Tatapan mataku lurus keluar jendela, melihat pepohonan dan jalanan yang terhampar di samping rumah ini. Aku sedang berada di dalam kamarku di rumah mama, malam tadi aku pergi meninggalkan rumah yang biasa aku tempati dengan mas Damar. Setelah teriakan Alesha dan mas Damar masuk kedalam kamar itu, aku sempat mendengar perdebatan mereka. Namun setelahnya aku malah mendengar suara-suara kenikmatan bersahutan dari dalam sana. Hatiku sakit, aku tidak bisa menahan diri untuk tetap dirumah ini. Setelah mengirim pesan singkat ke nomor mas Damar, aku keluar rumah dan berkendara menuju rumah mama. Mama tampak khawatir melihatku malam-malam datang sendirian. Namun aku tidak ingin membuat wanita yang sudah melahirkan diriku itu khawatir. Aku berpura-pura baik-baik saja dan langsung masuk ke kamar. Aku hampir tidak bisa tidur semalaman, hingga akhirnya aku mengunduh aplikasi Alquran dan memutarnya. Lantunan ayat suci itu lama-kelamaan membuatku tenang dan tertidur dengan nyenyak.Lamunanku buya
Hampir satu bulan mas Damar selalu datang kepadaku dimalam hari, bahkan aku sampai dengan sengaja menunggu kedatangannya. Lelaki itu datang dimalam hari dan akan pulang sebelum subuh, begitu hampir setiap hari. Kadang kala aku memastikan apa dia benar-benar datang atau tidak, karena mas Damar terkadang pulang sebelum aku bangun. Hingga saat satu bulan sudah berlalu, dan mas Damar pulang ke rumah yang aku tempati lagi. Namun tiba-tiba kami mendapatkan telpon dari ibu. Kali ini beliau menginginkan kami pulang ke kampung, bertiga. Hatiku bertanya-tanya kenapa lagi ini, apa Zahra kembali mengadukan perbuatan kami pada ibu dari mas Damar. "Jangan-jangan ibu tahu mas jika kamu selalu meninggalkan Zahra dimalam hari," ujarku dengan nada khawatir. "Nggak apa-apa, tenang saja. Ibu menyuruh kita pulang, ya sudah ayo kita pulang. Kamu siap-siap ya, nanti setelah itu kita ke rumah Zahra menjemputnya."Aku segera bersiap, memasukan beberapa potong pakaian kedalam koper. Setelah semua siap, kam
Saat kubuka pintu kamar, terlihat suamiku sedang dalam posisi tiduran. Begitu melihatku masuk, lelaki itu malah membalikan badannya membelakangi diriku. Aku ikut merebahkan diri di sampingnya meskipun dia mengabaikan aku. "Kamu marah mas?" tanyaku sambil memeluk tubuhnya dari belakang. "Jawab saja sendiri," sahutnya ketus."Kamu laki-laki kok ngambekan sih mas, mana ada lelaki baperan begini," ucapku sambil mengelus dadanya. "Karena kamu bod*oh." Mas Damar mencengkeram tanganku dan tidak membiarkan untuk menyentuh tubuhnya. "Kamu tidak mau tidur denganku malam ini? padahal istri ke-duamu itu udah berbaik hati membiarkan kita tidur bersama malam ini. Ya sudah, aku akan tidur dengan Nisa." Aku menghela nafas panjang, dan berpura-pura akan pergi ke kamar Nisa. Jika mas Damar benar-benar membiarkanku pergi maka aku akan menempel lagi padanya. Namun seperti dugaanku, suamiku itu berbalik dan menarik badanku hingga jatuh menimpa tubuhnya. "Kenapa ini gak pernah di pakai sih!" Mas Dam
POV ALESHA ZAHRAKeputusanku untuk menikah dengan mas Damar sepertinya adalah sesuatu kesalahan. Setelah begitu banyak berkorban, begitu banyak hal yang aku lakukan hingga akhirnya aku bisa menikah dengannya, namun tidak juga aku mendapatkan kebahagiaan. Dia bener-benar tidak pernah mencintai diriku, apa yang dilakukan olehnya hanya sebatas mengikuti keinginan istri pertama dan ibunya. Apa yang dilakukan padaku hanya sebatas kewajiban sebagai suami saja, tidak sekalipun aku melihat binar cinta di matanya. Mata yang berbinar, senyum yang manis seperti saat dia berbicara dengan Amelia tidak pernah sekalipun aku dapatkan darinya. Senyum itu dulu pernah aku nikmati saat aku menjadi karyawannya tapi sekarang saat aku menjadi istrinya dia tidak pernah sekalipun tersenyum padaku. Dia memang tidak pernah membentakku, namun wajahnya dingin, datar dan tanpa senyuman jika bersamaku. Mas Damar banyak menghabiskan waktu dengan tinggal di rumah yang aku tempati, Amelia merelakan demi sebuah kama
Sejak Zahra dimarahi oleh ibu waktu itu, mas Damar jadi sering pulang ke rumah. Bukankah harusnya Zahra lebih banyak mengekang mas Damar biar dia cepat memiliki anak. Bahkan ibu juga sudah tidak melarang-larang lagi mas Damar datang ke rumah dan menemuiku. Apa ibu sudah berubah pikiran. "Mas, kok sekarang kamu lebih sering di sini daripada dirumah Zahra?" tanyaku malam itu saat kami menghabiskan malam bersama setelah sekian lama suamiku itu jarang pulang ke rumah ini. Nisa sudah kembali lagi ke pesantren, katanya dia mulai sibuk dengan skripsinya."Apa kamu tidak suka jika aku ada disini?" "Bukan begitu, tapi kan tidak biasanya wanita itu mengijinkan kamu datang kesini.""Mungkin dia sudah bosan padaku," jawab mas Damar datar. "Wanita itu mana ada bosannya kepadamu,mas." Aku berkata sambil tertawa. "Yaa mungkin dia mulai sadar, seperti katamu waktu itu. Mungkin sekarang dia mulai melepaskan diriku agar bisa bersamamu.""Kamu galak sama dia mas?" tanyaku menyelidik. "Kenapa kamu
Dengan menyimpan rasa penasaran aku tetap pergi dari rumah Zahra. Aku harus segera mengantarkan semua makanan itu pada pemiliknya. Mas Damar pasti sudah menungguku di rumah. Mbak Susi tadi aku lihat sudah hendak keluar mobil, tapi begitu melihatku berdebat dengan Zahra, wanita itu sepertinya mengurungkan niatnya dan masuk kembali ke dalam mobil. "Tadi ada mas Bisma ya mbak?" tanya mbak Susi begitu aku sudah masuk lagi ke mobil. "Iya mbak," jawabku singkat. "Saat aku mengantarkan sesuatu ke rumah mbak Zahra, aku suka melihat mas Bisma keluar dari rumah mbak Zahra jika mas Damar tidak ada." "Sering mbak?" tanyaku penasaran. "Nggak sering sih, tapi beberapa kali aku lihat."Aku terdiam mendengar penuturan mbak Susi. Meskipun rasa penasaran bergejolak dalam hatiku, namun aku memilih untuk tidak banyak bertanya pada wanita yang duduk di sampingku ini. Segera aku menyalakan kembali mobil tersebut dan berjalan perlahan meninggalkan kediaman Zahra dengan penasaran. Setelah mengantarka
"Apa maksudnya kamu sengaja melakukan mas?" tanyaku dengan nada mulai meninggi.Jadi benar dugaanku jika lelaki ini sengaja menabrakku kala itu, saat aku sedang santai berjalan di pinggir jalan perumahan namun tiba-tiba datang dengan kecepatan tinggi sebuah motor menabrakku. Semua begitu cepat terjadi hingga aku tidak bisa menghindarinya. Tapi kemudian dia bertanggungjawab dan membawaku ke rumah sakit, bahkan dia mau menanggung biaya rumah sakit saat itu. Namun pada akhirnya kami menolaknya karena ternyata dia bukanlah orang yang berada.Lelaki itu beralasan rem motornya tidak berfungsi hingga menabrakku begitu saja. Dia sedang tergesa-gesa karena khawatir pada istrinya yang sedang sakit parah. Dia pulang melewati jalanan perumahan itu karena sedang bekerja disalah satu rumah warga di tempat itu lalu di telpon oleh keluarganya. Setelah membawaku kerumah sakit, dia meninggalkan tanda pengenalnya dan juga datang kembali ke tempat dimana aku di rawat. Entahlah, kami saat itu percaya be
"Apa yang kamu katakan, Amelia?" tanya ibu. Sejak ada Zahra, ibu tidak lagi memanggilku nak seperti dulu. "Dia yang dengan sengaja menabrakku hingga aku kehilangan anakku, Bu." Aku ulangi lagi perkataanku."Jadi benar, kamu hendak memfitnah Zahra karena dia sedang hamil sekarang?" tanya ibu dengan nada tidak suka. Fitnah? hamil? Dua kata yang sedang aku cerna dengan kebingungan, aku hendak memfitnah dia dan dia sedang hamil sekarang? "Tidak Bu, Amel baru saja ketemu dengan orang yang menabrak Amel, dan dia menceritakan semuanya. Dia bilang jika dia sengaja melakukannya karena di suruh olehnya!" ucapku membela diri sambil menuding jariku pada wanita yang sejak tadi tidak mengatakan apapun itu. "Kalau begitu buktikan," sahut Zahra dengan santai. "Oke, aku akan menyuruh lelaki itu datang kesini. Tadinya aku menunggu untuk mengumpulkan semua keluarga, agar mereka tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi mungkin lebih baik sekarang saja aku buka kejahatanmu!" Segera aku menghubungi nomor ma