Share

Bab 2 Merelakan Sesuatu yang Belum Sempat Dimiliki

Bab 2 Merelakan Sesuatu yang Belum Sempat Dimiliki

Gadis dengan rambut tergerai tersebut menautkan dua alisnya bingung saat melihat ponselnya. Matanya begitu serius hingga tidak menyadari bahwa seseorang sudah duduk di hadapannya sembari tersenyum simpul.

“Halo, Nona.”

Mendengarnya, membuat Teala mendongak dan mengulas senyumnya melihat Marvin menatapnya teduh.

“Serius sekali, sedang melihat apa?” tanya pria itu.

“Aku sedang memikirkan caption yang tepat untuk produk ini. Coba kamu lihat apa kalimatku sudah tepat?” tanya Teala sembari menunjukkan benda pipih di genggamannya pada Marvin.

Pria itu membaca sekilas kemudian mengangguk kecil sebelum berkomentar, “Kamu sepertinya perlu menambahkan sedikit emoticon atau tanda baca supaya lebih seru,” saran Marvin dan segera dilakukan gadis itu.

Kembali melihat ponselnya, gadis itu tersenyum puas kemudian menatap pria di depannya tersebut dengan binar yang tidak bisa disembunyikan, hingga tanpa sadar membuat Marvin menahan napas.

“Terima kasih, Marvin!” ucap Teala bersemangat yang hanya dibalas senyuman dan anggukkan oleh pria itu.

“Selesai dari sini, bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku melihat kafe baru di seberang lampu merah dan tempatnya bagus sekali. Aku jamin kamu akan suka,” ajak Marvin.

“Boleh, tapi setelah itu antarkan aku ke supermarket karena ada beberapa barang yang harus aku beli,” ucap Teala.

“Siap, Bos!”

Keduanya tersenyum, sebelum dering pintu yang menandakan seseorang masuk memaksa atensi keduanya. Marvin dan Teala melihat Yasha dan Jenandra masuk dengan Yasha menggandeng lengan pria itu sembari tersenyum lebar.

“Halo, Adikku!” teriak Yasha bersemangat yang dibalas senyuman.

“Silakan duduk, Kak. Kalian mau makan apa biar sekalian aku ambilkan,” tawar Teala setelah Jenandra dan Yasha menempatkan diri di kursi masing-masing.

Ketiganya menyebut pesanan masing-masing dan segera dianggukki Teala. Gadis itu masuk dan membuatkan pesanan mereka. Retinanya sesekali memperhatikan raut kakaknya dan Jenandra. Mereka berdua tampak bahagia hingga senyum tidak luntur dari bibir keduanya.

Melihat hal tersebut, membuat dada Teala terasa sesak. Gadis itu meremat pelan dan memukul-mukulnya, berharap perasaan tersayat yang tiba-tiba timbul di dadanya dapat segera menghilang. Ia sudah meyakinkan diri untuk perlahan melupakan pria itu, maka Teala akan berusaha. Meski saat ini rasanya tidak mudah dan begitu menyakitkan, gadis itu percaya bahwa saatnya nanti perasaannya akan menghilang. Tidak mungkin untuknya mencintai pria yang sudah menjalin hubungan bahkan terikat janji suci dengan saudaranya sendiri. Teala tidak sepicik itu.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum mengantarkan makanan milik Marvin, Yasha, dan Jenandra.

“Te, ayo duduk bersama kami dulu. Ada karyawanmu 'kan di belakang?” ucap Yasha sembari menarik lengan sang adik hingga mendudukki satu kursi kosong yang ada disana.

“Iya, aku di sini. Aku akan kembali kalau sudah ada pelanggan,” jawab Teala tanpa bisa menolak keinginan kakaknya.

“Jadi, kalian sudah menentukan tempat untuk menikah?” tanya Marvin yang membuat Teala ikut memfokuskan atensinya pada pasangan tersebut.

“Kami hanya akan menikah di gereja karena Yasha tidak terlalu suka hal-hal yang menyulitkan. Namun, akan tetap ada resepsi secara outdor,” jawab Jenandra dan entah mengapa hati Teala terasa begitu sakit saat melihat pria itu menatap kakaknya dengan pandangan memuja.

“Syukurlah, setidaknya ada makanan gratis untukku,” ujar Marvin yang membuat Teala tertawa kecil.

Mereka melanjutkan obrolan seputar persiapan pernikahan Jenandra dan Yasha. Teala yang sejak tadi hanya mendengarkan sejujurnya merasa tidak nyaman karena hatinya serasa sesak. Gadis itu berharap ada banyak pelanggan yang datang bersamaan hingga ia memiliki kesempatan kabur dari pasangan yang duduk di hadapannya tersebut.

Teala sadar bahwa tidak seharusnya ia merasa begitu tersakiti saat bahkan hanya dirinya yang tahu tentang perasaan suka yang dimilikinya. Terlebih, sejak awal, Jenandra sudah memilih Yasha. Pria itu tidak memberikan kesempatan untuknya berusaha sedikit lebih keras.

Yasha memenangkan Jenandra bahkan sebelum Teala menyatakan perang. Maka, sejak pertama perasaan itu tumbuh, gadis itu tahu bahwa ia akan jatuh cinta sendirian dan sakit sendirian.

Awalnya Teala pikir, perasaannya akan cepat menghilang hingga ia hanya perlu fokus dengan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa menghawatirkan apa pun. Sayangnya, perasaannya justru semakin besar tanpa bisa Teala cegah. Kesal dan marah pada diri sendiri yang terus berharap, tapi tidak bisa melakukan apapun sebab Teala tahu bahwa perasaannya bukan kesalahan.

Gadis itu menghela napas panjang dengan perlahan melihat Jenandra mengusap surai Yasha penuh kasih dan sesekali membubuhkan kecupan pada puncak kepala gadis itu. Yasha sendiri sudah menyamankan diri dengan memeluk lengan Jenandra.

Mata Teala mendadak panas dan tangannya terkepal kuat. Meskipun sering melihat pemandangan tersebut saat mereka berempat berkumpul bersama, tapi entah kenapa akhir-akhir ini terasa begitu sulit. Mungkin karena dulu Teala pikir ia masih punya kesempatan untuk setidaknya mendapatkan sedikit perhatian dari pria itu, tapi sekarang Jenandra akan lekas menjadi milik Yasha sepenuhnya tanpa memberi kesempatan Teala untuk sekadar mencuri sedikit perhatian pria itu.

Pintu terbuka dan Teala segera pamit untuk melayani pelanggannya terlebih dahulu. Gadis itu benar-benar berterima kasih pada sekumpulan remaja yang menjadi pelanggannya sore ini.

Gadis itu segera disibukkan dengan pekerjaannya hingga ia tidak sadar bahwa Yasha dan Jenandra sudah meninggalkan meja mereka.

Tanpa sadar gadis itu menghela napas panjang sembari duduk di hadapan Marvin.

“Kenapa, Te?” tanya Marvin.

“Tidak, aku hanya sedikit lelah,” jawab Teala sembari tersenyum dan meminta salahsatu pegawainya untuk membersihkan meja tersebut.

“Kalau kamu lelah, kita tidak usah ke kafe itu sekarang. Kita masih punya banyak waktu, jadi aku akan menemanimu ke supermarket saja,” ucap Marvin.

“Benarkah? Tapi tadi aku sudah berjanji.” Teala merasa tidak enak dengan sahabatnya tersebut.

“Tidak masalah, Te. Kau seperti sedang dengan siapa saja,” kekeh Marvin.

“Baiklah, maaf ya. Hari ini cukup melelahkan dan aku ingin segera tidur. Lain kali! aku janji minggu ini kita akan mengunjungi kafe itu,” ucap Teala dengan pandangan bersemangat yang membuat Marvin mengusak kepala gadis itu dengan gemas.

“Iya, tenang saja,” jawab pria itu.

Teala tersenyum merasa hatinya hangat. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Marvin. Pria itu begitu perhatian hingga kadang Teala merasa kesal mengapa ia tidak jatuh cinta dengan Marvin saja.

“Sebentar ya, aku ganti pakaian dulu,” ucap Teala yang dibalas anggukkan pria itu.

Gadis itu menatap kosong meja kerjanya. Perasaannya terasa lelah sekali. Tertawa kecil menyadari kekonyolannya untuk kesekian kali.

“Bagaimana bisa aku mengatakan akan melepaskanmu saat kamu sendiri belum pernah aku miliki?” monolog gadis itu sembari membenahi barang-barangnya.

Perasaan manusia itu tidak bisa ditebak dan dimengerti, bahkan untuk pemiliknya sendiri. Teala merasa bahwa perasaannya menyulitkan hidupnya. Mengesalkan. 

"Tea, kamu begitu menyukai Jenandra, ya?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status