Steve Hart bergegas kembali ke kediaman keluarga Cattegirn, khawatir Callista bakal membuka mulut dan melapor pada Agatha tentang apa yang baru saja terjadi.
Begitu tiba di rumah, ia mendapati Agatha tengah menikmati sarapan di ruang tamu.
“Wajahmu kenapa?” tanya Agatha sambil menatap lebam di pipi Steve.
“Oh, cuma jatuh pas jogging pagi,” jawab Steve santai.
Agatha hanya mengangguk, dan itu malah bikin Steve curiga—apakah Callista belum sempat bicara apa-apa?
“Ada apa?” tanya Agatha lagi, menangkap gelagat aneh dari sikap Steve.
“Ah, nggak… kamu lihat Callista nggak?”
“Callista? Memangnya dia ke sini? Aku nggak lihat,” jawab Agatha sambil menoleh ke sekeliling.
Steve menghela napas lega. Berarti Callista kemungkinan besar langsung kabur setelah mengambil mobilnya.
“Huft… kadang harga diri juga bisa jadi penyelamat,” gumam Steve pelan.
Ia paham kenapa Callista memilih bungkam—karena perempuan itu pasti nggak mau orang tahu kalau dirinya, pewaris keluarga Cattegirn, baru saja dipermalukan oleh orang sekelas Steve Hart dalam permainan yang dia buat sendiri.
“Entahlah, aku harusnya bersyukur atau kesal,” gumam Steve lagi. Ia tahu, di mata Callista, dirinya tetaplah ‘nobody’.
“Hey, bengong aja kenapa?” Agatha menatapnya heran dari ruang tamu.
“Oh, maaf… aku beresin rumah dulu deh,” jawab Steve buru-buru.
“Enggak. Hari ini kamu nggak usah beresin apa-apa. Aku mau kamu anter aku jalan,” kata Agatha santai.
“Jalan? Maksudmu, jadi supir pribadi gitu?” Steve menaikkan sebelah alis.
Agatha sempat diam sejenak lalu menjawab, “Kira-kira begitu.”
Steve hanya mengangguk. Permintaan dari Agatha artinya perintah—nggak ada ruang buat menolak.
Setelah bersiap di kamarnya, ia dipanggil oleh Agatha. Wanita itu menyerahkan kunci mobil, lalu mereka berangkat.
“Ke pusat kota, mall Avebury. Aku mau beli sesuatu,” ucap Agatha di perjalanan.
Steve hanya mengangguk dan memutar setir menuju lokasi. Tak banyak obrolan setelah itu, suasana mobil kembali tenang seperti biasa.
Dulu, sikap dingin Agatha tak pernah mengganggu Steve. Tapi sejak tadi malam—setelah ia mulai menebak perasaan sebenarnya di balik tatapan Agatha—semuanya berubah.
“Berhenti mikir yang nggak penting,” gumam Steve, mencoba mengusir bayangan-bayangan aneh di kepalanya.
Tak lama, mobil mereka berhenti di depan mall terbesar di kota itu.
“Silakan, Nona Agatha,” ujar Steve sopan sambil membukakan pintu.
Agatha mengangguk dan hendak melangkah keluar, tapi kemudian berbalik melihat Steve yang masih berdiri diam.
“Kenapa bengong lagi?” tanyanya datar.
Steve tampak bingung, membuat Agatha kesal. Ia langsung menarik tangan Steve masuk bersamanya.
Steve nyaris kehilangan keseimbangan, tapi tetap mengikuti langkah Agatha. Ini pertama kalinya ia diajak masuk. Biasanya, dia cuma menunggu di parkiran.
“Jangan salah paham. Aku cuma butuh kamu bantu bawa belanjaanku nanti,” jelas Agatha tanpa menoleh.
“Oh, gitu…” jawab Steve, entah kenapa merasa sedikit kecewa.
Agatha langsung menuju toko perhiasan begitu masuk ke mall. Para staf toko menyambutnya dengan senyum ramah penuh penghormatan.
“Nona Agatha, kali ini Anda ingin mencari perhiasan seperti apa?” tanya salah satu pegawai dengan nada sopan.
“Aku lihat-lihat dulu. Kalau ada yang menarik, aku panggil,” jawab Agatha.
“Tentu, Nona Agatha,” jawab pegawai itu, tapi pandangannya sempat menilai Steve dari ujung kaki sampai kepala—tatapan sinis yang jelas bisa dirasakan.
“Apa-apaan tatapan itu? Dia tahu nggak kalau Agatha udah menikah? Kenapa masih panggil ‘Nona’ segala?” gumam Steve pelan, menahan kesal.
Agatha cukup lama memilih, tapi tak satu pun perhiasan menarik perhatiannya.
“Maaf, tidak ada koleksi lain selain ini?” tanya Agatha.
“Kalau Nona Agatha ingin yang lebih eksklusif, saya bisa mintakan dari gudang khusus,” jawab pegawai itu lalu menghilang sebentar.
Tak lama kemudian, pegawai itu kembali bersama seorang pria muda yang membawa kotak kaca besar berisi kalung berlian mewah.
“Nona Agatha, lama tak berjumpa. Senang sekali Anda datang lagi,” sapa pria itu dengan ramah, jelas sudah mengenal Agatha sebelumnya.
Agatha hanya menanggapi singkat. Matanya terpaku pada kalung berlian dalam kotak kaca itu.
“Berapa harganya?” tanya Agatha, matanya berbinar.
Pria itu—yang rupanya manajer toko—tertawa kecil. “Haha, selera Nona memang tajam. Sayangnya, ini bukan untuk dijual. Barang ini rencananya akan dilelang.”
Ekspresi Agatha langsung berubah kecewa. “Jadi aku nggak bisa beli?”
“Kalau Nona Agatha yang minta, saya akan coba atur,” kata si manajer cepat-cepat. Ia jelas tak ingin membuat pelanggan pentingnya kecewa.
“Kalau gitu, berapa?” tanya Agatha lagi.
“Hm… sekitar satu juta dolar mungkin?” jawabnya ringan, seolah menyebut angka kecil.
Wajah Agatha langsung memucat. Bahkan saldo di kartunya nggak sampai separuh dari harga itu.
“Ada masalah, Nona?” tanya manajer itu.
“Tidak, hanya… bolehkah aku bayar sebagian dulu?” tanya Agatha dengan harapan, berniat memberikan uang $300,000 yang ia miliki untuk menahan kalung itu.
[Ding!]
[Misi muncul: Penuhi keinginan Agatha dan buat dia bahagia.]
‘Bahkan kalau kau nggak minta pun, aku akan melakukannya,’ gumam Steve pelan sambil menatap notifikasi sistem yang muncul di depannya.
Olivia Cattegirn terus memaksakan pendapatnya bahwa Steve Hart harus segera diusir dari rumah, dia berencana membuat seluruh anggota keluarga setuju dengan gagasannya.“Saudara Olivia, bukankah mengusir orang yang sudah membantu kita agak… gimana gitu?” Phillip Cattegirn sedikit menentang usulan Olivia, dia merasa keluarganya tak se-ingkar itu sampai harus melakukan hal itu.“Phillip, kalau begitu kamu ada saran lain yang lebih baik dari milikku?” tanya Olivia.Phillip terdiam sejenak, kemudian mengeluarkan pendapatnya, “Kenapa kita nggak tanya dulu kenapa dia pura-pura selama ini? Kalau memang dia orang yang punya status tinggi, bukankah lebih baik untuk keluarga kita kalau tetap kita pertahankan dia?”Beberapa anggota keluarga Cattegirn setuju dengan apa yang dikatakan Phillip. Mereka merasa lebih baik punya Steve Hart sebagai menantu daripada menjadikannya musuh.Menurut mereka, Steve Hart terlalu berbahaya jika punya dendam pada mereka. Apalagi, Steve Hart adalah orang yang bahkan
Setiap anggota keluarga Cattegirn menatap Steve Hart dengan penasaran, ingin tahu apa yang akan dikatakannya sampai berani mengabaikan ucapan Jason.“Sejujurnya, aku sudah dengar percakapan kalian….”Semua anggota keluarga langsung angkat alis, penasaran dengan apa yang dipikirkan Steve.Berbeda dengan keluarganya, Agatha lain. Dia menatap Steve dengan rasa bersalah, merasa tidak enak Steve harus mendengar semua itu meski Steve sudah melakukan banyak hal untuknya dan keluarganya.“Bagus kalau kamu dengar, bakal lebih gampang,” kata Jason tanpa rasa bersalah.Olivia mengangguk puas, senang suaminya langsung ke inti masalah, tujuannya cuma satu: melihat Steve keluar dari rumahnya.Mendengar ucapan Jason dan dukungan keluarga terhadapnya, Steve sadar benar bahwa keluarga istrinya memang tak ingin dia tinggal di sini.Namun, Steve Hart tetap memutuskan untuk mencoba membersihkan kesalahpahaman, meski penjelasannya mungkin tidak akan didengar oleh keluarga besar istrinya.“Aku cuma ingin b
Steve Hart berusaha tetap tenang saat setiap anggota keluarga istrinya terkejut dengan kedatangan Derek. Steve lebih memilih meneliti file yang dibawa Derek, sengaja begitu untuk membuat semua orang penasaran.Beneran, Jason, Olivia, dan semua anggota keluarga Cattegirn langsung penasaran melihat file yang dipegang Steve. Mereka melihat Derek sendiri yang membawa file itu, jelas ini bukan sembarang dokumen.Jason Cattegirn, yang tak tahan rasa ingin tahunya, akhirnya bertanya, “Tuan Derek, boleh tahu file apa yang Anda kasih ke menantu saya?”Derek Mitchell cuma menatap Jason sebentar, lalu menoleh ke arah lain, tak tertarik menjawab kecuali Steve yang memintanya.Menyadari Derek mengabaikan Jason, Steve langsung ambil inisiatif jelasin isi file itu, “Ayah, file ini-”“Siapa yang kasih izin bicara? Aku nggak nanya ke kamu, menantu tak guna!” Jason memotong, tak mau dengar apapun dari Steve.“Suamimu benar, lebih baik diam! Jangan sok berani ngomong kalau nggak diminta!” Olivia langsun
Steve Hart berusaha tetap tenang saat setiap anggota keluarga istrinya terkejut dengan kedatangan Derek. Steve lebih memilih meneliti file yang dibawa Derek, ia sengaja begitu untuk membuat setiap anggota keluarga istrinya penasaran.Memang benar, Jason, Olivia, dan seluruh anggota keluarga Cattegirn langsung penasaran melihat file yang dipegang Steve. Mereka melihat sendiri Derek yang membawa file itu, membuat mereka yakin itu bukan file biasa.Jason Cattegirn, yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya, akhirnya bertanya, “Tuan Derek, boleh saya tahu file apa yang Anda berikan pada menantu saya?”Derek Mitchell hanya menatap Jason sebentar, lalu menoleh lagi, tak tertarik menjawab pertanyaan Jason kecuali Steve yang memintanya.Menyadari Derek mengabaikan kata-kata Jason, Steve Hart mengambil inisiatif menjelaskan isi file itu, “Ayah, file ini-”“Siapa yang memberi izinmu bicara? Aku tidak menanyakan padamu, menantu tak guna!” Jason memotong pembicaraan Steve, ia tak mau sedikitpun me
Setelah menghina Steve Hart, Olivia Cattegirn, ibu mertua Steve, menarik tangan Steve ke suatu tempat.Steve hanya mengikuti kemana Olivia menariknya, sebelum melihat Agatha beserta seorang pria berusia sekitar 60 tahun duduk bersama di meja makan.Agatha Cattegirn terkejut mengetahui Steve Hart sudah kembali. Ia menyesal, dari sekian banyak kesempatan, kenapa Steve Hart malah pulang ketika suasana rumahnya begitu penuh dengan keluarga.Agatha khawatir Steve Hart akan menerima banyak hinaan di sana. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.Jason Cattegirn, pria yang duduk di samping Agatha, menatap Steve Hart dengan tajam, penuh otoritas.Steve Hart hanya membungkuk di depan Jason, pria yang adalah ayah mertuanya, yang selalu tidak suka orang menatap matanya.“Aku dengar dari istriku, kamu sering keluar akhir-akhir ini?” Jason bertanya dingin.“Aku keluar karena ada urusan, Ayah,” Steve Hart mencoba menjelaskan.Jason Cattegirn menatap Steve dengan wajah tak senang, “Urusan apa yang bisa d
Setelah urusannya dengan Foster Construction selesai, Steve memutuskan kembali ke rumah untuk memberitahu kabar baik pada warga lingkungan.Mereka menyambut berita yang dibawa Steve dengan penuh rasa syukur, bahkan mereka berterima kasih karena Steve bersedia membantu hingga masalah di lingkungan mereka selesai total.Bagi mereka, Steve adalah pahlawan. Banyak warga setempat datang ke rumah Steve untuk mengucapkan terima kasih dan memberi hadiah.Beberapa bahkan datang membawa uang sebagai tanda terima kasih, yang tentu saja tidak banyak mengingat sebagian besar mereka hidup pas-pasan. Namun, Steve tegas menolak semua hadiah karena ia tahu uang itu jauh lebih dibutuhkan oleh mereka.Steve paham, masyarakat sekitar hidup jauh dari kata kaya. Maka dari itu, Steve hanya mau menerima ucapan terima kasih, bukan hadiah mereka.Pagi itu, Steve sudah berdandan rapi, bersiap untuk pergi. Ia sudah beberapa hari tinggal di rumah ibunya, dan harus segera kembali ke rumah keluarga istrinya.“Anakk