Share

Ternyata Tina..

Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu.

"Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.

Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. 

"Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" 

Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.

Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. 

Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungannya, padahal Rianti tak salah sama sekali namun harus menanggung semua sumpah serapah yang tak pantas diucapkan itu.

Tak lama Halimah keluar rumah, membanting pintu dengan keras. Entah pergi ke mana, yang jelas perempuan itu sudah pergi.

"Ya Allah, lindungi aku. Engkau Maha Mengetahui, aku tak sejahat itu sampai harus disumpahi macam-macam.." batinnya menangis.

Lalu Rianti teringat lauk pemberian bosnya, karena Halimah sedang keluar maka berarti lauknya tak dia bawa. Rianti buru-buru ke dapur, mencari bungkusan yang tadi dirampas Halimah. 

"Di mana, ya? Kok enggak ada sih? Apa dibawa juga sama dia?" 

Dengan gelisah Rianti membuka lemari satu per satu, mencari bungkusan lauk yang tak juga dia temukan. Padahal dia sudah berharap bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil separuh lauk untuknya sendiri.

Tapi percuma, Rianti tak kunjung menemukan apa ya g dia cari. Kantong plastik berisi aneka lauk itu raib bagai ditelan bumi.

"Ah ya sudahlah, bukan rezekiku.. emang harusnya aku ikhlasin aja." Gumamnya sambil menahan tetes air mata.

Pintu rumah terbuka, nampak Toni masuk dengan muka marah.

"Ti? Rianti?!" Panggilnya dengan nada tinggi.

"Iya Mas?"

"Bagi duit!"

Baru juga datang, lelaki itu sudah minta uang. Padahal Rianti sama sekali tak pegang uang, dia sudah merasa panik dan khawatir.

Bukan sekali dua kali kejadian seperti ini, Toni meminta uang lalu dia tak bisa memberikannya karena memang tak ada pegangan. Bukannya maklum, yang ada Toni malah menyiksa dirinya.

Mungkin lelaki itu pikir dengan menyiksa istrinya dia bisa mendapatkan uang tambahan.

"Ma-maaf Mas, tapi uangku udah abis.."

"Bohong kamu! Mana duitmu! Kamu kerja tiap hari masa enggak ada melulu duitmu?!"

Lelaki itu menghampiri Rianti, menarik tangannya dan merogoh setiap kantong dalam pakaian istrinya itu. Tapi dicari sampai kapanpun tetap tak akan ditemukan, karena Rianti sama sekali tak punya uang lagi.

"Mana duitmu, Ti?!"

"Udah kubilang enggak ada Mas, aku udah enggak pegang uang!"

"Halah tukang bohong!" 

Toni mendorong tubuh Rianti, lalu pergi ke kamar untuk mencari uang yang mungkin terselip di sana.

Namun baru menginjak depan kamar, Toni sudha berteriak dengan marah,

"Ini kenapa beras berceceran begini sih, Ti?!" 

"I-itu, tadi dilempar sama ibu.."

"Hahhh bener-bener! Emangnya ibuku anak kecil ngelempar beras?!" Bentak Toni dengan mata melotot

Dia tak jadi masuk ke kamar, karena masih berantakan beras di mana-mana.

"Beresin cepetan Rianti! Jangan malah keluyuran nggak jelas!!" 

Toni lalu masuk ke kamar Halimah, ibuya sendiri. Mencari uang yang disimpan ibunya itu, terdengar suara berisik dari dalam kamar, dan Rianti tahu jika Toni sedang menggasak lemari pakaian Halimah. Mencari selembar Rupiah yang mungkin disimpan di sana.

"Mas, jangan ambil uang ibu. Nanti aku yang disalahin.."

"Berisik! Suruh siapa kamu enggak punya duit? Kan aku butuh, jadi harus pake duit yang ada dulu!"

"Buat apaan sih, Mas? Judi?"

"Berisik! Bukan urusanmu, Ti! Urus rumah aja yang becus sana!"

Toni sudah menemukan apa yang dia cari, dan tak tanggung-tanggung, dia mengambil empat lembar seratus ribuan dari dalam laci kecil dalam lemari ibunya.

Rianti cuma bisa menghela napas dan berharap kali ini Halimah tak akan meminta dirinya yang ganti rugi.

Tina pulang berbarengan dengan Toni yang mau keluar, adik perempuannya itu menjinjing plastik berisi makanan. Mukanya nampak sedih dan lusuh.

"Mukamu kenapa begitu?" Tanya Toni iseng, dan Tina hanya menggeleng sambil menghela napas.

"Pusing aku, jangan banyak tanya."

"Dih, aneh. Bawa apa tuh?" 

"Martabak.. makan aja, abisin. Aku bener-bener enggak mau makan." Tina menyerahkan plastik yang dibawanya pada sang kakak.

Toni mengintip isinya dan malah menjengit, "Martabak ketan item, najis enggak enak. Nih kamu aja yang makan Ti!"

Lelaki itu melemparkan martabak ke hadapan Rianti, dan jatuh di depan kakinya. Segera Rianti memungutnya dan bersyukur dalam hati, dia jadi punya makanan untuk malam ini dan besok.

Makanan ini untuk dirinya seorang, karena Toni sama sekali tak suka martabak ketan hitam, Tina juga sudah memberikannya jadi tak masalah.

Setelah membereskan kamar dari tumpahan beras, Rianti memasak nasi dan berniat mandi sebelum makan martabak dari Tina.

"Huhuhu, gimana ini? Gimana nanti ngomongnya?!"

Sayup terdengar suara Tina dari dalam kamar mandi, dia menangis sambil mengobrol sendiri, seperti sedang bicara dengan seseorang.

Rianti tak berniat menguping, tapi suara Tina cukup keras dan dinding kamar mandi tak seberapa tebal sehingga percakapan apapun di dalamnya pasti terdengar.

"Ya kamu lah datang ke sini! Ngomong sama ibuku sama kakakku!!" 

"Enggak mau? Jadi cuma mau enaknya aja, hah?!"

Rianti menebak-nebak, sepertinya Tina sedang menelepon dan bertengkar dalam percakapan mereka.

Entah siapa yang dia telpon dan apa masalahnya, Rianti tak bisa menerkanya.

Dia berniat pergi saat pintu kamar mandi terbuka dan Tina muncul. Mereka berdua sama-sama kaget sampai Tina menjatuhkan benda kecil yang dipegangnya selain HP.

Sebuah testpack.

Keduanya sama-sama shock, kaget dan mematung. Khususnya karena Rianti melihat garis dua yang jelas dari testpack yang jatuh itu.

"Ee.. Ti-Tina, kamu.." Rianti tergagap, Tina berjongkok memungut alat tes kehamilan itu lalu melengos pergi.

"Awas kalo kamu ngomong sama siapapun soal ini, liat aja nanti balesanku, Mbak!" Ancam adik iparnya sambil melotot.

"Jadi penyebab kamu tadi pagi marah banget sama bau telur itu.. karena kamu lagi hamil muda?"

"Mbak Rianti! Udah kubilang enggak usah banyak cingcong! Pura pura buta dan bisu soal ini emangnya enggak bisa?!" 

Tina benar-benar marah saat mengatakan hal itu, dia bahkan sampai mendorong bahu kakak iparnya keras-keras.

Kemudian setelah itu dia menangis meraung dan masuk ke kamar, testpack-nya lagi-lagi jatuh.

"Ternyata dia juga hamil.." gumam Rianti pilu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status