POV DAMAR____&&____Kubuka pintu rumah yang terasa sepi, sudah enam bulan kamu pergi dari rumah ini, kamu ada di mana Amelia? AKu hempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Hari ini aku tidak bekerja, hanya menaiki mobil keliling kota berharap tiba-tiba saja bertemu dengan istriku di jalan. Malam itu aku shock dengan pengakuannya hingga memutuskan pergi dari rumah ini begitu saja. Aku pergi bukan karena marah pada wanita yang sudah ku nikahi itu tapi marah pada diriku sendiri, apa kesalahanku dimasa lalu yang membawanya harus melewati kejadian buruk itu. Kedua orang tuanya bilang, jika putri mereka adalah anak baik dan penurut. Tapi begitu dia akan di nikahkan denganku kenapa jadi berpikir se-liar itu. Hal yang tidak pernah aku pikirkan akan bisa dia lakukan. "Harusnya kamu menolakku saja daripada harus merusak dirimu sendiri." ucapku padanya malam itu sebelum meninggalkan dirinya.Kepergianku hanya untuk menenangkan diri, mencoba mencari makna atas semua kejadian yang menimpa kami. Na
Segera kumasukkan surat dari ustadz Farid ke dalam saku rok panjang yang aku kenakan. Sambil memperhatikan sekeliling, kira-kira ada orang yang memperhatikan aku membaca surat itu atau tidak.Aku tidak bisa menerima ajakan ini, bagaimana wanita bersuami menerima ajakan ta'aruf dari seorang lelaki. Meskipun aku tidak tahu bagaimana nasib pernikahanku, tapi aku masih berharap bisa bersama-sama dengan mas Damar lagi. Tapi bagaimana juga aku bisa menolaknya, apa alasan yang harus aku kemukakan. Kebingunganku membuatku seperti orang linglung seharian."Nisa, disini boleh tidak kalau ketemuan sama laki-laki?" tanyaku pada gadis itu.Kami sedang di kamar berduaan saja karena kami sama-sama tidak salat jadi memilih tetap di kamar saat Maghrib tiba. "Kamu mau ketemuan sama siapa mbak? ustadz Farid?" tanya Nisa. Kenapa tebakan anak ini bisa sangat tepat. Aku mengangguk dan memperlihatkan surat dari ustadz Farid tadi siang. "Wah, mbak! dia beneran tertarik padamu. Udah iyain aja biar beliau m
"Ada apa kalian berkumpul disini?" tanya ibu nyai lagi. "Oh ini, mbak Amelia bertanya pada saya tentang bagaimana hukumnya jika seorang suami meninggalkan istrinya tanpa kejelasan?" jawab Ustadz Farid. Mataku membulat sempurna sambil menatap kearah Nisa begitu mendengar jawabannya dari ustadz Farid, sedangkan Nisa hanya mengangkat bahunya samar. "Bener seperti itu nak Amelia?" tanya ibu nyai padaku. "Benar Bu," jawabku mendukung kebohongan ustadz Farid. Mungkin ini yang terbaik, dari pada urusannya makin panjang jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Siapa yang di abaikan suaminya?" ibu nyai masih bertanya. "Temannya mbak Amelia." kali ini Nisa yang menjawab. "Oh begitu, yaa sudah segera selesai urusan kalian. Jangan terlalu lama berbincang-bincang seperti ini, tidak baik dilihat yang lain. Lain kali jika ingin bertanya, bertanya saja pada ustazah yaa nak Amelia," pesan ibu nyai sebelum pergi meninggalkan kami. "Ya sudah ustadz, kami permisi dulu. Maaf jika membuang waktu usta
"Mas Damar ...." gumamku.Hatiku berdebar kencang melihat orang yang aku rindukan ada tepat di hadapku. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya, meluapkan rasa rindu yang telah lama aku tahan dalam hatiku. Ternyata Nisa adalah putri mereka. Kenapa takdir ini selalu membawaku berada di antara keluarga mas Damar. Apa gadis itu juga akan membenciku begitu tahu aku adalah kakak iparnya yang mengkhianati keluarga dan kakaknya. Jika dia pulang nanti pasti dia akan mengetahui segalanya. Aku segera berbalik arah, tidak mungkin aku bertemu mereka disini, sekarang. Aku berlari menuju kamar, tidak terasa netraku berair. Aku dulu berharap suamiku itu datang ke tempat ini, dan dia benar-benar datang. Namun ternyata kedatangannya bukan untuk menjemput diriku tapi menjemput adiknya. Takdir seperti selalu menertawakan nasibku. Sesampainya di kamar, aku membuka lemari pakaian dan mengambil foto pernikahanku dengan mas Damar yang sengaja aku bawa. Foto dengan pakaian pengantin berwarna putih, mas D
"Jangan, Nisa!" cegahku.Seger ku tutup pigura tersebut dengan bantal yang ada di sampingku. "Kenapa mbak?" tanya Nisa penasaran."Itu foto dengan pakaian terbuka. Kau tahu foto pengantin ala barat, yang memperlihatkan lehernya yang jenjang di kulitnya yang mulus? Nah seperti itulah fotoku itu. Jadi jangan dilihat ya, aku malu," ucapku beralasan."Ya sudahlah kalau begitu," ucap Nisa pasrah. " Ayo mbak, sebelum aku pulang kita bertemu dengan keluargaku dulu." Nisa mengulangi ajakannyaGadis itu merapikan semua barangnya dan hendak keluar membawanya. "Lain kali saja yaa, aku malu. Lihat ini mukaku habis menangis gini," tolakku."Ya udah deh kalau gitu, Aku pulang dulu yaa. Sampai ketemu lagi," ucap Nisa berpamitan. Aku mengantarkannya hingga dia keluar pintu kamar, setelah itu aku tutup kembali pintu kamar tersebut. Suasana disini mulai sepi, banyak siswa yang pulang selepas ujian. Hanya tinggal beberapa kelas saja yang mukim di pesantren, dan aku pun mulai kesepian karena tinggal s
POV DAMAR__&&___Begitu sampai di rumah, adik perempuanku itu langsung heboh ingin melihat foto pernikahanku dengan Amelia. Dia bilang di pesantren juga punya teman bernama Amelia, yang dia bilang orangnya baik dan pintar. Nisa terus saja menggerutu sepanjang jalan karena aku tidak mengajak serta kakak iparnya. Bagaimana aku mau mengajaknya jika istriku itu tidak ada bersamaku saat ini. "Istirahat dulu, Nduk! Besok-besok juga masih bisa lihat fotonya," ucap ibu pada Nisa. Gadis itu terus saja merengek meminta album pernikahanku. Aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk pergi ke kamarku. Aku lelah menyetir bolak-balik dari rumah ke pesantren Nisa lebih dari dua puluh empat jam, dan hanya beristirahat sebentar di rest area. Saat aku merebahkan diriku, ingatanku melayang pada istriku. Aku teringat saat dia menangis malam-malam diatas sajadah, apa itu karena dia menyesali perbuatannya. Itu tepat dimana kami selesai mengadakan syukuran, saat itu mungkin dia merasa bersalah karena me
"Kamu tahu tidak, salah satu temanmu itu kan bekerja dengan suamimu," ucap mama.Kami sedang bercengkerama selepas memasak dan makan siang bersama. Hari ini hari libur, jadi kami bertiga bisa makan bersama-sama. "Siapa ma, Ziva?" tanyaku.Saat di cafe dulu Ziva lah yang ingin bekerja dengan mas Damar jika dia tidak mendapatkan pekerjaan juga. Aku pikir dia hanya bercanda, masa iya dia benar-benar bekerja dengan mas Damar. Seorang sarjana bekerja mengurusi telur? Dua hari di rumah, aku belum pergi kemanapun atau menghubungi siapapun. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan mama dan papa di rumah. Menceritakan semua yang aku lewati saat di pesantren. "Bukan Ziva, tapi Alesha," sahut mama. Alesha? dia bilang sudah bekerja waktu itu, kenapa bisa pindah bekerja ditempat mas Damar? Sebesar apa gaji yang di berikan suamiku itu, apa lebih besar dari gajinya di kantor? "Kok mama tahu sih?" tanyaku penasaran. "Mama pernah lihat dia beberapa kali pergi dengan Damar, dan berada di tempat
"Maaf aku menganggu kalian bekerja," lirihku. Entah kenapa aku yang malah merasa bersalah disini, bukankah seharusnya aku marah-marah melihat suamiku bersama wanita lain? Ah ... kadang kala beban rasa bersalah dimasa lalu akan terus membuat kita tidak berdaya terhadap apapun. Mungkin jika saat menikah tidak ada masa lalu yang buruk, aku bisa berbuat apapun yang aku inginkan. Termasuk marah saat melihat suamiku bersama wanita lain. Ku tarik kembali handle pintu dan hendak menutupnya. "Tunggu!" cegah mas Damar. Aku diam terpaku, tidak jadi menutup pintu itu namun tetap menggenggam handle pintu tersebut. Kulihat lelaki dengan kacamata bertengger diwajahnya itu bangkit dari duduknya dan berlari ke arahku. Ah, kenapa dia semakin tampan jika memakai kacamata. Aku tak pernah melihatnya memakai benda itu jika di rumah. Mungkin hanya saat bekerja dan berurusan dengan berkas-berkas pekerjaannya. Begitu jarak kami sangat dekat, mas Damar segera memelukku dengan erat. "Jangan pergi ... Janga