Mohon dukungan kalian semua, jangan lupa subscribe sebelum membaca.POV Dania."Iya, kamu Rayyan kan?" Lelaki yang baru datang itu sepertinya sangat yakin sekali jika lelaki yang sedang duduk di sampingku adalah Rayyan, orang yang ia kenal."Maaf, kamu siapa ya?" Rian akhirnya berucap setelah beberapa saat ia menenggelamkan wajahnya dalam bisu."Aku, Dimas, teman SMA kamu," balas lelaki yakin. Semburat senyuman mengantarkan keyakinan itu."Teman SMA, tapi saya lulusan SMK bukan SMA. Mungkin anda salah orang."Kening' lelaki bernama Dimas itu berkerut seketika, "Tapi aku ingat betul dengan bekas luka di pergelangan tangan itu." Lelaki itu menujuk bekas goresan luka yang cukup panjang pada pergelangan tangan Rian. Aku pun ikut sedikit memajukan tubuh untuk memperhatikan luka pada pergelangan tangan Rian.Rian menaikan sedikit lengan kemeja yang ia kenakan. Hingga bekas luka sayatan itu semakin terlihat jelas melingkar pada pergelangan tangannya."Oh, luka ini, ini hanya bekas luka saat a
Nadia berlari menghampiriku dengan nafas tersengal. Aku yang sedang berada di ruang produksi sedikit terkejut dengan kedatangan gadis muda itu."Duh, Dania, kamu kemana saja sih, aku nyariin kamu dari tadi!" protes Nadia, wajahnya terlihat sangat panik sekali."Ada pas sih?" tanyaku sibuk membantu mengemasi buku-buku yang sudah selesai dicetak."Kamu bagaimana sih, Dania! Bisa-bisanya kamu sesantai ini." Wajah Nadia semakin kesal padaku."Iya, ada apa, Nad?" tanyaku tanpa menoleh sedikitpun, aku terus melanjutkan kegiatanku menyusun buku-buku yang baru di cetak untuk segera di kirim ke perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia."Pak Ram kecelakaan, masa kamu nggak tau!" cetus Nadia."Apa?" Seketika mataku membulat penuh pada Nadia.Gadis muda itu mendengus halus. "Kecelakaan Pak Ram sudah satu minggu yang lalu, Nia, dan kamu baru mendengarnya sekarang?" Nadia menggelengkan kepalanya menatap heran padaku yang masih mematung tidak percaya dengan apa yang barusan ia katakan."Sudah
"Iya, luka ini sama dengan luka ...!" Aku terus memperhatikan luka sayatan yang cukup panjang yang berada pada pergelangan tangan ini."Bisakah anda melepaskan tangan saya?" Seketika aku mengerjap dan melepaskan pergelangan tangan lelaki tampan yang berada di samping rajang pasien Pak Ram."Ma-maaf!" lirihku. 'Bodohnya aku ini,' gerutuku dalam hati."Iya, tidak masalah!" cetus lelaki itu singkat. "Memangnya ada apa dengan bekas di tangan saya?" Lelaki itu menatap lekat ke arahku seraya mengoyangkan tangan kirinya di mana luka sayatan yang sama persis dengan luka Rian itu ada."Luka itu hampir sama dengan bekas luka Mas Rian, supir Pak Ram," tuturku dengan wajah memerah, karena kebodohanku."Oh ...!" Lelaki itu mengangguk lembut dengan membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O."Kamu siapanya, Rian?" Lelaki itu menyadarkan tubuhnya pada bangku, melipat kedua tangannya di depan dada."Saya, saya, teman Mas Rian!" balasku. "Kalau boleh tau di mana ya, Mas Rian sekarang? Karena suda
Hampir saja jantungku mencelos saat melihat lelaki berjaket hitam itu membalikan tubuhnya."Rian!" ucapku masih tidak percaya jika lelaki berkacamata besar dengan rambut poni itu kini ada di hadapanku. Hujan yang membahasi tubuhnya membuat butiran gerimis membahasi pipi dan rambut yang menutupi bagian keningnya."Dania!" ucap lembut Rian diikuti semburat senyuman."I-iya!" Aku masih terperangah seperti tidak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat."Bolehkah aku masuk?" Seketika aku tergeragap. "Iya, masuklah!" ucapku memundurkan beberapa langkah kakiku menjauh dari pintu, memberikan jalan untuk Rian.Sebuah kantong plastik ia letakan di atas meja tamu, setelah melepaskan jaket hitam yang sudah basah kuyup yang ia pakai untuk melindungi diri hujan. Kini tinggal kaos oblong berwarna putih yang sedang ia kenakan. Dada bidang berbentuk kotak-kotak Rian semakin nampak jelas dari kaos yang sedikit basah. Menunjukan body atletis Rian."Aku membawakan kamu martabak manis kesukaanmu!" Ria
Rasanya aku ingin sekali mengabaikan pesan itu. Tapi entah mengapa rasa penasaranku jauh lebih besar. Berkali-kali aku melirik pesan yang Rian kirimkan padaku semalam. Dia memintaku untuk datang ke pesta pernikahannya yang akan ia gelar di puncak."Bagaimana bisa aku datang!" gerutuku kesal, merubah posisi tidurku yang semula tengkurap menjadi terlentang. Menatap pada langit-langit kamar yang didominasi dengan warna putih.Ting!Aku segera menyambar ponsel yang berbunyi di sampingku. Menyetuh lembut pada layar yang menampakan sebuah pesan telah masuk dari nama kontak Rian."Hati-hati di jalan. Dandan secantik mungkin. Karena aku yakin, kamu pasti sangat cantik sekali." Aku mendengus berat. "Sok tau lo, perasanku saja kamu tidak tau. Bagaimana bisa tau jika aku cantik," omelku pada layar ponsel yang masih menyala.Kembali kuletakkan ponsel di atas ranjang. Menikmati sejenak keheningan yang menenangkan. Tenyata, tanpa aku sadari aku sudah melupakan masalahku dengan Mas Adam, meskipun h
Lelaki itu berjalan semakin mendekat ke arahku. Jantungku berdebar semakin kencang. Membawa segelas anggur merah di tangannya, ia melemparkan senyuman hangat yang hampir membuat lolos jantungku karena pesonanya."Maaf Tuan, saya salah ruangan!" ucapku, segera memutar tubuh. Sebuah tangan mencengkal pergelangan tanganku. Seketika tubuhku terasa dingin dan membeku. Perlahan aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah Pak Rayyan."Sa-saya mau menghadiri pernikahan Rian, Pak dan kata petugas resepsionis ada di sini," ucapku terbata, menahan debar jatung yang memburu. "Maaf saya salah!" Aku menggigit bibir bawahku untuk menepis kegugupan.Perlahan lelaki itu melepaskan genggaman tanganku. Menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "Tidak ada pernikahan di sini, Dania," ucapnya lembut.'Apa, tidak ada pernikahan. Apa maksud dari Pak Rayyan.'"Maksud Bapak, apa?" Aku mengeryitkan dahi menatap lekat pada Pak Rayyan."Duduklah!" titahnya.Pak Rayyan mengjentikan tangannya ke udara. Beberap
Aku kembali bisa merasakan jatuh cinta. Cinta yang hangat dan begitu sangat menenangkan. Rayyan benar-benar membuatku kasmaran hingga aku melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi."Sayang, aku sudah menunggumu di bawah!" tulis pesan yang Rayyan kirimkan padaku.Kusapu benda berwarna warni pada pipiku. memalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa riasan naturalku sudah sempurna. Segera kusambar tas yang berada di atas nakas samping ranjang, lalu bergegas turun dari lantai atas. "Maaf aku sudah membuatku menunggu!" ucapku melemparkan senyuman kecil pada Rayyan yang duduk di bangku kemudi. Iya, begitulah lelaki itu memintaku untuk memanggilnya, Rayyan. "Baiklah, tidak masalah, sekalipun menunggu itu adalah sebuah pekerjaan yang menjenuhkan, tetapi jika untuk menunggu kamu aku rela, sekalipun itu seumur hidupku," goda Rayyan menyungingkan senyuman kecil padaku.Aku tersipu malu, aku yakin pasti saat ini wajahku sedang memerah seperti udang rebus. Aku milih diam
POV AUTHORSuara ketukan bolpoin yang terdengar teratur menggambarkan benak Dania yang sedang mengembara. "Tidak, aku yakin Ibu hanya sedang berpura-pura saja. Jika dia tidak menginginkan uangku pasti dia menginginkan agar aku kembali lagi bersama Mas Adam," guman Dania dengan benak menerka-nerka.Dania menutup layar laptop, lalu beranjak bangun dari bangku. Ponsel yang berada di atas meja bergetar dengan layar berkedip. Sesaat Dania menjatuhkan tatapannya pada Layar ponsel. "Rico!" lirih Dania pada panggilan video call yang sedang lelaki itu lakukan pada nomornya.Dania meraih benda pintarnya dari atas meja. Bukan untuk mengangkat telepon Rico melainkan untuk memastikan ponselnya. "Maaf, aku sudah tidak percaya lagi dengan keluargamu, Mas! Semenjak kamu lebih memilih percaya pada ibumu, dan membiarkan mereka memanfaatkanku, aku sudah berhenti mencintaimu," ucap Dania pada layar ponsel yang sudah mati.____Dania masih menatap pantulan dirinya di depan cermin. Mengoleskan lipstik