala dinner diadakan.“Sudah, Om. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk melumpuhkan orang-orang itu, ada di sini. Tolong Om periksa lebih dulu. Jika ada yang perlu diperbaiki, saya lakukan sekarang juga.”Firman mendorong map tebal berisi beberapa bundel dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengacara kepercayaan Om Wirawan.Pria dengan wajah dingin itu memusatkan atensinya pada deretan huruf dan angka yang ada di atas kertas. Beberapa kali keningnya berkerut, sesekali mengangguk. Setiap tulisan dengan cetak tebal, menjadi fokus utamanya.“Oke, nanti untuk pengalihan aset dan lain-lain, mungkin akan ada perubahan. Kamu siapkan soft copy-nya, kirimkan ke saya.”Firman mengangguk, segera mengambil ponsel dan mengirimkan dokumen yang dimaksud.“Dani, pr

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status