Share

Aku Bukan Pelakor
Aku Bukan Pelakor
Penulis: List

Chapter 1

"Mas, aku hamil."

Kata yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah sekian lama berpikir akan memberitahu tentang kabar bahagia ini kepada pria yang aku cintai atau tidak. 

"Apa kamu bilang, Dara. Kamu hamil?" ucap Mas Tio dengan mata terbelalak. 

"Iya, Mas. Aku hamil buah cinta kita," jelasku sambil melangkah menuju tempat di mana pria yang bergelar kekasihku ini duduk. 

"Tapi bagaimana bisa, Dara? Bukankah mas sudah memintamu untuk KB? Mengapa kamu masih juga bisa hamil!"

Rasanya bak di sambar petir ketika Mas Tio mengatakan hal itu. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu kepadaku?

"Mas Tio!" bentakku tidak terima disalahkan. 

"Jangan membentakku, Dara! Mas 'kan sudah bilang kepadamu agar tidak hamil dulu, tapi mengapa kamu masih saja hamil!"

Aku yang tidak menyangka dengan reaksi Mas Tio, hanya bisa terduduk lemas. Karena bukan reaksi ini yang aku harapkan dari Mas Tio. 

Aku kira Mas Tio akan bahagia mendengar berita aku sedang mengandung buah cinta kami, tapi nyatanya tidak. 

Mas Tio malah menyalahkanku, dan lebih buruknya lagi dia mengatakan bahwa dia tidak menginginkan anak kami dan memintaku untuk menggugurkannya. 

"Apapun yang terjadi aku tidak akan menggugurkan bayi ini, Mas. Mau mas suka atau tidak, aku akan tetap mempertahankannya," ucapku sambil terisak dan menahan sesak di dada. 

"Dengar, Dara. Bukannya mas tidak menginginkan anak kita, tapi kamu tahu sendiri 'kan mas ini siapa? Mas tidak mungkin bisa menikahimu, Sayang. Apa kata istri mas nanti!"

"Kenapa kita tidak bisa menikah, Mas? Bukankah mas bilang mencintaku dan tidak mencintai istri mas lagi dan rumah tangga mas juga sudah hancur?"Mas Tio yang awalnya terlihat marah dan menjauh dariku, kini menghampiriku dan memegang tanganku. 

"Dengar, Sayang. Ini tidak semudah yang kamu pikirkan. Memang benar mas sudah tidak mencintai Ratih lagi, tapi mas tidak bisa menceraikannya."

"Mas!" bentakku, "Aku tidak meminta mas untuk menceraikan istri mas, tapi aku meminta mas untuk menikahiku!" tegasku sambil menarik tanganku dari genggaman Mas Tio. 

"Itu sama saja, Sayang. Bukankah untuk menikahimu mas harus meminta persetujuan istri pertama mas dulu."

"Sekarang terserah, Mas. Kalau mas masih menginginkan aku, maka nikahi aku. Kalau tidak, lebih baik kita berpisah saja!" tekanku, kemudian melangkah pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya. 

"Dara, dengarkan mas dulu!" teriak Mas Tio dari balik pintu. 

Aku yang masih marah dengan mas Tio karena dia tidak mau menikahiku hanya membiarkan pria itu berteriak. Karena bila aku terus meladeni pria itu, maka dia pasti tidak akan menikahiku. 

Aku tahu aku salah karena tidak seharusnya aku hamil seperti apa yang dikatakan Mas Tio, tapi aku juga tidak bisa menolak kehendak Tuhan. 

Lagi pula ini adalah buah cinta kami, dan aku tidak ingin mengugurkannya. Walaupun anak ini berasal dari hubungan yang salah antara aku dan Mas Tio, tapi aku tetap akan mempertahankannya. 

***

Satu minggu setelah aku memberitahu Mas Tio tentang kabar kehamilanku. Mas Tio tidak datang lagi ke rumah untuk mengunjungiku seperti biasanya. 

Tapi walaupun begitu dia masih mengirimiku pesan atau mencoba meneleponku, tapi aku tidak membalas atau mengangkatnya. 

"Andai saja reaksimu tidak begitu setelah aku hamil, Mas. Pasti aku akan sangat bahagia," ucapku sambil mengusap perutku dan memandangi ponselku. 

Hal itu aku lakukan karena aku masih marah pada Mas Tio karena tidak mau menikahiku. Biasanya bila dengan ngambek seperti sekarang ini, Mas Tio akan mati-matian merayuku agar aku tidak marah lagi kepadanya. 

Siang ini aku berencana akan menemui dokter kandungan untuk memeriksakan kandunganku. Walaupun aku harus pergi sendiri, hal itu tidak menjadi masalah untukku. Karena mempertahankan bayiku adalah keinginan terbesarku, walau ayah dari bayiku ini menolaknya. 

"Sabar ya, Sayang. Mau ayahmu mengakuimu atau tidak, ibu pasti akan selalu menjagamu dan selalu bersamamu," ucapku berbicara dengan si kecil yang ada di dalam perutku. 

Pagi ini setelah sarapan, aku berencana untuk ke taman terlebih dahulu untuk berolahraga dan menghirup udara segar. 

Tapi ketika aku sampai di taman dan baru saja keluar dari mobil, aku langsung mengurungkan niatku. Karena ternyata putri dari ayah bayiku ada di taman itu bersama dengan ibunya, atau lebih tepatnnya istri Mas Tio. 

"Andara? Kamu Andara 'kan?" tegur seorang pria.

"Maaf, kamu ini siapa?"

Melihat pria yang berdiri di hadapanku, aku berusaha mengingat-ingat siapa dan di mana aku pernah bertemu dengan pria yang menegurku saat ini. Tapi sayangnya pikiranku buntu dan aku tidak ingat apapun tentang pria itu. 

"Aku Anton, Dara. Apa kamu masih ingat?"

"Anton?" jawabku sambil berusaha mengingat apakah aku pernah mengenal pria yang bernama Anton apa tidak. Tapi sekeras apapun aku mengingatnya, aku tidak mengingat memiliki teman dengan nama itu atau mungkin saja aku yang memang lupa, "Anton, siapa? Maaf, Anton. Aku tidak ingat sama sekali siapa kamu," imbuhku. 

"Tentu saja kamu tidak akan mengingatku, Dara. Karena kita sudah lama tidak bertemu. Tapi apa kamu ingat dengan nama Antonius Pale?"

Antonius Pale? Sebuah nama yang sangat aku kenal. Tapi bagaimana pria di depanku ini tahu nama itu, apakah dia? 

"Antonius Pale? Iya, aku ingat. Dia teman SMP aku dulu, tapi bagaimana bisa kamu mengenalnya?" jawabku, dan pria yang ada di hadapanku ini mengangguk.

"Jadi sekarang kamu sudah ingat siapa aku, Dara?" tanya pria itu sambil tersenyum dan menatapku. 

Melihat dia tersenyum dan cara dia menatapku, aku awalnya risih. Tapi setelah aku perhatikan baik-baik, aku jadi ingat siapa yang biasa menatapku dengan tatapan seperti saat ini. 

"Jangan bilang kamu ...?" jawabku sambil menatap pria di hadapanku itu dari atas ke bawah dan dia mengangguk, "Ini tidak mungkin, bukannya dia—," lanjutku. 

"Dulu dia jelek, hitam dan dekil. Bahkan bisa di bilang tidak menarik. Bukan begitu yang ingin kamu katakan, Dara? Sedangkan pria yang berdiri di hadapanmu saat ini sangat tampan. Berbeda sekali dengan temammu itu," sela Anton. 

Setelah mengatakan hal itu tawa Anton langsung pecah dan itu membuatku binggung sekaligus kesal. Tapi tak berapa lama seorang wanita menghampiri kami berdua, dan membuat pandangan kami teralihkan. 

"Siapa dia, Sayang. Apa kamu mengenalnya?" tanya wanita yang baru saja datang. 

"Dia sahabatku Dara, Mila." jelas Anton kepada wanita yang ada di sampingnya, "Dara, perkenalkan ini Mila, pacarku."

Wanita yang berstatus pacar Anton itu bukannya menjabat tanganku ketika aku mengulurkan tanganku ketika memperkenalkan diri, tapi dia malah membuang muka dan menatapku tidak suka. Sehingga aku langsung menarik tanganku lagi dan tersenyum pada Anton. 

Aku tahu dia lebih cantik dan terlihat lebih berkelas dari aku tapi sikapnya yang sombong membuatku muak. 

Andai saja aku tidak sedang mengandung, pasti aku akan memberi pelajaran pada wanita seperti itu. Walaupun derajatnya lebih tinggi dari aku. 

"Mila," panggil Anton sambil menyenggol pinggang pacarnya itu dan menatapnya tajam. 

"Sudah, Anton. Tidak apa-apa."

Wanita yang bernama Mila itu yang awalnya membuang muka, langsung menoleh ke arahku begitu aku mengatakan hal itu, tapi tak lama dia kemudian pergi tanpa berkata apa-apa lagi. 

"Maafkan Mila, Dara. Dia memang seperti itu bila belum mengenal teman-temanku. Tapi kalau sudah mengenal kamu lebih jauh dia pasti tidak akan bersikap seperti itu lagi," jelas Anton. 

"Tidak apa-apa, Anton. Aku tidak marah kok, aku mengerti."

"Anton, ayo kita pergi! Ana sudah menunggu kita," teriak Mila. 

Mendengar teriakan Mila, aku dan Anton lalu menoleh ke arah wanita itu dan dia dengan sombongnya lalu membuang muka setelah menatapku. 

"Kalau begitu aku akan pergi dulu, Dara." Pamit Anton, "Oh iya, Dara. Boleh aku meminta nomor teleponmu? Kalau aku ada waktu nanti, aku ingin bertemu denganmu lagi dan mengajakmu bertemu dengan teman-teman sekolah kita dulu," imbuh Anton sambil menyodorkan ponselnya. 

"Tentu saja, Anton." Jawabku kemudian mengambil ponsel Anton dan memberikan nomor ponselku. 

Setelah Anton pergi aku kemudian masuk ke dalam mobilku untuk menuju ke rumah sakit di mana aku sudah membuat janji akan memeriksakan kandunganku, tapi baru saja aku akan meninggalkan taman, tiba-tiba mataku menangkap pemandangan yang tidak aku harapkan. 

"Bukankah itu Anton dan Mila? Terus mereka? Bukankah itu?"

Aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat akhirnya menghentikan mobilku dan menatap ke arah empat orang yang sedang berdiri yang menjadi pusat perhatianku. 

Ternyata benar apa yang aku lihat, Anton dan Mila bersama dengan putri Mas Tio dan juga ibunya. 

"Apakah yang di maksud Ana oleh Mila tadi adalah putri Mas Tio?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status