"Ih, kamu nakal banget sih!"
"Habis kamu ngegemesin sih, Sayang. Uuh!" Pria itu mencubit pipi sang wanita sangat genit, dan tertawa gembira bersama memasuki pintu sebuah kamar hotel.Semua seakan terjadi begitu cepat, wanita cantik bernama Rea memergoki seorang wanita yang ia kenal tengah check in bersama seorang pria. Dia mengenalnya sebagai kekasih pria yang sangat ia cintai sejak lama, tapi jika dia melaporkan hal ini padanya langsung apakah pria itu akan percaya?Wanita itu memutuskan keluar dari hotel tempat ia baru saja menghadiri pesta bisnis keluarganya. Rea masuk mobil dan mengendarainya untuk kembali ke rumah, tapi di tengah perjalanan dia mendapati pemandangan yang mengejutkan. Jeno Bramantio dan mobilnya berada di tepi jalan, pria itu seperti sangat panik.Rea menepi untuk menanyakan apa yang terjadi, meski ia yakin kalau Jeno tidak lagi mengenalinya. "Maaf, kenapa dengan mobilnya?" tanya Rea, pria itu mengangkat wajah dan menatap Rea."Ban mobilku kempis, dan aku sedang terburu-buru menuju ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibuku," jawab Pria itu seraya menatapi ban mobilnya.Wajah pria itu terlihat lelah dan cemas, terlihat dari penampilannya yang terkesan berantakan, tapi tidak mengurangi ketampanannya sama sekali."Jika kamu mau mari aku antar," tawar Rea.Jeno tertegun menatap wanita itu, tidak ada pilihan lain sudah tidak ada waktu mengganti ban, atau memanggil sopir. "Terima kasih, jika boleh biar aku yang bawa mobilmu."Rea tersenyum dan memberikan kunci mobil pada Jeno. Mereka lantas segera masuk mobil dan wanita itu terkesiap saat Jeno langsung tancap gas tanpa aba-aba lebih dulu.***Rea menoleh pada pria tampan yang duduk sedikit jauh dari sisinya, dia tidak berubah masih tampan dan dingin, tapi berhati lembut. Itu kenapa ia sangat menyukainya dan bermimpi ingin menikah dengannya. Namun, sayangnya setelah Jeno kembali dari luar negeri dan berpacaran dengan Aruna."Miris sekali, kamu di sini mencemaskan ibumu, sementara kekasihmu bersama pria lain, Jeno," batin Rea.Dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah cemas, secepatnya Jeno berdiri dan memburu pria berjas putih itu. "Bagaimana dengan keadaan ibuku, Dok?"Dokter menghela napas, menatap Jeno dengan rasa menyesal. "Ginjal ibu Anda sudah tidak bisa berfungsi lagi. Cuci darah pun sudah tidak banyak mempengaruhi, Anda harus segera mencarikan donor ginjal untuk ibu Anda.""Kalau begitu, ambillah ginjalku, Dok. Aku anaknya, pasti akan cocok," sahut Jeno dengan cepat, seperti tidak berpikir panjang lagi."Belum tentu juga, Tuan. Namun, mari kita cek dulu." Dokter mengajak Jeno pergi untuk ke ruang pemeriksaan, dua perawat juga ikut untuk membantu, sementara Rea ditinggal sendiri di depan ruang ICU.Wanita itu melangkah mendekati pintu ruangan yang terdapat kaca, terlihat seorang wanita paruh baya tampak tertidur tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Hati Rea tersentuh, sebagai anak yang telah ditinggalkan ibu sejak kecil tentu Rea sangat mendambakan sosok seorang ibu untuk memberikannya kasih sayang.Di tengah lamunannya ia terkejut akan teriakan Jeno, pria itu memukul dinding dengan marah membuat Rea khawatir, apalagi melihat luka memar di tangan Jeno. "Apa yang kamu lakukan? Lihat tanganmu luka begini." Tanpa ia sadari meraih tangan pria itu untuk melihat lukanya.Namun, Jeno menariknya kasar membuat Rea merasa tidak enak. "Ma-maaf," lirihnya seraya mengangguk.Jeno tidak menggubrisnya, pria itu malah merogoh kantung celana dan mengambil ponsel dari dalamnya untuk menghubungi seseorang. "Hallo, Bibi. Maukah Bibi datang ke rumah sakit untuk donor ginjal buat ibuku?""....""Aku mo--"Panggilan diputus secara sepihak, bahkan adik ibunya sendiri tidak peduli. Keluarganya sangat besar, tapi tidak ada yang peduli pada ibunya satu pun. Dia satu-satunya harapan malah tidak bisa membantu."Apakah ginjalmu tidak cocok?" tanya Rea hati-hati.Jeno terdiam, menatap Rea dengan tatapan waspada, tapi pada akhirnya dia mengangguk juga. "Kondisiku tidak memungkinkan untuk jadi pendonor, aku ada darah rendah," jawab Jeno, lantas Rea mengangguk paham. "Pulanglah, kukira kamu sudah pulang tadi, tapi ternyata masih di sini juga," lanjutnya mengusir Rea."Itu karena aku ....""Pergilah, terima kasih sudah membantuku. Besok, aku akan membayarmu sepuluh kali lipat." Tanpa menoleh lagi, Jeno melangkah masuk ruangan meninggalkan Rea sendirian, dan hanya menatap pintu yang tertutup.Rea menghela napas pelan, berbalik badan dan pergi.***Waktu sudah menunjukkan pukul 11:15 menit malam. Tim dokter masuk ruang ICU membuat Jeno yang memang belum tidur pun merasa terkejut. "Dokter ada apa?" tanyanya lantas berdiri dari duduk."Ibu Anda akan segera menjalani operasi transplantasi ginjal, jadi kami harus segera membawanya ke ruang operasi."Jeno tertegun sejenak mendengar jawaban dokter, tapi siapa yang rela membantu dan ginjalnya cocok dengan ibunya? Jeno tersenyum, mengira jika salah satu keluarganya yang telah datang membantu."Apakah keluarga ibuku yang bersedia, Dok?" tanya Jeno tak sabaran, pria itu terlampau bahagia sekali."Dia mengatakan begitu. Ya sudah kami harus segera membawa ibumu pergi, lebih cepat lebih baik," sahut Dokter itu.Jeno mengangguk para perawat segera mendorong brankar keluar ruangan diikuti Jeno. Ibunya masuk ruang operasi, dan pintu ditutup. Jeno tidak tahu keluarganya yang mana yang pada akhirnya bersedia memberikan kepedulian pada sang Ibu, intinya Jeno berjanji akan memberikan seperempat saham perusahaan milik keluarga besar Bramantio padanya.Jeno merasa resah dan gelisah, kadang dia duduk dan berdiri lantas menatap lampu di atas pintu yang menyala merah. "Tuhan, aku mohon buat operasi ibu lancar dan ibu bisa kembali sehat," gumamnya.Pria itu terus berjalan mondar-mandir, sungguh Jeno tak bisa tenang menunggu proses operasi ibunya selesai. Bagi dia Maryam adalah segalanya, kepergian sang Ayah sejak ia masih kanak-kanak membuatnya jadi kekurangan kasih sayang seorang Ayah.Kadang dia selalu merasa iri pada teman-teman sekolahnya yang selalu diantar jemput Ayah mereka, tapi dirinya tak pernah sekali pun, itu yang membuat Jeno tumbuh jadi orang yang dingin dan pemarah.Sepeninggal ayahnya, katanya Maryam tak ingin menikah lagi. Wanita itu yang berusaha keras tetap berjuang demi membesarkan Jeno buah hatinya.Pintu ruang operasi dibuka. Brankar ditarik dan didorong, wajah ibunya tampak pucat, tapi sepertinya lebih baik dari sebelumnya. "Syukur, operasinya berhasil," kata Dokter membuat Jeno tersenyum senang. "Nyonya Maryam akan dibawa ke ruang rawat inap lebih dulu, kamu bisa menungguinya."Tanpa pikir panjang, Jeno mengangguk lalu melangkah mengikuti para perawat membawa brankar sang Ibu. Dia sampai lupa menanyakan siapa nama orang yang telah menolong ibunya.Setelah kepergian Jeno, kali ini brankar kedua didorong keluar dan ternyata Rea yang berbaring di atasnya.***Esok hari yang cerah, Jeno begitu bahagia melihat ibunya kini sudah siuman. Dia akan menemui orang yang telah mendonorkan ginjalnya untuk sang Ibu. Saat ini juga ada Aruna yang datang menjenguk dengan membawa buket bunga lili putih kesukaan calon ibu mertua.Namun, sayangnya Maryam tidak pernah menganggap Aruna sebagai calon istri putranya, tak lebih hanya seorang sekretaris saja."Bu, aku akan segera kembali," pamit Jeno, Maryam pun mengangguk dengan senyumnya yang masih lemah."Aku juga pamit, Nyonya," kata Aruna juga dengan sedikit membungkukkan punggung, dan Maryam hanya menjawab dengan anggukan lagi.Keduanya keluar ruangan rawat Maryam, dan menuju ruangan lain. Menurut info orang yang telah mendonorkan ginjal untuk ibunya dirawat tak jauh dari ruangan ibunya.Mereka sampai di sebuah pintu kamar yang diduga kamar milik Rea, pria itu menekan handle dan membukanya. Jeno terkejut saat yang ia lihat wanita yang semalam ia suruh pulang dengan sedikit judes, tapi mengapa sekarang dia terbaring di sini?"Kamu?" Jeno masuk ruangan dan melangkah mendekat ke ujung ranjang Rea yang berbaring dengan sedikit duduk menyandar. "Ada apa denganmu? Semalam kamu baik-baik saja pada saat aku suruh kamu pulang?" cecar Jeno.Rea tersenyum, dia menatap Jeno dan wanita di sampingnya. Kasihan Jeno, mungkin dia tidak tahu apa-apa tentang skandal Aruna, Rea tidak pernah rela jika Jeno jatuh ke tangan wanita yang salah dan sekotor Aruna. "Apa dokter ibumu tidak mengatakan sesuatu?"Jeno terdiam sejenak sebelum ia bereaksi. "Jadi kamu yang telah ...." Rea mengangguk. "Karena kamu sudah mendonorkan ginjalmu untuk ibuku, aku akan memberikan seperempat saham perusahaanku padamu," kata Jeno dengan gampangnya.Rea terdiam, wanita itu menatap Jeno dengan seksama. "Aku tidak butuh uang, keluargaku memiliki harta tak kalah banyaknya denganmu."Jeno merasa bingung. "Lalu apa yang harus aku berikan sebagai gantinya?""Aku butuh kamu, menikahlah denganku."Mendengar hal itu membuat Jeno merasa direndahkan harga dirinya sebagai pria. Bisa-bisanya wanita ini meminta dirinya menikahi dia untuk alat tukar-menukar."Baik," jawab pria itu dengan rahang yang mengeras, Jeno tiba-tiba saja merasa jijik melihat Rea, baginya wanita itu sangat tidak layak untuk dia hormati, apalagi dijadikan seorang istri.Meski Aruna berteriak tidak terima, Jeno tetap berdiri kaku menatap Rea yang terlihat tersenyum puas. Hati Jeno terluka karena Aruna menangis tak terima, tapi lihatlah wanita itu. Rea begitu sangat menikmatinya, Jeno mengepalkan kedua telapak tangan dan berjanji akan membuat wanita itu menyesal telah memberi keputusan untuk menikah dengannya!Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, seorang wanita dengan setia menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Berdiri sendiri di depan rumah, memeluk tubuhnya sendiri yang dingin karena malam ini hujan begitu deras. "Apakah Jeno tidak pulang lagi? Padahal aku sudah mengirim pesan padanya sore tadi kalau hari ini jangan pulang terlambat," ucapnya sendiri, karena hujan begitu deras mengguyur bumi membuat suaranya yang lembut tengelam.Rea menatap ke depan, tidak ada tanda-tanda suaminya akan pulang. Wanita itu menarik napas lemah dengan kecewa, lantas ia memutuskan untuk kembali ke dalam. Pintu ia tutup dan berjalan ke arah ruang makan, kue ulang tahun bentuk hati tersedia di atas meja dan tulisan Happy Anniversary yang ke dua. Terlihat jelas dari lilin yang berbentuk angka dua itu.Rea duduk di kursi, kedua bola matanya sedih menatap kue ulang tahun yang sudah ia siapkan dari sore tadi. Dia adalah wanita dari keluarga Andara, cantik, manis dan manja. Namun, sejak ia menikah dengan Jeno
Setelah membereskan meja makan, Rea memutuskan naik ke lantai dua untuk tidur. Sungguh tubuhnya sangat lelah, terlebih hati dan pikirannya. Hal apa lagi yang membuat lelah dan membosankan selain menunggu ketidak pastian seseorang?Setelah berganti piyama berbahan sutra yang halus Rea naik ke tempat tidurnya yang luas. Tidak ada yang kurang dari apa yang Rea miliki di sini kecuali cinta suaminya sendiri. Rea duduk di atas kasur, merengkuh kedua lututnya dan menatap kosong ke depan.Mau sampai kapan dia begini? Hanya bisa mencintai tanpa dicintai, mengharapkan balasan cinta dari suami sendiri begitu sangat sulit melebihi dari apa pun. Hati Jeno apakah benar-benar sudah tertutup untuknya karena satu kesalahannya dua tahun lalu?Dia hanya mencintai Jeno, dan ingin menikah dengannya lalu hidup bahagia, itu saja!"Jeno mungkin tidak akan pulang malam ini," gumamnya setelah melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat 15 menit. Hari istimewa mereka sudah terlewat, da
Mulut Rea terbuka, wanita itu kesulitan bernapas seperti ikan yang dilempar ke darat, air matanya mengalir membasahi pelipis dan telinganya. Bukan hanya kali ini Jeno berbuat kasar padanya seperti ini, sudah sering Rea dapatkan jika ia berani menyinggung soal Aruna, calon istri Jeno dulu sebelum ia yang akhirnya menikah dengan pria itu."Je-jeno!" Suaranya terbata dan hampir putus asa.Urat hijau di dahi Jeno menonjol karena rasa marah di dadanya, melihat Rea yang seperti ikan sekarat segera pria itu melepaskan leher Rea secara kasar, dan membuang wajahnya tak ingin menatap Rea. "Jangan kamu berani menyinggung Aruna di masa depan padaku lagi, Rea! Atau kau akan tahu akibatnya!" peringat Jeno, lantas pria itu melanjutkan langkahnya keluar rumah dan pergi menggunakan mobilnya menuju perusahaan.Rea benar-benar kedinginan, hati dan tubuhnya beku, sakit seperti ditusuk oleh ribuan kerak es yang tajam, membuat hatinya berdarah hingga berubah biru. Setelah dilepaskan oleh Jeno, Rea tak bisa
Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore, Rea merasa sekujur tubuhnya begitu sangat sakit hingga membuatnya malas bergerak untuk memasak. Tidak disangka Jeno pulang lebih awal, padahal selama 2 Tahun pernikahannya pria itu jarang atau tidak pernah pulang tepat waktu apalagi pulang lebih awal.Ada apa? Apa yang terjadi?Pintu mobil terbuka, dan tubuh tegap Jeno keluar lantas berjalan menuju pintu. Pria itu mengetuk pintu menunggu seseorang membukanya, tapi setelah menunggu beberapa menit pintu tidak juga dibuka.Jeno menatap pintu dengan alis berkerut, di kantor sudah dibuat kesal dan di rumah pun sama. Tidak biasanya Rea begitu lama membukakan pintu, seharusnya jam segini Rea berada di dapur memasak makan malam dan seharusnya tidak butuh waktu lama untuk membuka pintu.Merasa kesal Jeno mengetuk pintu rumah berulang kali, hingga membuat buku tangannya sakit. "Ke mana wanita itu pergi? Apa dia keluar rumah tanpa izin dariku?" Karena pemikiran buruk Jeno segera merogoh ponsel dari saku jasny
Rea bingung harus menjawab apa, jawab cemburu atau tidak cemburu? Ia takut apa pun jawabannya akan membuat Jeno marah. "Apakah kamu peduli dengan jawabanku?" Jeno menjauhkan diri dari Rea, berdiri di belakang wanita itu dan menatap penampilannya dari pantulan cermin. "Tidak," jawabnya tak acuh.Rea menghela napas dan tidak lagi memikirkan jawabannya. "Kalau begitu aku tidak mau menjawabnya," katanya pelan."Besok Aruna akan tinggal di rumah ini, aku harap kamu bisa menerimanya dengan baik dan jangan buat masalah." Jeno naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan santai.Tidak pernah tahu kalimatnya tadi membuat tubuh Rea seketika membeku, tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya jika setiap hari melihat kemesraan suami dan selingkuhannya. "Apa aku boleh keberatan?" tanya Rea dengan nada dingin, suara yang dingin sedingin hatinya saat ini.Jeno menaikkan satu sudut bibirnya. "Bahkan kamu tidak berhak menolak apa pun keputusanku. Aruna akan tinggal di sini dan kamu harus men
Jam sudah pukul 10 malam, Jeno bangun dari berbaringnya dan membuat Aruna kaget saat melihat Jeno akan beranjak pergi. Aruna baru saja dari dapur, membuatkan teh hangat yang sudah ia campur dengan obat perangsang. "Sayang, kamu mau pergi ke mana?" tanya wanita itu melangkah mendekat dengan cangkir teh di tangannya."Aku akan pulang, aku sudah mengurung Rea di kamar mandi selama 4 jam."Aruna terdiam mendengar jawaban Jeno, saat wanita itu hanya diam saja Jeno pun kembali berkata. "Aku pulang, jaga dirimu baik-baik," katanya seraya mengelus pipi kekasihnya, lalu ia kembali melangkah pergi."Sayang, tunggu!" Aruna kembali mengejar Jeno yang sudah meraih gagang pintu, wanita itu segera berdiri di hadapannya. "Mm, aku sudah membuatkan teh ini untukmu, kamu minumlah dulu, Sayang," bujuknya, Aruna sudah merencanakan hal ini agar Jeno tak punya pilihan lain selain segera menikahinya, tak mungkin membiarkan rencananya harus gagal.Jeno tersenyum, lantas mengelus rambut Aruna lembut. "Aku ter
Hari sepertinya sudah pagi, Rea yang hanya tidur beberapa saat saja kini membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah yang berada di atas kepalanya, dia masih terlelap, sangat tampan dan terlihat lembut. Namun, hati Rea terasa pahit saat mengingat pada kenyataannya Jeno tak dapat berlaku lembut padanya.Rea berusaha menoleh untuk melihat jam di atas nakas. Sudah pukul 4 pagi, Rea ingin mandi, tubuhnya lengket semua, tapi Jeno masih erat memeluknya. Andai hubungan mereka tak sekacau ini, Rea pasti akan dengan senang hati menggoda pria ini dan bercinta di pagi hari.Tangannya berusaha melepaskan tangan kekar Jeno dari pinggangnya, tapi dengan cepat tangan Jeno kembali mempererat pelukannya kembali sampai membuat Rea merasa sesak napas.Terpaksa Rea mendorong dada Jeno dengan tenaganya yang lemah, tapi Jeno malah menyeringai. "Ada apa?" Suara berat khas bangun tidur keluar dari mulut Jeno, bibir tipisnya yang seksi bergerak indah.Rea untuk sesaat tertegun, mata dan hatinya memang masih di
Merasa kesal pria itu pun akhirnya beranjak pergi, dan langsung keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras hingga terdengar dentamannya ke dalam kamar mandi. Jeno menghindari Rea karena ia takut menyakiti wanita itu lebih parah lagi, awalnya dia ingin menghabiskan waktu pagi ini penuh keromantisan, tapi sikap wanita itu malah membuatnya kesal.Rea menangis setelah kepergian Jeno, hatinya terasa sakit dan hancur. Sebegitu tidak terimanya Jeno atas perkataannya yang menjelekkan kekasihnya. Rea tidak bicara sembarangan, mendapatkan perlakuan seperti ini membuat dirinya semakin ragu untuk memberitahukan apa yang dia ketahui pada Jeno.Dia juga tidak punya bukti perselingkuhan Aruna, tapi jika saja Jeno bisa bersikap baik padanya sedikit saja mungkin dia akan punya keberanian UU nntuk mengatakannya pada pria itu, dan membuat rencana untuk mengorek rahasia Aruna bersama-sama. Namun, karena cinta Jeno yang buta, apakah pria itu akan percaya jika ia mengatakan sesuatu yang buruk tentang