"Astagfirullah, Mas Arga!" pekik Nirmala saat dia baru saja memasuki rumah.
"Si*lan!" umpatku dalam hati.
Ya ... saat ini aku tengah diadili oleh warga kampung tempat tinggal istriku. Karena kecerobohanku, aku dan juga Cindi serta Eva digerebek oleh warga.
Sebenarnya kami bertiga jarang sekali main di rumah. Hanya saja hari ini aku memang sedang malas keluar rumah. Dan ini adalah idenya Cindi. Jadilah aku sekarang seperti ini. Malunya bukan main. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur ketahuan.
Aku dan Cindi sebenarnya bukan saudara kandung. Kami dipertemukan saat orang tua dari kami hendak menikah. Namun naas, beberapa hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan, orang tua kami terlibat kecelakaan dan meninggal di tempat.
Dan sejak saat itu, Cindi ikut denganku dan menjadi tanggung jawabku. Aku dan Cindi memutuskan untuk pindah dari kampung halamanku. Kami tidak mau ada orang yang tahu masa lalu kami, karena kami mengaku sebagai kakak adik kandung.
Nirmala, istriku pun tidak tahu masalah ini. Aku dan Cindi sepakat merahasikan jati diri kami. Entah bagaimana awalnya, aku dan Cindi semakin dekat. Kedekatan kami melebihi dari seorang kakak dan adik. Hingga akhirnya aku menikah untuk menutupi kelakuan kami.
Keberuntungan berpihak padaku dan Cindi. Ketika kami diusir dari rumah kos, Nirmala menjadi penolong kami. Tak perlu berpikir terlalu lama aku melamarnya. Kami saat itu butuh tempat tinggal dan kami tak ada uang sepeserpun.
Nirmala tak meminta mas kawin yang aneh-aneh. Cukup seperangkat alat sholat yang menjadi mas kawinnya. Sebenarnya aku tidak mencintai Nirmala. Tapi karena desakan keadaan, aku terpaksa menikahinya.
Cindi juga tidak keberatan ketika aku mengutarakan keinginanku itu. Dia juga sudah bosan hidup terlunta-lunta di jalan. Walaupun ada sedikit rasa cemburu, tapi aku mampu membuat Cindi mengerti.
***
Pagi itu memang aku izin untuk tidak masuk bekerja. Pesta semalam membuat badanku rasanya remuk dan lelah. Berulang kali Nirmala membangunkanku, tapi tak kuhiraukan itu.
Karena terganggu dengan suara omelannya, aku pindah ke ruang tengah untuk kembali tidur. Aku sebenarnya sudah muak dengan Nirmala. Apalagi sekarang dia sedang hamil. Aku tidak rela jika nanti dia gunakan anaknya sebagai alasan untuk memeras uangku.
Tak sudi aku menghidupi anak yang bukan anakku. Cuih! Sering aku menerima aduan dari Cindi kalau Nirmala sering menerima telepon atau mengobrol dengan teman prianya di depan rumah.
Apalagi ditambah aku ada masalah dengan kesuburanku. Bertambahlah dugaanku kalau anak yang dikandung Nirmala itu bukan anakku.
Setelah Nirmala berangkat bekerja, Cindi menghampiriku yang masih berbaring di ruang tengah. Dia tak segan menghujaniku dengan ci*man bertubi-tubi karena memang tahu kalau Nirmala tidak ada di rumah.
"Mas ... Cindi pengen," ucapnya dengan gaya manja nan menggoda.
"Mas capek, Cin! Besok aja, ya?" tolakku dengan memiringkan badan ke kanan.
"Tapi, Mas, Cindi pengen banget!" bujuk Cindi lagi.
Begitulah Cindi jika bersamaku. Dia selalu tak ingin jauh dariku dan setiap apapun yang dia minta, aku harus segera menurutinya. Bahkan ketika dia memintaku untuk tidak lagi menyentuh Nirmala pun aku lakukan. Aku juga tak tahu kenapa aku tunduk padanya.
Aku berbohong kepada Nirmala soal pekerjaan. Aku mengaku pada Nirmala kalau bekerja sebagai karyawan di pabrik konveksi. Padahal yang sebenarnya adalah aku suka menemani tante-tante yang butuh kasih sayang. Hi ... hi ... hi ....
Selain itu, aku bekerja di rental sebuah mobil sebagai sopir lepas. Tapi itu hanya sebagai kedokku saja. Yang jelas pekerjaan utamaku yang pertama tadi.
Tuntutan gengsi dan kebutuhan sangat tinggi, hingga membuatku terjun ke dunia itu. Apalagi itu pekerjaan yang cukup mudah kulakukan. Jadi, aku merasa enjoy dan happy aja menjalaninya.
"Aku panggil Eva sekalian, ya, Mas. Biar kamu tambah semangat!" Cindi memang tahu titik lemahku ada di Eva.
Eva adalah perempuan yang mampu membuat aku mabuk kepayang. Eva ini adalah teman Cindi. Dan Cindi pula yang mengenalkannya padaku.
Jika bersama dengan Eva, Cindi sama sekali tak menunjukkan rasa cemburunya. Lain halnya saat aku bersama dengan Nirmala.
Eva, perempuan cantik dengan body mirip gitar dan juga tubuhnya yang tinggi, membuat semua laki-laki akan tunduk padanya, termasuk juga aku.
Mendengar nama Eva disebut, tentu saja aku langsung bangkit dan bersemangat. Aku tak memikirkan lagi jika ini di rumah Nirmala.
***
Agak lama aku menunggu Cindi menjemput Eva. Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi dan juga mempersiapkan diri untuk pertempuran.
Bermain dengan dua perempuan sekaligus bukan kali pertama kulakukan. Jadi, itu tak menjadi masalah buatku.
"Ayo masuk, Va!" Suara Cindi terdengar dari arah depan.
Aku bergegas menghampiri mereka. Eva sama seperti biasanya. Dia selaku cantik dan juga wangi. Aku pun ikut mempersilahkan Eva masuk. Cindi kuminta untuk membuatkan minuman untuk Eva.
"Aman, kan, Cin?" tanyaku pada Cindi.
Ya, aku sebenarnya tidak tenang. Ini adalah kali pertamanya aku tak ke hotel. Cindi tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya padaku.
"Syukurlah kalau begitu," balasku dengan perasaan lega.
Kami bertiga bersiap-siap. Kamar yang akan kami gunakan itu adalah kamarku dengan Nirmala, karena kamar Cindi ruangannya sempit.
Di saat kami sudah bersiap dan masing-masing membuka pakaian, tiba-tiba ada yang mendobrak pintu. Sontak kami semua terkejut dibuatnya. Belum sempat kami mengenakan baju, pintu kamar juga didobrak dari luar.
"Nah, kan, benar dugaanku! Seret mereka, Pak RT! Mengotori kampung saja bisanya," ucap salah satu ibu yang ikut menyaksikan pendobrakan itu.
Aku tak berani menatap ibu itu. Jadi aku tak bisa memastikan itu siapa. Mereka semua meneriaki kami dengan berbagai macam umpatan.
"Tenang Ibu-ibu, tenang!" jawab Pak RT yang berusaha menenangkan warganya.
"Bisa-bisanya, ya, adik sama kakak main begituan! Gak tau malu banget! Kasihan Mbak Nirmala."
"Iya, Bu. Heran aku sama Mas Arga. Mbak Nirmala sudah rela bantuin cari uang, masih ada diginiin! Kalau aku jadi Mbak Nirmala, akan kutendang mereka keluar dari rumah."
Dan masih banyak lagi umpatan demi umpatan yang aku terima. Pak RT meminta Cindi dan juga Eva untuk mengenakan pakaiannya. Setelah itu, kami bertiga digiring untuk disidang di ruang tengah rumah Nirmala ini.
"Panggil Mbak Nirmala untuk segera pulang, ya, Bu Nuri," pinta Ibu RT kepada tetanggaku yang bernama Ibu Nuri.
"Baik, Bu. Saya permisi!" Secepat kilat, Ibu Nuri pergi dari hadapan kami untuk memanggil Nirmala di tempat kerjanya.
Sembari menunggu Nirmala datang, Pak RT mengajukan beberapa pertanyaan padaku. Tapi, tak ada satupun pertanyaan itu yang kujawab.
Aku melirik Cindi dan juga Eva yang diam dengan kepala menunduk. Aku tahu mereka juga sama kesal dan marahnya seperti aku. Tapi, kami juga tidak bisa berbuat banyak karena lawan kami tidaklah sedikit.
"Ya sudah kalau Mas Arga tidak mau menjawab pertanyaanku, kita tunggu saja Mbak Nirmala pulang." Pak RT merasa putus asa karena kebisuanku.
Sepuluh menit kemudian Nirmala benar-benar datang. Aku melirik sekilas ke arahnya. Dia syok dengan apa yang dilihatnya. Matanya memerah dan juga air matanya mulai jatuh.
Tubuh Nirmala lemas sehingga harus dibopong oleh ibu-ibu yang lain dan didudukkan tepat di depanku.
"Mbak Nirmala, mohon maaf atas kerusakan yang terjadi di rumah Mbak Nirmala. Tapi, ini kami lakukan juga untuk kepentingan kampung kita." Pak RT memulai pembicaraannya dengan Nirmala.
Saya mendapat keluhan dan laporan dari warga terkait dengan gerak-gerik Mas Arga dan juga Mbak Cindi. Dan hari ini kami membuktikan kecurigaan kami selama ini ternyata memang benar," sambung Pak RT lagi.
"Oh ternyata mereka semua memata-mataiku selama ini? Kenapa aku bisa tidak tahu begini?" gumamku dalam hati.
"Semua keputusan ada di Mbak Nirmala. Tapi, saya selaku perwakilan dari warga, tidak bisa lagi menerima Mas Arga dan juga Mbak Cindi untuk tinggal di kampung ini," ujar Pak RT panjang lebar.
Terdengar Nirmala menghela nafas berat. Dia pun juga mengusap air mata yang membasahi pipi. Nirmala menatap mataku dan kemudian beralih ke Cindi dan juga Eva. Setelah itu, Nirmala bersiap bicara dengan Pak RT.
"Pak RT ...."
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap