Kami berkendara berdua kembali ke kota, mas Damar tidak mau mendengarkan siapapun dan pergi begitu saja dari rumah kedua orangtuanya. Aku hanya bisa mengikuti kehendak suamiku. Sebelum pulang, ibu berpesan. Pesan yang sama agar aku meyakinkan mas Damar untuk menikah lagi. "Damar memang putraku, tapi ibu rasa putra ibu lebih mendengarkan dirimu daripada mendengarkan ibu. Jadi ibu harap kamu bisa meyakinkan dirinya." Perkataan ibu terus terngiang-ngiang ditelingaku. Aku menghela nafas panjang begitu mengingat lagi pesan beliau. "Aku mengajakmu pulang agar kamu tidak memikirkan lagi tentang permintaan ibu ataupun tentang sahabatmu itu. Jadi berhentilah untuk memikirkan hal itu," ujar mas Damar tanpa menatapku. Tatapannya tetap fokus ke jalan raya. Lelaki yang sedang fokus mengendalikan lajut kendaraannya itu, sepertinya masih marah karena aku memintanya menikah dengan sahabatku. Aku melihat ke kaca spion yang ada di dalam mobil. Melihat anggrek yang memantul di cermin tersebut. Aku
"Amel, apa itu semua benar?" Ziva langsung berteriak di depanku begitu aku membuka pintu rumahku.Tadi kupikir siapa yang datang, aku cukup kaget begitu kubuka pintu ternyata kedua temanku, Ziva dan Rivani tengah berada di depan pintu dan si Ziva langsung berteriak begitu saja. "Apanya yang benar, Ziva?" tanyaku penasaran. "Alesha mau menikah dengan mas Damar, benarkah itu?" tanya Ziva memastikan. Aku menganggukkan kepala untuk menjawab Ziva. "Kamu gila, Amelia?" tanya Rivani. "Bisa-bisanya kamu mengijinkan mas Damar menikah lagi, dengan Alesha pula!" pekik Ziva histeris. "Tenanglah kalian, ayo masuk dulu. Jangan ngobrol di depan pintu," ujarku sambil menyingkir dari depan pintu dan membukanya dengan lebar.Mempersilahkan kedua sahabatku untuk masuk kedalam rumah. Mereka berdua masuk kedalam rumah dengan Ziva yang masih terus menggerutu. "Duduklah, aku akan mengambil minuman dulu," ucapku sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Aku kembali lagi menemui mereka sambil
Dengan kasar kuhapus air mataku, kenapa mas Damar melakukan ini padaku. Apa dia ingin memberitahu padaku jika dia juga terluka. Kembali aku berjalan menuju wastafel dan merapikan wajahku, semoga tidak ada yang menyadari jika aku habis menangis. "Lama amat dikamar mandi," tanya Ziva begitu aku kembali duduk bersama mereka."Sakit perut," jawabku pelan sambil memegangi perutku. "Kamu gak habis nangis kan?" tanya Ziva menyelidiki. "Apa aku terlihat seperti habis menangis?" Aku balik bertanya."Aku rasa begitu," jawab Ziva kesal. Dia masih tidak suka saja dengan apa yang aku lakukan, membiarkan mas Damar menikahi Alesha. Sejak dari kamar mandi, aku hanya diam saja. Aku juga enggan menatap kearah kedua pengantin itu berada. Banyak aku habiskan waktu untuk bercanda dengan kedua temanku yang setia menemani dan sesekali melihat media sosial. Beberapa teman sudah meng-upload moment pernikahan Alesha dan mas Damar. Entahlah apa yang akan terjadi dengan komentar para nitizen nantinya. Wak
"Mas, berhenti dulu," ucapku dengan nafas terengah. Pelan aku mendorong tubuhnya sedikit menjauhiku, menciptakan jarak antara kami agak aku bisa nyaman berbicara dengannya."Bagaimana dengan Alesha, mas. Kenapa kamu meninggalkannya sendirian? Dia akan marah dan merasa kamu tidak memperlakukannya dengan adil.""Tenanglah, dia sudah tertidur sejak tadi selepas isya. Aku malah menunggu teman-temanmu itu tidur biar bisa masuk kedalam rumah." jawab lelaki dihadapkanku ini sambil menarik kembali pinggangku dan memelukku lagi. Tangannya membelai dan mengelus punggungku dengan lembut, bibirnya tak henti-henti mengecup lembut bahuku.Aku mengerutkan keningku mendengar ucapan mas Damar, bagaimana mungkin Alesha akan tidur dengan mudah. Bukannya dia tadi mengatakan akan menghabiskan malam dengan suaminya, yang juga suamiku. Tidak mungkin dia akan tertidur begitu saja. "Kamu memberikan sesuatu padanya hingga dia bisa tertidur begitu saja mas?" tanyaku menyelidik."Sudah jangan di pikirkan, k
Aku terbangun menjelang subuh, pandanganku tertuju kearah dimana mas Damar semalam tertidur bersamaku tapi sosok laki-laki yang menghabiskan malam denganku itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah kembali ke hotel, dimana harusnya dia dan Alesha menginap semalam. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Bergegas aku bangkit dari tempat tidur dan mengganti sprei dengan yang bersih dan baru, menyusun kembali bantal-bantal yang berserakan. Setelah semua terlihat rapi kembali, aku segera menuju ke kamar mandi. Aku harus membersihkan diri sebelum teman-temanku itu bangun dan menyadari jika semalam aku tidak tidur bersama mereka atau mereka akan menanyakan macam-macam padaku. Begitu selesai mandi dan melakukan aktifitas subuh, aku segera pergi ke dapur. Menyiapkan sarapan tanpa berniat membangunkan Ziva dan Rivani. Jika mereka bangun dan melihatku sudah rapi dengan sarapan, maka mereka tidak akan bertanya macam-macam.Ziva menghampiriku di dapur dengan wajah yang sudah segar, disusul oleh
POV ALESHA_____&&_____ Kebahagiaan itu akhirnya menjadi milikku, setelah semua usaha yang aku lakukan sejak lima tahun lalu akhirnya mas Damar menikahi aku. Aku menjadi istri keduanya setelah meyakinkan ibu mas Damar jika aku akan memberinya cuci lelaki seperti keinginan wanita yang sudah melahirkan lelaki yang aku cintai itu. Senyumku terus mengembang sepanjang pesta pernikahan. Aku bisa melihat jika Amelia bersedih dengan pernikahan kami, Ziva dan Rivani tampak selalu menemaninya dan mereka sepertinya membenciku. Terserahlah, aku tidak peduli dengan mereka. Yang aku pedulikan hanyalah, bagaimana aku bisa bahagia bersama lelaki itu. Waktu bergulir dan pesta pun usai. Sebelum Amelia pulang, aku sempat membisikkan sesuatu yang membuat hatinya sakit. Biarlah, biar dia tahu rasanya sakit hati juga. Dulu mas Damar membentakku dan mengabaikan diriku karena dia, sekarang aku akan mulai membalasnya. Malam hari setelah pesta pernikahan kami menginap di sebuah hotel, aku merasa kami akan
POV DAMAR________Aku terbangun dengan kepala pusing, entah apa yang aku lakukan semalam. Aku berusaha mengumpulkan ingatanku, terakhir kali yang aku ingat adalah Zahra menarik tanganku ke kamar karena ada kecoa. Setelah aku masuk dan berkeliling mencari kecoa itu tidak juga kutemukan hewan tersebut. Malah kepalaku mendadak pusing dan aku merasakan hasratku tiba-tiba bergejolak. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar tapi aku malah melihat pemandangan yang tidak biasa. Tadi aku lihat Zahra memakai daster panjang kenapa sekarang tinggal baju tanpa bahan yang menempel di badannya. "Buka pintunya, Zahra!" Setengah berteriak aku menyuruhnya membuka pintu yang dia kunci secara tiba-tiba. "Ambilah ini kuncinya," sahutnya sambil mengangkat anak kunci di tangannya. Aku berusaha mengambilnya tapi dia tidak mau memberikannya. Geram aku memaksanya untuk memberikan kunci tersebut, kepalaku yang pusing membuatku tidak bisa berjalan dengan seimbang. Saat aku sudah hampir berhasil mendapatkan
Tatapan mataku lurus keluar jendela, melihat pepohonan dan jalanan yang terhampar di samping rumah ini. Aku sedang berada di dalam kamarku di rumah mama, malam tadi aku pergi meninggalkan rumah yang biasa aku tempati dengan mas Damar. Setelah teriakan Alesha dan mas Damar masuk kedalam kamar itu, aku sempat mendengar perdebatan mereka. Namun setelahnya aku malah mendengar suara-suara kenikmatan bersahutan dari dalam sana. Hatiku sakit, aku tidak bisa menahan diri untuk tetap dirumah ini. Setelah mengirim pesan singkat ke nomor mas Damar, aku keluar rumah dan berkendara menuju rumah mama. Mama tampak khawatir melihatku malam-malam datang sendirian. Namun aku tidak ingin membuat wanita yang sudah melahirkan diriku itu khawatir. Aku berpura-pura baik-baik saja dan langsung masuk ke kamar. Aku hampir tidak bisa tidur semalaman, hingga akhirnya aku mengunduh aplikasi Alquran dan memutarnya. Lantunan ayat suci itu lama-kelamaan membuatku tenang dan tertidur dengan nyenyak.Lamunanku buya