LOGINDi tengah pertengkaran antara Callista dan Eric, Steve Hart berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang masih ada.
Gerakannya langsung menarik perhatian Callista. Perempuan itu segera memberi tahu Eric, yang saat itu masih sibuk menjelaskan bagaimana uangnya bisa membuat mereka lolos dari jeratan hukum.
“Menurutmu, punya uang berarti bisa melakukan apa pun, ya?” suara Steve terdengar serak tapi tajam.
Eric Daran sempat terdiam, tapi wajah kagetnya segera berubah menjadi senyum sinis.
“Tepat sekali. Karena itu, sampah sepertimu sebaiknya tahu diri dan jangan cari masalah denganku.”
Steve Hart membalas dengan senyum miring yang membuat Callista dan Eric sama-sama terpaku.
“Kau gila?” tanya Callista Cattegirn dengan nada jijik.
“Kalau iya, kenapa? Lagipula, kewarasanku sudah lama hilang—sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di keluarga busuk Cattegirn-mu itu,” balas Steve, bahkan dirinya pun tak tahu dari mana keberanian itu muncul.
Wajah Callista langsung berubah masam. “Eric, lakukan sesuatu. Habisi dia! Atau cacatkan sekalian, aku tak peduli lagi soal konsekuensinya.”
Eric Daran mengangguk pelan, senyum bengis terlukis di wajahnya. Inilah yang ingin ia lakukan sejak awal, sebelum Callista mengintervensi.
“Sampah, ada kata terakhir sebelum kau mati?” tanya Eric sambil melangkah maju.
“Harusnya aku yang nanya itu,” balas Steve datar.
“Dia bahkan belum sadar posisinya,” dengus Eric kesal.
Steve tahu dirinya takkan mampu melawan Eric dalam kondisi sekarang, dan justru itu membuat tekadnya bulat untuk mengubah segalanya.
“Hey, kalian.”
Lima pria berbadan besar yang tadi menghajarnya menoleh.
“Berapa kalian dibayar buat semua ini?” tanya Steve tenang.
Mereka saling pandang, bingung dengan arah pertanyaannya. Begitu pula Callista dan Eric, sama-sama penasaran.
“Bagaimana kalau aku bayar dua kali lipat dari yang kalian terima—asal sekarang kalian balik hajar dia,” lanjut Steve sambil menunjuk Eric.
Kelima pria itu saling menaikkan alis, jelas tergoda.
“Omong kosong! Sampah sepertimu mana punya uang segitu!” teriak Eric Daran.
Steve tak menanggapi, ia hanya menatap kelima pria itu mantap.
“Lima ratus ribu dolar. Cukup buat kalian berpaling?” ujarnya datar, tanpa ragu sedikit pun.
Eric mendecak muak. Ia lelah mendengar ocehan omong kosong dari pria yang separuh tubuhnya sudah babak belur itu. Ia mengayunkan tinju untuk membungkam Steve—
Namun sebelum sempat kena, salah satu dari kelima pria itu menahan pukulan tersebut dan malah mendorong Eric sampai terjatuh.
“Kalian... apa yang kalian pikirkan?!” Eric teriak marah.
Kelima pria itu kini berdiri di depan Steve, membentuk barisan pelindung.
“Gila! Kalian benar-benar percaya omongan sampah itu bisa bayar?!” Eric tak percaya.
“Itu urusan kami. Siapa kau sampai bisa atur-atur kami?”
“Aku yang bayar kalian, dasar brengsek!” Eric meraung.
Kelima pria itu malah tertawa keras. Salah satu dari mereka menukas, “Kau kasih kami dua puluh lima ribu. Sedangkan dia nawarin lima ratus ribu. Menurutmu, kami bodoh?”
Eric tahu betul Steve Hart tak punya uang sebanyak itu, tapi entah kenapa rasa panik mulai menyergap.
“Lakukan saja! Nanti kalian menyesal sudah tertipu olehnya!”
Steve menghela napas panjang. Ironis—orang yang selalu membanggakan uangnya kini justru terpojok karenanya.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan, bos?” tanya salah satu dari lima pria itu.
“Buat dia lebih menderita daripada aku,” jawab Steve dingin.
“Tapi... kau benar-benar punya uangnya, kan?”
“Lakukan saja. Kalau aku tak bayar, terserah kalian mau apakan aku.”
Tanpa banyak bicara lagi, kelimanya langsung mengurung Eric, posisi yang sama persis seperti saat mereka dulu menghajar Steve.
“Sialan! Aku, Eric Daran, takkan biarkan ini!”
“Diam. Dan gigit gigi itu.”
Tinju-tinju keras segera mendarat bertubi-tubi. Eric meraung, tubuhnya membentur dinding, terseret, lalu tersungkur.
Steve hanya menatap datar, matanya kosong tanpa emosi. Dalam hatinya, ia menikmati setiap detik penderitaan Eric—rasa puas yang selama ini ia tunggu.
“Bos, cukup?” tanya salah satu dari mereka.
Eric sudah tergeletak lemas, nyaris tak mampu bangkit.
“Sampah... kau akan menyesal...” erang Eric pelan.
Steve menaikkan sebelah alis. Ia sebenarnya sudah mau menghentikan semuanya, tapi ucapan Eric membuatnya berubah pikiran.
“Urus mulutnya. Aku tak ingin dengar ocehan bodohnya lagi.”
“Baik, bos.”
Tinju kembali menghujam. Gigi Eric mulai berjatuhan satu per satu, darah mengucur dari mulutnya.
“Cukup... ampun,” ucap Eric akhirnya, separuh sadar.
Steve mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti. Meski dendam, dia tetap tahu batasnya.
“Ada perintah lain, bos?” tanya mereka.
Steve diam sejenak, matanya beralih pada Callista yang berdiri terpaku dengan wajah pucat.
“Kau... jangan macam-macam denganku!” Callista berteriak panik.
“Aku hanya mengikuti permainanmu. Salah?” jawab Steve tenang.
“Bajingan, tunggu saja kau—”
Callista langsung berbalik dan kabur menuju kediaman Cattegirn. Ia tahu, jika tetap di sana, nasibnya mungkin tak akan seberuntung Eric.
“Perlu kami kejar?” tanya salah satu pria besar.
“Tak perlu. Masih ada waktu lain.”
Steve kemudian mengambil ponselnya dan mentransfer uang yang ia janjikan. Kelima pria itu mengecek dan tersenyum puas—ternyata Steve benar-benar menepati ucapannya.
[Misi selesai. Dana yang digunakan Host untuk keperluan misi: $500,000. Sebagai hadiah, Host akan menerima dua kali lipat jumlah tersebut.]
Kedatangan Steve yang mendadak sukses bikin seluruh rumah kaget. Ruang tamu memang ramai, kebanyakan keluarga Cattegirn, tapi ada beberapa wajah asing yang bahkan Steve nggak kenal.“Aku ngganggu acara kalian?” tanya Steve Hart, suaranya dingin menusuk telinga siapa pun yang dengar.Pertanyaan Steve jelas nggak disukai orang-orang di sana; salah satu dari mereka bahkan mendekat sambil pasang muka marah.Olivia Cattegirn, ibu mertuanya Steve, langsung menghampiri dan menarik Steve menjauh dari ruang tamu.“Apa lagi niat busukmu datang ke sini?!” bentak Olivia keras, sambil menepis tangan Steve.Steve mengangkat alis. Dia ingat jelas, baru beberapa hari lalu ibu mertuanya ini sampai gemetaran ketakutan setiap berhadapan dengannya. Tapi sekarang? Hilang sudah. Olivia kembali bersikap semena-mena seperti dulu.Steve nggak ambil pusing soal perubahan sikap itu. Dia sudah tahu penyebabnya.“Calon suami pilihan keluarga kalian kali ini punya pengaruh sebesar itu di Avebury sampai kamu berani
Di halaman mewah kediaman keluarga Cattegirn, Steve melihat tempat itu ramai dipenuhi tamu undangan. Semua tampak kaget melihat kehadirannya, seolah dia adalah orang terakhir yang mereka harapkan muncul."Apa dia ngapain ke sini? Bukannya dia udah diusir?""Mungkin dia mau beresin urusan cerai sama Agatha. Biarkan aja, nggak usah dilirik."Obrolan orang-orang di sekitar terdengar jelas di telinga Steve, yang langsung bikin emosinya naik.Steve tahu persis kenapa rumah keluarga istrinya ini penuh tamu. Brandon sudah bilang—keluarga Cattegirn diam-diam mau nikahin Agatha sama pria lain di belakangnya."Agatha bahkan belum cerai dari gue, tapi kalian udah sibuk ambil keputusan sendiri," gumam Steve Hart dingin.Dia benar-benar mempertanyakan apa keluarga Cattegirn pikirkan tentang dirinya. Betapa rendahnya dia dianggap sampai keberadaannya saja seperti nggak dihitung.Wajar Steve berpikir begitu, karena perjodohan ini bukan perjodohan biasa. Ini tunangan besar-besaran. Pantas saja mansio
Harus menahan rentetan pukulan dari Steve Hart, Howard yang biasanya bikin orang takut dan tunduk, sekarang malah mulai ragu sama dirinya sendiri.Harga dirinya hancur lebur. Kepercayaan dirinya runtuh, keberaniannya ikut lenyap. Berhadapan dengan Steve Hart yang berdiri tegak di depannya, Howard baru sadar betapa besar rasa takutnya—sampai-sampai dia nggak berdaya melawan hantaman Steve.“T-Tunggu, tolong… berhenti mukulin gue,” pinta Howard lirih, menatap Steve Hart. Tapi Steve jelas nggak tertarik berhenti.“Kenapa gue harus nurutin lo?” balas Steve dingin.Howard menggertakkan gigi, nahan perih dan malu, lalu meledak, “Cukup, dasar sinting!”Teriakan Howard sempat bikin Steve kaget sepersekian detik. Melihat celah itu, Howard langsung nekat kabur dari pegangan Steve dan lari secepat mungkin.Steve cuma berdiri memandangi Howard yang kabur. Dia nggak ada niat ngejar—buatnya itu cuma buang-buang waktu.“Dasar pengecut,” gumam Steve Hart. Heran gimana caranya cowok kayak Howard bisa
Begitu mendengar ucapan kurang ajar dari mulut Steve Hart, Howard Harris langsung maju menyerang.Howard mengayunkan pukulan sekuat tenaga, niatnya jelas—jatuhkan Steve dalam satu gebrakan.“Brengsek, lu tau gue siapa?!” Howard membentak sambil menghantamkan tinjunya.Pukulan itu dengan mudah dihindari Steve Hart. Gerakannya enteng, seolah dia cuma geser sedikit tanpa usaha berarti.Howard nggak nyerah. Begitu pukulan pertama meleset, dia langsung mengayunkan tinju kedua, kali ini mengarah ke perut Steve.Steve mundur selangkah ringan sebelum pukulan itu menyentuh tubuhnya—lagi-lagi sukses bikin Howard nyaris jatuh sendiri.“Lumayan juga,” gumam Howard Harris.Steve menyeringai, “Lumayan karena pukulanmu lemah. Nggak ada yang bisa dibanggakan.”Howard melotot tajam. Dia yakin Steve pasti belum tau siapa dirinya sampai berani ngomong begitu.Kalau Steve benar-benar tau reputasinya, nggak mungkin dia berani ngegas begini.“Hey, lu tau gue siapa? Gue Howard Harris. Anggota geng Black Tig
Steve Hart keluar dari rumah sakit dengan senyum lebar, sama sekali tidak menyangka rencananya membuat Daniel menyesal bisa berjalan semulus itu. Semua terjadi persis seperti yang ia harapkan.Uang 10 miliar dolar yang kini ada di tangannya adalah bukti keberhasilannya—cukup untuk membuat Steve makin semangat melangkah menuju masa depan yang lebih terang.Namun keberhasilannya membuat Daniel sadar diri belum cukup memuaskan Steve. Ada satu hal lagi yang harus ia lakukan: mendapatkan jawaban dari keluarga Cattegirn soal tawarannya.Setelah beberapa hari berlalu, Steve merasa ini waktu yang tepat untuk meminta keputusan dari keluarga mertuanya. Ia pun menginjak gas menuju rumah utama keluarga Cattegirn.Steve datang dengan harapan tinggi kalau tawarannya diterima—karena semuanya ia lakukan demi kebahagiaan Agatha, istrinya.Di perjalanan menuju rumah keluarga Agatha, Steve melihat seorang gadis yang tampak familiar.Lokasinya tidak jauh dari rumah utama keluarga Cattegirn, jadi Steve la
Begitu telepon dari sekretarisnya terputus, Ryan Taylor langsung jatuh ke jurang keputusasaan. Semua saham perusahaannya lenyap seketika.Daniel tentu menyadarinya. Sejak Steve Hart datang, dia tak berani buka suara, tapi akhirnya memberanikan diri, “Ayah… ada sesuatu yang buruk terjadi pada keluarga kita?”Ryan diam. Dia berniat menutupi semuanya dari putranya, setidaknya untuk sementara. Daniel sudah terlihat kacau, dia tak ingin menambah bebannya.Namun Daniel jelas tak puas diabaikan seperti itu. Ia bertanya lagi, “Ayah, sebenarnya ada apa?”“Tidak ada, Daniel. Fokus saja sembuh dulu,” kata Ryan mencoba menenangkan.Steve Hart menyaksikan adegan itu dengan senyum mengejek. Jujur saja, dia lumayan kagum melihat Ryan masih berusaha menutupi semuanya meski kondisinya seberantakan ini.Tentu saja Steve, yang menjadi dalang seluruh kekacauan, tidak akan membiarkan Ryan berhasil menutupinya.“Ada apa? Apa sampai terjadi sesuatu sama sumber uang yang selalu kamu bangga-banggakan itu?” ta







