Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu
"Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar
Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian
"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan Ibu terdengar masuk dalam indra pendengaranku yang sedang ingin mengambil air minum ke dapur. "Bu, aku takut minta uangnya pada, Dania." Jelas saja takut! Baru beberapa hari yang lalu Mas Adam, suamiku itu, memintaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya--dengan alasan untuk membuka usaha baru. Aku tidak bisa menolaknya, kerena aku adalah tipe istri yang sangat patuh pada suami. Toh, kupikir usahanya juga untuk keluarga kami. "Dam, cuma lima juta saja Adam. Masa iya Nia tidak mau kasih?" desis Ibu dengan nada kesal. Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Tapi, aku yakin wanita itu pasti sedang menampilkan ekspresi bersungut-sungut pada Mas Adam. "Dasar! Istri kamu itu memang pelit!" hardik Ibu mertuaku kesal. Aku mendengus berat. Dadaku bergemuruh mengajar amarah. Apa? Ibu bilang aku pelit? Memangnya, siapa yang sudah membayar hutang-hutang ibu pada rentenir? Anak-anaknya? Jangan harap! Aku semua y
Wajah Mas Adam sekarang sudah memerah. "Bagaimana Bisa Nia? Bagaimana bisa mereka menolak naskahmu." Mas Adam mendengus berat. Terlihat kekecewaan yang tergambar pada wajah suamiku. "Ya, karena sekarang banyak sekali penulis Baru, Mas. Karya mereka jauh lebih bagus daripada karyaku," ceritaku dengan nada sedih. Mas Adam menghela nafas panjang, "Nia, untuk kali ini, tolonglah pinjamin dulu uang tabungan kamu untuk Ibu. Nanti, jika usaha Mas sudah maju, pasti Mas akan menggantinya. Bahkan, Mas akan ganti lebih dari itu!" Mas Adam membelai lembut kepalaku yang berbalut kerudung. Ia mengakhiri ucapannya penuh penekanan. Mungkin, supaya aku yakin dengan permintaanya. Cih! Tentu saja tidak. "Tapi, Mas! Aku benar-benar sudah tidak punya--" Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Mas Adam sudah menyela lebih dulu. "Kamu sudah mulai perhitungan sama, Mas?" Mas Adam menyipitkan matanya padaku. Aku mendengus berat. "Bukan begitu Mas, tapi ibu sudah sangat boros sekali. Dia tidak hanya
Hampir saja aku menjatuhkan baki yang berisi kopi untuk Mas Adam. Jantungku hampir merosot karena terkejut melihat ponselku sudah berada di tangan Mas Adam. Apalagi saat ini ia menanyakan tentang kantor yang baru saja selesai aku bangun sebagai rumah keduaku. "Oh, itu kantornya Nadia. Itu wa dari Nadia, kan?" ucapku meletakan kopi yang masih panas di atas nakas. Aku yakin, Mas Adam sedang membaca pesan dari Nadia. Sorot mata Mas Adam masih menatap pada deretan aksara yang berada ponsel di tangannya. "Memangnya Nadia bisnis apa sampai bisa buka kantor segala?" Kini Mas Adam menatap kepadaku seraya mengernyitkan dahi, tatapannya penuh curiga. Aku mengendikkan bahu. "Aku mana tahu, dia hanya memintaku untuk datang, itu saja!" balasku berusah untuk bersikap santai. Mas Adam sepertinya tidak percaya dengan perkataanku. Beberapa saat ia menatapku begitu intens. "Baiklah, besok aku ikut ke acara itu!" Deg! Jantungku seperti merosot dari tempatnya. Bagaimana bisa aku mengajak Mas Adam b
"Hey ... Rian. Kamu kan penulis novel cinta di ujung sajadah itu, kan?" Aku sedikit bernafas lega saat Nadia tiba-tiba muncul dan menarik pergelangan tangan lelaki bernama Rian hingga membuat jarak diantara kami sedikit menjauh. "Mbak Nadia!" Lelaki itu melemparkan senyuman pada Nadia. "Anda di sini juga?" imbuhnya dengan wajah terkejut. "Anda juga ikut menerbitkan buku di sini?" beo Rian, tergambar keterkejutan pada wajah lelaki itu. Tanpa sepengetahuan Mas Adam, aku menginjak ujung kaki Nadia yang berdiri di sampingku. Agar dia segera melakukan aksinya. "Eh, salah!" celetuk Nadia tergeragap dan sedikit melonjak. "Bukan, bukan begitu!" Nadia menggoyangkan kedua tangannya di depan dada. "Inikan perusahaan aku, jadi aku yang memilki perusahaan ini. Jadi, mana mungkin aku menerbitkan buku di sini," cerocos Nadia. "Tapi di undangan itu ...!" Belum sempat Rian menyelesaikan ucapannya. Nadia sudah lebih dulu menarik pergelangan tangan lelaki muda itu untuk pergi. Aku menghela nafas
Aku membisu dengan lidah kelu. Membiarkan lelaki yang menatapku nyalang itu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara kucuran air yang jatuh menyirami lantai kamar mandi. Pasti saat ini Mas Adam sedang menenggelamkan tubuhnya di bawah derasnya air. "Percuma aku mengharapkan perhatian Mas Adam!" decihku dalam hati menertawai diriku sendiri. Kuseret langkah kakiku mendekati ranjang. Lalu menjatuhkan tubuhku yang terasa lunglai pada tepi ranjang berukuran king size yang berada di dalam kamarku. "Perpisahan itu bukanlah sesuatu yang mudah. Menyandang status janda yang selalu menjadi buah bibir masyarakat. Apalagi masalalu buruk keluargaku yang terlahir dari keluarga broken home. Entahlah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana olokan mereka padaku jika aku benar-benar melangkah sejauh itu. Dengan aku yang sulit memiliki keturunan saja, ucapan-ucapan mereka sudah cukup mengucang kejiwaanku. Apalagi sebuah perpisahan." ***** "Apa, ibu mertuamu minta uang la