Keesokan harinya, Shena yang harus pergi bekerja mulai bersiap-siap. Tidak seperti biasanya wanita itu berangkat tepat pukul setengah delapan pagi apabila di shift awal, sosoknya sudah sibuk di kamar pagi-pagi sekali.
Setelah tadi malam dia diberondong banyak pertanyaan oleh sang adik, ia tidak punya keberanian tinggal lebih lama di rumah dan bertemu dengan Edwin.
Fakta bahwa kebohongannya hampir terungkap, ia tidak bisa berlama-lama tinggal di rumah lagi.
Shena yang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas kemudian mendengar suara notifikasi dari pesan baru masuk. Ia mengambil ponselnya di nakas, membuka kunci dan melihat isi pesan yang dikirim oleh Rafael.
"Untuk apa lagi pria itu menghubungiku?!" Shena mendengus benci tatkala melihat nama Rafael lah yang terpampang di layar.
Tidak menjawab pesan itu, Shena justru memblokir nomor Rafael untuk yang ketiga kalinya. Dalam benaknya dia berpikir sudah saatnya untuk mengganti nomor.
Setelah dia selesai bersiap-siap, ia melangkah keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Ruangan keluarga tampak gelap dan gorden pun belum dibuka. Menandakan bahwa ibu dan adiknya belum bangun.
Berdiri di depan kamar sang ibu yang tertutup, Shena menempelkan dahinya di sana. Desahan lembut terdengar keluar dan gumaman maaf pun menyertai. "Tolong jaga kesehatan mama, aku akan segera kembali."
Ia sudah memutuskan masak-masak, bahwa dirinya tidak bisa tinggal lagi di rumah. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa disembunyikan. Meski dia belum mengambil keputusan apakah mempertahankan bayi itu atau tidak, namun untuk sementara waktu, dia perlu menenangkan dirinya sendirian.
Selepas Shena menyatakan perpisahan singkat pada keluarganya, sosoknya kemudian menghilang dari ruang keluarga.
Di sisi lain, tepatnya di sebuah hotel mewah di ruangan staf, seorang pria tampak frustasi dikarenakan pesan serta panggilannya diabaikan.
"Apa Shena masih mengabaikan dirimu?" Alvin yang baru saja tiba menyapa temannya yang tampak linglung.
Rafael memalingkan muka ke samping, kemudian mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan temannya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisik Rafael mulai putus asa.
"Kenapa kau tidak coba bujuk lagi Elina agar mau mengakui kejahatannya yang telah membius Shena. Jelas-jelas itu bukan kau yang melakukannya, tapi malah kau yang disalahpahami." Alvin mencoba memberikan saran.
"Kau pikir Elina mau begitu saja mengakui kejahatannya pada Shena?"
Alvin menggelengkan kepalanya pertanda tak yakin. Menilik sifat licik dan gila wanita itu, sangat mustahil bagi Elina untuk berkompromi.
Rafael yang tadinya berdiri kemudian duduk di kursi panjang. Kedua tangannya menyangga kepalanya yang menunduk saat sakit kepala kembali kambuh.
Dia tidak memberitahu Alvin bahwasanya Elina mau mengakui kesalahannya. Tapi dengan satu syarat. Syarat yang diminta wanita itu lah yang membuat dia benci sekaligus stres.
Elina mengangkat dagunya berani. Senyum nakal terbit di bibirnya yang sexy saat dia berbisik tepat di bibir Rafael. "Tidur denganku, dan aku janji akan menjelaskan masalah itu pada Shena."
Geram, marah, tak berdaya bercampur di dalam diri Rafael saat dia bingung mengambil keputusan. Seandainya dengan hanya penjelasan saja dapat membuat Shena percaya padanya, dia tak akan mungkin se-frustasi sekarang.
Kenyataannya, Shena malah berubah benci padanya akibat kesalahpahaman malam itu. Ia masih ingat dengan tatapan benci yang dilayangkan Shena padanya ketika berusaha menjelaskan. Hingga kini, dia belum berbaikan dengan Shena, wanita yang ia cinta lama sekali.
Alvin ikut duduk di samping Rafael, menepuk pelan bahu temannya itu sebagai tanda dukungan.
***
Hedi telah bersiap di kediaman kakek Olsen, menunggu sang presdir turun dari lantai dua. Seperti biasa, mereka akan berangkat bersama ke perusahaan.
Tak lama kemudian, terlihat sosok Mahendra dengan setelan rapinya turun dari lantai atas. Satu tangannya menenteng tas kerja dan tangan lainnya memegang ponsel yang diletakkan dekat telinga.
"Bukankah sudah kubilang, pertunangan kita dibatalkan?"
Suaranya begitu dingin tatkala dia berbicara dengan orang di seberang telepon.
Pagi itu, sang mantan tunangan; Friska Indira menghubungi Mahendra. Dari suara wanita itu yang serak, dapat ditebak kalau dia habis menangis.
"Mahendra, aku tidak mau putus denganmu," isak perempuan itu menyedihkan. "Aku tahu aku salah, tapi tolong percayalah kalau video yang kau lihat itu murni jebakan belaka. Aku sama sekali tidak kenal dengan pria itu, sungguh. Kumohon percaya padaku."
Namun bagaimana mungkin Mahendra bersedia kembali? Apabila perpisahan inilah yang benar-benar dia inginkan. Tak peduli apakah perselingkuhan itu benar atau tidak, dia sama sekali tak peduli.
"Kalau hanya ini yang mau kau bicarakan denganku, aku tutup teleponnya. Sampai jumpa di konferensi pers nanti Siang." katanya dingin tanpa intonasi lalu mematikan sambungan tersebut.
Hedi yang melihat raut wajah bosnya tampak buruk, tak berani membuka mulut untuk melontarkan basa-basi. Ia mengekori di belakang Mahendra menuju ke arah mobil yang telah diparkir di luar.
Setelah kedua orang itu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi masing-masing, Mahendra sibuk dengan ponselnya.
"Presdir, apa Anda mau pergi ke perusahaan dulu atau langsung ke hotel?" tanya Hedi seraya memiringkan kepalanya untuk melihat sang presdir.
"Pergi ke hotel."
Mendapat jawaban pasti itu, Hedi menganggukkan kepalanya lalu memerintahkan sopir di sampingnya untuk pergi ke hotel seperti yang diperintahkan oleh bos mereka.
Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke hotel yang dimaksudkan. Hotel itu merupakan salah satu hotel bintang lima terkenal dan merupakan anak cabang dari hotel milik Muneer Group yang berpusat di Amerika.
Hotel tersebut telah berdiri sejak delapan tahun yang lalu dan dikelola oleh Mahendra atas izin kakek Olsen. Itu bertepatan dengan diketahuinya identitas Mahendra yang merupakan anak satu-satunya dari Jordy Christian Muneer.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan pintu masuk hotel. Mahendra keluar dari mobil dan begitu dia keluar, dia disambut oleh beberapa orang yang diketahui karyawan penting dalam mengelola hotel tersebut.
Tak jauh dari keberadaan mobil yang ditumpangi Mahendra serta keramaian di sekitar pria tersebut, berjalan seorang wanita dengan pandangan linglungnya.
Shena yang mendengar suara ramai itu lantas menolehkan kepalanya. Begitu dia melihat manajer serta supervisor hotel yang cukup dikenalnya menjadi salah satu dari rombongan di hadapannya itu, ia bertanya-tanya apakah hari ini hotel mereka kedatangan tamu penting.
Tepat saat dia selesai dengan pikirannya, Hedi yang tadinya berdiri di samping Mahendra bergerak ke belakang dan sosok tinggi serta tampan Mahendra terpampang di depan mata Shena.
"Pria asing itu?" gumamnya dengan mata terbelalak terkejut.
Seolah merasakan tatapan panas dari kejauhan, Mahendra melirik ke samping dan menemukan seorang wanita berdiri tertegun melihat ke arahnya. Tidak ada eskpresi apapun di wajah tampan dan datar itu, namun dari pupil pria tersebut yang membesar sesaat sudah cukup menunjukkan keterkejutannya.
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan