Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi.
Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sekarang sudah saatnya aku turun tangan."Ng, anu--""Maaf, Mas. Kita baru kenal, jadi nggak usah sok tahu!" Kusambar piring kecil di tangan Mas Fariz, kemudian berjongkok untuk menghabiskan sisa pecel yang menjadi penyebab keributan ini.Wajah Mas Ali berubah, dia mengusap tengkuk sembari tersenyum kikuk menatap istri, mertua, dan iparnya yang menunggu penasaran."Saya becanda, Riz." Dia memaksakan sebuah senyuman pada Mas Fariz.Pada saat itulah helaan napas lega terdengar seirama."Yaelah lu pake nge-prank segala. Bikin jantungan aja. Gue kira lu pernah ada something sama Si Suci."Hening kembali.Sampai suara berwibawa Pak Jamal, menjadi penyelamat suasana canggung ini."Udah, nggak enak ngobrol sambil berdiri. Mending kita makan dulu, habis itu baru lanjutin yang tadi."Semua orang mengangguk setuju, dan mulai membubarkan diri. Begitu pun Mas Fariz yang berjalan menghampiri dan mengambil alih piring kosong di tanganku."Mau lagi? Masih banyak, tuh di meja." Aku menggeleng cepat.Terus terang hanya karena ingin menghindari pembahasan tentang masa laluku dan Mas Ali, aku rela mengambil risiko mengonsumsi satu-satu jenis makanan yang menyebabkan alergi. Entah apa yang terjadi setelah ini."Nggak usah, Mas. Udah cukup. Kayaknya pecelnya kepedesan, deh.""Oh, lu nggak kuat pedes? Mau minta Bi Surti buatin lagi? Tinggal rikues cabenya cuma kasih satu.""Nggak, makasih." Sedikit meringis aku menahan tangannya yang hendak berlalu memdahulu."Oh, ya udah. Kita makan dulu kalau gitu, habis itu gue ajak keliling."Aku hanya mengangguk menanggapi.***"Sekarang kamu udah punya istri, Riz. Pertimbangin lagi tawaran Papa buat masuk ke Pabrik. Posisi Personalia masih kosong, kok." Pak Jamal memulai percakapan yang sempat tertunda setelah kami selesai menunaikan Salat Maghrib dan berkumpul di ruang keluarga. Aku bersyukur Farah, Mas Ali dan Hafiz sudah pamit sebelum Maghrib tadi."Nggak, perlu, Pa. Bukan bermaksud nolak rezeki. Tapi, Fariz yakin bisa nafkahi Suci tanpa belas kasihan kalian. Alhamdulillah Toko Otomotif Fariz lagi rame akhir-akhir ini. Rencananya Fariz sama anak-anak juga mau buka doorsmeer (bengkel yang menyediakan service ganti oli dan pencucian.) di sekitar daerah Mangga Dua.""Ya alhamdulillah kalau gitu. Kita jadi nggak khawatir kamu nganu-nganu yang bikin dada Mama ngilu. Mudah-mudahan aja setelah sama Suci hidup kamu bisa terarah lagi," sahut Bu Nurul sembari menatap hangat ke arahku."Dih, emang selama ini hidup Fariz nggak ada tujuan gitu?" Dia semot sendiri, "Ya, bener juga, sih," lanjutnya kemudian."Kan. Inget dulu cuma berapa kali pulang dalam sebulan? Inget berapa kali Papa tebus kamu di bui? Inget waktu tidur di emperan toko habis ngoplos minuman? Inget, inget, inget!" Bu Nurul mencecarnya sembari memukuli lengan Mas Fariz berkali-kali."Iya, inget. Nggak usah diperjelas juga kali. Ada Suci di sini." Mas Fariz memojokkan diri ke arahku, berusaha menghindari pukulan-pukulan yang Mamanya layangkan."Nggak apa-apa. Biar istri kamu tahu dan nggak nyesel di kemudian hari."Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sejak menunaikan salat maghrib tadi, aku memang mulai kehilangan konsentrasi. Rasanya tubuhku mulai letih, nyeri di bagian perut, bahkan aku sempat sembunyi-sembunyi untuk buang angin di kamar mandi."Hei, lu kenapa, Ci? Pias banget kayak ayam tiren." Ternyata gelagatku mulai disadari Mas Fariz. Harus kuakui untuk jenis lelaki dia cukup langka, karena bisa dibilang sangat peka."Hus!" Bu Nurul mencubit perut Mas Fariz."Nggak tahu, tiba-tiba nggak enak badan.""Bawa ke atas, gih! Suruh istirahat. Mungkin Suci kecapean karena perjalanan jauh. Belum lagi kamu gempur siang-malem, yakan?" usul Bu Nurul yang berbuntut tuduhan."Dih, fitonah aja Si Mama. Mana ada gempur-siang malem. Nyicip aja bel--""Mas!" Aku menarik ujung kausnya untuk mengingatkan.Hanya dengan tatapan, syukurnya dia langsung mengerti."Dah, ah. Kita pamit dulu. Ngobrol lagi nanti." Mas Fariz beralih padaku, lalu membantuku bangkit. "Kuat nggak? Mau dipangku? Keknya badan lu juga seringan bulu."Aku menggeleng cepat. "Tuntun aja!""Oke, sip." Mas Fariz menurut, lalu menuntunku menuju tangga setelah pamit pada kedua mertua."Pegang pinggangnya! Kaku banget masa yang ditahan bajunya." Teriakan Bu Nurul masih bisa terdengar olehku dan Mas Fariz.Meskipun sempat ragu, akhirnya dia melingkarkan lengannya dan menahan pinggangku.***"Jangan coba bohong lagi, Ci. Gue nggak bego. Ini gejala alergi," cetus Mas Fariz saat melihatku untuk ketiga kalinya keluar masuk kamar mandi.Akhirnya aku menyerah, lalu memilih mengaku. "Ya, sebenarnya saya emang alergi kacang. Tolong jangan bilang sama Papa-Mamamu, ya. Saya terpaksa bohong karena nggak mau kalian salah paham. Kayaknya dia cuma nebak saat liat raut wajah saya saat itu."Mas Fariz menghela napas panjang."Oke. Penjelasan diterima. Sekarang duduk sini!" Dia menepuk sisi lain ranjang di sebelahnya.Aku menurut, lalu duduk tepat di sebelahnya."Mana yang sakit?" tanyanya sembari memindai tubuhku. Tampak di tangannya sudah terdapat sebotol minyak kayu putih.Tanpa basa-basi aku langsung menarik naik atasan piama yang dikenakan, hingga mengekspos perutku."Astagfirullah. Nggak usah diliatin juga kali." Mas Fariz langsung mengalihkan pandangan."Biar jelas. Nggak usah sok polos. Aku yakin Mas udah pernah liat lebih banyak dari ini.""Ya emang. Waktu lu pake baju Saringan Tahu!"Aku tertegun."Yakin cuma saya? Wanita lainnya? Mantan-mantan Mas yang dulu-dulu?" pancingku.Dia terdiam sejenak. Hanya sekejap, aku langsung menyadari ada lain dari tatapannya."Keknya emang hina banget gue di mata lu." Sorot matanya meredup."Bukan gitu, Mas. Di umur Mas yang segini dengan ruang lingkup yang seluas itu. Mustahil banget kalau Mas Fariz nggak pernah terjerumus dalam--""Seks bebas?" Dia memotong ucapanku. "Suci ...." Ada jeda panjang saat namaku mengudara. Tiba-tiba Mas Fariz mempersempit jarak di antara kita."Sebelumnya gue emang pemabuk berat, hobi gebukin orang, hobi bikin keributan, keluar masuk bui, suka party nggak jelas sampe tengah malem. Tapi, satu yang harus lu tahu. Gue nggak pernah main perempuan!"Aku terbungkam."Di saat paling kepepet gue lebih milih maen pake tangan atau sabun di kamar mandi. Gue tahu ini aib, tapi gue bangga. Setidaknya nggak ada anak orang yang gue bikin nangis atau bunting di luar sana."Aku benar-benar kehilangan kata sekarang."Sebagai sesama lelaki, Papa nggak pernah berhenti ngingetin. Jangan pernah coba-coba dengan zina, dampaknya nggak maen-maen katanya. Inget, kalau gue juga punya adik perempuan, inget gimana kalau suatu saat nanti gue juga punya anak perempuan. Pasti nggak akan rela digituin."Aku mengangguk pelan. Menatap lekat wajah Mas Fariz yang terlihat begitu serius menceritakan sebagian kecil kisahnya tanpa perlu kuminta. Entah sejak kapan berbagai gejala nyeri akibat alergi sudah menguap entah kemana, atau memang ucapan Mas Fariz memang memiliki mantra penyembuh tersendiri?"Lu mungkin nggak akan percaya, Ci. Waktu umur gue menginjak 15 tahun, Papa bahkan tutup mata gue saat kedapatan nonton kartun di TV, cuma gara-gara liat Si Sandy pake bikini!"...Bersambung."Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang
"Djalu, pakabar, lu? Kangen gue nggak?" Aku mengangkat sebelah alis saat Mas Fariz mengeluarkan sebuah motor Yamaha XSR 155 yang sepertinya sudah banyak dimodifikasi, dari dalam garasi. Kendaraan roda dua yang memang tren di kalangan anak motor karena penampilannya maskulin itu dia elus penuh sayang tak ubahnya kekasih sendiri."Maaf kalau dua bulan ini lu dimusiumkan. Tahu sendiri gimana bokap gue. Gimana keadaan di dalem sini? Apa Mang Dani perlakuin lu dengan lembut sama kek motor dan mobil papa yang laen?" Dia masih bicara sendiri pada benda mati berwarna gabungan hitam dan cokelat muda itu."Mas, kapan kita berangkat? Kalau terus-terusan kangen-kangenan sama pacar besimu. Keburu subuh nanti," tegurku yang membuat Mas Fariz menoleh seketika."Sorry. Gue cuma sedikit terharu tadi. Soalnya udah cukup lama nggak ketemu Djalu. Dua bulan terakhir cuma duduk manis di balik kemudi. Soalnya ademnya AC beda sama ademnya angin alami," paparnya seraya memasang helm.Aku mengangguk memaklumi
Sepanjang perjalanan Mas Fariz sesekali teriak panik saat aku berhasil mendahului truk-truk besar dengan kecepatan tinggi. Pertama kali sejak tujuh tahun terakhir aku benar-benar merasakan sebebas ini. Jujur, menghabiskan waktu di rumah dan di balik meja kasir toko Bapak yang kukelola, memang kadang mengundang rasa bosan. Meski sesekali keluar menyusuri jalan pedesaan dengan motor matix yang dikenakan. Rasanya jelas jauh berbeda dengan saat mengendarai XSR 155, menyusuri jalanan ibukota, di tengah malam dengan ditemani lelaki bertubuh tinggi besar yang teriak-teriak sejak tadi.Hingga sampai di lokasi, aku melihat dengkul Mas Fariz masih gemetar dengan gemelatuk gigi yang beradu. Menggigil. "Nggak, pokoknya gue nggak mau lagi." Dengan napas yang masih terengah Mas Fariz menunjuk wajahku. "Gue pikir cewek sarap yang bawa motor gila-gilaan cuma Si Mona, ternyata ada yang lebih parah."Aku mengernyitkan dahi."Siapa Mona?""Temen gue. Satu-satu cewek di genk ini." Bersamaan dengan kuli
"Papa sama Mama tahu, Bi?" Kulontarkan pertanyaan setelah cukup lama memikirkan alasan kepedulian yang tiba-tiba lelaki itu tunjukkan dalam situasi kami yang sekarang."Nggak ada yang tahu, Non. Bibi cuma baru bilang sama Non Suci sekarang."Kuhela napas lega mendengar penjelasan Bi Surti."Kalau gitu, bisa minta tolong sesuatu?"Bi Surti mengangguk, lalu melangkah lebih dekat."Tolong jangan bilang ke siapa pun tentang in--""Mau minta tolong apa lu sama Bibi, Ci?"Deg!Suara berat dan tegas itu menginterupsi."Bibi boleh pergi!" Sebelum menjelaskannya pada Mas Fariz, lebih dulu aku meminta Bi Surti pergi. Kemudian menyembunyikan plastik berisi obat tadi, di antara sajadah dan mukena yang digenggam. "Saya cuma minta tolong Bi Surti buat rahasiain tentang alergi, biar mama sama papa nggak khawatir." Sembari menatapnya lurus, kuusahakan diri agar tetap terlihat tenang.Awalnya Mas Fariz mengernyitkan dahi, kemudian berjalan menghampiri. Merendahkan tubuh, lalu lekat meneliti ekspresi w
"Pantesan dari tadi ngung-ngung mulu di telinga. Rupanya ada yang ghibahin di sini."Bersamaan dengan itu Mas Fariz tiba-tiba datang entah dari mana. Menumpukan sebelah tangan di pintu masuk dapur. Menatapku dan Mama bergantian."Bisa pinjem mantunya bentar? Fariz mau aja Suci jalan-jalan sebelum Mama bongkar semua aib Fariz selama ini."Mama menatap ke arahku, lalu menaik-turunkan alis. "Pinjemin nggak, ya? Soalnya, sebentarnya kamu itu bisa jadi seharian."Mas Fariz mendekat, lalu memeluk tubuh Mama dari belakang, sebelum bergumam. "Mama kek yang nggak tahu aja manten baru."Senyum Mama melebar. Dia berbalik menghadap Mas Fariz."Tunjukan keperkasaanmu Anak Beruang, Mama tunggu cucu Beruang launching tahun ini."Aku memalingkan pandangan, entah kenapa pembahasan ini membuat wajahku tiba menghangat."Aamiin. Mama doain Fariz goal malam ini.""Loh, emangnya?" Mama tampak kebingungan. Namun, sebelum pertanyaan lain sempat terlontar. Mas Fariz lebih dulu mengecup pipinya dan menarik tan
Setelah melewati berbagai sesi penyatuan, kami terjaga melewati panjangnya malam yang berlalu tak seperti beberapa malam sebelumnya. Akhirnya aku benar-benar menyerahkan diri seutuhnya di atas ikrar yang semula terjalin hanya berdasarkan nazar.Dingin yang semula menggigil, menguap diganti kehangatan yang menjalar dalam dekapan lelaki yang sejak tadi menatap dengan gumaman yang tak henti dia lantunkan, saat untuk pertama kalinya kami berakhir di atas pembaringan menunaikan kewajiban sebagai pasangan halal."Cantik. Menurut gue semua yang ada di diri lu itu sempurna, Ci. Apalagi rambut ini. Gue nggak peduli sama orang lain sebelum gue. Tapi, mulai detik ini cuma gue yang boleh liat semuanya sampe akhir!" Dengan pandangan yang masih lekat menatap, Mas Fariz memainkan rambutku yang terurai panjang sampai punggung.Aku mengangguk pelan, sembari mengulurkan tangan menyusuri struktur rahangnya yang kasar, karena jambang yang tak pernah dia pangkas habis.Tak pernah kubayangkan sebelumnya. D
Setelah menempuh kurang lebih satu jam tiga puluh menit perjalanan dari Bogor melalui Tol Jagorawi. Kami sampai di Kebayoran Baru, tepatnya Blok M. Karena masih bertempat di Jakarta Selatan, Toko otomotif Mas Fariz memang bisa dibilang cukup dekat dari kediaman utama keluarga Mas Fariz yang ada di perumahan elite Cilandak. Jadi, kami tak perlu khawatir terjebak macet saat perjalanan pulang.Terletak di tempat yang bisa dibilang mudah dijangkau. Dengan diapit dua ruko lain, Toko otomotif Mas Fariz berada. Surga onderdil yang menyediakan hampir semua kebutuhan kendaraan. Mulai dari velg, shockbreaker, ban, dan aksesoris lainnya. Selain menjual onderdil, tempat-tempat ini juga menyediakan perlengkapan berkendara lain. Sebut saja seperti helm dan aneka jaket."Ayo masuk! Nggak usah malu-malu. Si Tebe nggak gigit, kok." Mas Fariz menarik tanganku saat tengah asik memerhatikan sekitar."Tebe?" Refleks pertanyaan itu terlontar."Tendi Subandi. Nama panggilannya Tebe. Dia penanggung jawab di
Seketika keheningan pekat menyelimuti kami, di saat yang bersamaan napasku masih memburu. Sekuat tenaga kutahan keinginan diri untuk melayangkan tamparan di wajah Mas Ali."Maaf, ya, Ma, Pa. Suci ikut pergi sama Mas Fariz karena keinginan sendiri. Wallahi di sana dia cuma ngobrolin tentang projek usahanya baru. Mereka janjian malem, karena emang sama-sama sibuk." Aku melanjutkan setelah dirasa amarah mulai teredam. "Sementara di puncak, rumah yang kita singgahi itu sebenarnya rumah Mas Fariz sendiri! Apa perlu saya jelasin juga detail kejadiannya biar Mas Ali yang terhormat ini puas dan nggak suudzon sama iparnya lagi?!""Ci, udah!" Sentuhan lembut di pundak itu sontak membuatku tersadar dengan batasan yang baru saja kulanggar, ketika berteriak tepat di depan wajah Mas Ali. Mama terus mengusap punggung dan kepalaku, sementara Papa hanya menghela napas gusar.Mas Fariz yang sejak tadi berdiri terpaku akhirnya menghampiri. Dia menarik tanganku meninggalkan ruang tengah menuju kamar kami