Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.
Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong.
Tinnn!!! Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. "Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. "Ibu Andara," panggil seorang perawat. "Iya saya, Mbak." Jawabku, kemudian mendekati perawat yang memanggil namaku. "Maaf, Bu Andara. Dari data saya, bukankah Bu Andara mendaftar untuk siang ini dengan Dokter Dion. Sekarang yang praktek bukan Dokter Dion, Bu. Jadi apakah tidak apa-apa?""Tidak apa-apa, Mbak. Nanti siang saya tidak bisa datang. Jad tadi saya putuskan untuk periksa pagi ini saja, dan siapapun dokternya yang akan memeriksa saya, tidak masalah untuk saya," jawabku. Mendengar jawabanku, perawat itu pun mengangguk lalu memeriksaku dan tak lama aku kemudian masuk ke dalam untuk di periksa. "Anton, ka –kamu?" ucapku terkejut ketika melihat Anton ada dalam ruang pemeriksaan dengan menggunakan jas dokter. "Dara?" ucap Anton yang terlihat sama terkejutnya seperti aku. "Maaf, Bu Andara. Dokter yang akan memeriksa anda hari ini adalah Dokter Antonius. Beliau menggantikan Dokter Dita yang sedang cuti," sela perawat menjelaskan kepadaku. Aku yang masih terpaku karena terkejut hanya bisa menatap pria yang sedang duduk di depanku, sampai akhirnya perawat memegang tanganku baru aku akhirnya tersadar. "I –iya, Mbak. Tidak apa-apa," jawabku, kemudian duduk di kursi yang telah perawat siapkan untukku. "Jadi, ini pertama kalinya kamu periksa, Dara? Suamimu mana?" tanya Anton yang membuatku binggung untuk menjawabnya. "Hmmm, dia sedang bekerja. Jadi tidak bisa mengantarku," jawabku berbohong. "Baiklah kalau begitu, sekarang silahkan naik ke tempat tidur dulu, Dara. Kita lihat berapa bulan usia kandunganmu."Aku yang gugup akan diperiksa oleh sahabatku akhirnya mengikuti perawat yang membantuku untuk naik ke atas tempat tidur. "Semuanya baik, Dara. Usia kandunganmu sudah sepuluh minggu dua hari. Jadi aku akan memberimu vitamin agar bayimu sehat," ucap Anton setelah memeriksaku sambil menulis resep. "Terima kasih, Dok." "Tidak perlu terlalu formal seperti itu, Dara. Kamu cukup memanggilku Anton saja," tolak Anton, "Oh iya, untuk pemeriksaan selanjutnya ajak suamimu untuk datang agar kalian berdua tahu perkembangan bayi kalian," saran Anton, dan aku mengangguk. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu," pamitku, tapi baru saja aku akan membuka pintu tiba-tiba anton memintaku untuk kembali bulan depan untuk memeriksakan kandunganku, dan aku mengangguk lalu pergi. Entah mengapa ketika Anton memeriksaku, ada rasa berdesir di dalam hatiku seperti yang aku rasakan pada Mas Tio. Tapi semua itu hilang bersama rasa malu yang hinggap di dalam diriku. Bagaimana tidak, sahabatmu sendiri melihat bagian tubuhmu. Itu sangat memalukan. Setelah membeli obat, aku tidak langsung kembali ke rumah. Tapi aku memilih untuk berjalan-jalan menghilangkan rasa suntukku. Apalagi bila mengingat kejadian tadi pagi, rasanya aku ingin mengilang dan tidak bertemu dengan orang-orang itu. Aku cukup lama menghabiskan waktu di mal di mana aku biasa berbelanja, hingga rasa lelagh akhirnya menghampiriku dan aku memutuskan untuk pulang."Mas Tio," ucapku terkejut ketika membuka pintu dan mendapati ayah dari bayiku ada di dalam rumah, "Kapan mas datang?""Dari kamu meninggalkan taman, Dara!"Deg! Aku tak menyangka Mas Tio benar-benar melihatku ketika aku meninggalkan taman tadi, dan itu membuatku tidak bisa mengelaknya lagi. "Setelah dari taman kamu ke mana, Dara? Mengapa tidak langsung pulang!" bentak Mas Tio ketika aku melewatinya tanpa menghiraukan kehadirannya. "Itu bukan urusan, Mas. Lebih baik mas urus saja istri dan anak mas saja!""Dara!" bentak Mas Tio sambil akan menamparku. "Kenapa berhenti, Mas. Kalau mas mau pukul aku, pukul saja. Lagi pula aku dan bayiku tidak ada artinya untuk mas!"Brak! Aku yang sudah tidak tahan menahan emosi akhirnya masuk ke dalam kamar dan menangis. Karena aku tidak pernah membayangkan pria yang aku cintai berani membentakku, padahal selama ini Mas Tio tidak pernah membentakku sekalipun selama kami bersama. Hanya memberiku kebahagiaan dan kebahagiaan, tapi sekarang Mas Tio berubah setelah kehadiran buah cinta kami di dalam perutku. "Dara," panggil Mas Tio yang sudah duduk di sampingku sambil memegang tanganku, "Maafkan, Mas. Sudah membentakmu. Mas hanya khawatir denganmu dan bayi kita, Sayang. Jadi tolong jangan menangis lagi," imbuh Mas Tio sambil mengusap air mataku yang tumpah di pipiku. Aku yang masih merasa sesak dan terisak, hanya diam ketika Mas Tio memperlakukanku seperti itu dan tak lama dia kemudian memelukku, dan itu membuat tangisku semakin menjadi. "Sudah, Sayang. Jangan menangis lagi, mas minta maaf dan mas berjanji tidak akan membentak atau membuatmu sedih lagi," ucap Mas Tio sambil mengusap punggunggung dan tak lama mengecup keningku. Setelah meluapkan semua rasa kesal dan marah di hatiku, aku lalu melepas pelukanku dan menatap pria di depanku, dan dari raut wajahnya terlihat sekali dia tidak marah seperti tadi. "Jadi, setelah dari taman. Kamu pergi ke mana, Dara?""Aku berjalan-jalan ke mal, Mas."Mas Tio terlihat tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Bahkan tatapannya seperti marah dan penuh rasa curiga. "Ke mal sepagi itu?""Iya, Mas. Setelah dari taman, aku berkeliling karena marah sama mas. Terus aku ke mal untuk menenangkan pikiranku," jelasku sambil menggeliat manja pada Mas Tio agar dia percaya kepadaku. "Kenapa tidak menghubungi mas, Dara. 'Kan mas bisa menemanimu."Kata-kata Mas Tio membuatku hampir tertawa, tapi aku menahannya. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu bila dia saja tadi bersama keluarganya?"Apa mas bilang? Menemani aku? Apa mas lupa tadi mas dengan siapa?" ucapku kesal, "Bukankah mas pernah melarangku untuk mendekati atau menghubungi mas kalau mas sedang bersama keluarga mas?" imbuhku berpura-pura marah dan memalingkan muka. "Bukan begitu, Sayang. Maksud mas, kamu 'kan bisa mengirimi mas pesan. Jadi mas bisa menemanimu," elak Mas Tio, "Lagi pula tadi juga acara tidak penting, jadi mas bisa pergi kapan saja," rayu Mas Tio. Aku yang merasa curiga dengan sikap Mas Tio hanya menatapnya tapi kemudian aku bangkit. Karena aku tidak ingin mendengar rayuan pria yang membuatku kesal belakangan ini. Tapi pria itu langsung menarikku hingga aku hampir terjatuh, dan tak lama. "Dara, kamu?" ucap Mas Tio dengan wajah memucat.“Mas Utomo?” ucapku spontan.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku membuatku terkejut. Karena aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Bukankah dia tadi mengatakan kepadaku bahwa dia sedang di luar kota? Dan sekarang?“Apa yang anda tunggu lagi Nyonya Clara? Bukankah Tuan Utomo sudah memerintahkan anda untuk pergi dari sini?” usir Alan.Clara yang masih terlihat marah menatap kami semua secara bergantian. Dia lalu pergi dari tempat ini dengan penuh amarah.“Mas Utomo,” sapa Anton ketika kakak tertuaku itu sudah berdiri di hadapan kami.“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Mas Utomo sambil menatapku dari atas ke bawah.Aku yang kesal karena sudah dibohongi, memilih untuk masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan dari kakak tertuaku itu.Di dalam rumah aku lalu meminta Mbak Ayu untuk menyiapkan sarapan untuk kami semua, termasuk Alan. Sedangkan Anton dan Mas Utomo masih berada d
“Ternyata kamu kalau makan seperti anak kecil, Andara.” Ucap Anton ketika aku memejamkan mata.Mata yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar begitu Anton mengusap ujung bibirku dengan tangannya, dan saat itu juga kedua mata kami saling menatap untuk beberapa detik.“Maaf,” ucapku ketika tersadar.Aku segera mengambil gelas yang berisi susu untuk mengalihkan rasa gugupku. Aku teguk perlahan sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk mengurangi rasa canggung yang aku rasakan saat ini.“Ehmmm … Andara, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anton memecah keheningan di antara kami.“Hmmm.”“Maaf, kalau pertanyaanku ini akan menyinggungmu. Tapi aku hanya ingin tahu, alasan apa yang membuatmu mau menikah siri dengan Martio? Bukankah dulu kalian sama-sama saling menyintai, tapi mengapa kalian hanya menikah siri saja, bukan menikah resmi?”Pertanyaan Anton bagai belati yan
“Anton?” ucapku terkejut ketika melihat siapa yang baru saja berteriak menghentikan Mas Tio dari balik tirai jendela.Melihat dua pria yang saling membenci itu berhadapan, membuatku tidak tenang. Namun, aku juga binggung bagaimana menghentikan semua kekacauan ini.“Siapa kamu berani menghentikanku! Ini rumahku! Dan aku berhak melakukan apapun di rumahku sendiri!” teriak Mas Tio.“Aku tidak tahu ini rumah siapa. Tapi membuat keributan seperti ini sangat mengganggu warga,” ucap Anton.Dua pria yang saling berhadapan itu saling menatap tanpa berkedip, dan itu membuatku semakin khawatir akan terjadi sesuatu. Apalagi aku sangat hapal sekali sikap Mas Tio bila dia marah.“Mbak Ayu, hubungi keamanan lagi. Minta mereka untuk segera ke sini,” perintahku lagi.“Ba –baik, Bu Andara.”Mbak Ayu langsung menghubungi keamanan lagi sesuai apa yang aku perintahkan. Namun, panggilan itu justru tidak diangkat dan itu membuatku semakin panik. Apalagi di luar sana, dua pria yang saling membenci itu tidak
“Apa kamu yakin dengan berita itu, Johan?” tanyaku memastikan.Setelah mendengar jawaban dari Johan, aku segera bergegas mengganti pakaianku dan menuju ke tempat di mana aku akan menemui pria itu.“Mari, Bu Andara.” Ujar Johan begitu melihatku datang.Dari kejauhan aku bisa melihat Mas Tio sedang bertengkar dengan istrinya. Berkali-kali Clara terlihat memaki Mas Tio, dan pria itu hanya diam.“Apa kamu sudah merekam apa yang sedang mereka bicarakan, Johan?”“Sudah, Bu Andara. Saya sudah menyuruh anak buah saya untuk merekamnya.”“Dan, Tuan Peter?”“Tuan Peter ada di ruangannya, Bu Andara.”Aku yang tidak ingin membuang waktu lagi segera menuju ke ruangan orang yang Johan sebut. Dan, orang tersebut juga ternyata sudah menungguku.“Apa semua baik-baik saja, Bu Andara?” tanya Tuan Peter sambil menujuk ke arah leherku.Mengetahui orang lain melihat luka di leherku, rasanya sungguh tidak nyaman, dan aku segera merapikan kembali syal yang aku gunakan untuk menutupi luka itu.“Apa bisa kita l
“Dokter Ricci?” ucapku terkejut ketika melihat orang yang ada di depanku.Pria yang berdiri di depanku terlihat salah tingkah ketika aku menatapnya. Dia lalu pergi dengan tergesa-gesa tanpa mengatakan sepatah katapun kepadaku setelah menatapku beberapa saat.Tapi, mengapa dia tadi memanggilku hanya dengan memanggil namaku? Bukankah dia biasanya memanggilku dengan panggilan ‘Bu Andara’?Memikirkan Dokter Ricci membuatku lupa akan tujuanku datang ke tempat ini. Sehingga aku memilih mengabaikan tentang pria itu dan segera masuk ke dalam kafe.Di dalam kafe, aku mencoba mengirim pesan kepada Dita kembali. Kali ini pesanku dibalas olehnya. Dita memberitahuku bahwa Mas Tio baru saja pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Mengetahui hal itu, aku lalu menghubungi Dita dan memintanya untuk membawa mobil milikku ke kafe di mana aku menunggunya saat ini.“Bu Andara,” panggil Dita ketika aku masih fokus dengan ponselku.Aku yang masih membaca email, meminta Dita untuk duduk dan menungguku
“Pernah, bahkan sering.” Jawab ibu membuatku terkejut, “Dia juga orang yang merekomendasikan dokter untuk ayahmu ketika berobat keluar negeri kemarin,” lanjut ibu sambil menatap ke arah Anton.Aku yang berdiri di samping ibu hanya bisa membeku mendengar apa yang baru saja ibu katakan. Karena aku tidak menyangka pria yang sedang berbincang dengan ayah saat ini, ternyata sudah sangat dekat dengan keluargaku.“Andara,” panggil Anton membubarkan lamunanku, “Apa kamu mau pergi?” lanjutnya.Aku yang enggan untuk menanggapi pertanyaan Anton memilih mengabaikannya dan segera berpamitan dengan ibu dan ayah. Tapi baru saja aku keluar, wanita yang mengaku kakak iparku tiba-tiba mencegahku dan memintaku untuk menunggunya.“Bawa ini, Andara.” Ucap wanita yang mengaku kakak iparku sambil memberi papar bag kepadaku.“Apa ini, Mbak?”“Bawa saja, nanti kamu juga pasti akan membutuhkannya.”Aku yang terburu-buru akhirnya menerima paper bag yang sudah ada di tanganku. Setelah itu aku pamit, dan segera k