Share

Chapter 2

Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.

Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong. 

Tinnn!!! 

Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. 

"Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. 

Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. 

Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. 

"Ibu Andara," panggil seorang perawat. 

"Iya saya, Mbak." Jawabku, kemudian mendekati perawat yang memanggil namaku. 

"Maaf, Bu Andara. Dari data saya, bukankah Bu Andara mendaftar untuk siang ini dengan Dokter Dion. Sekarang yang praktek bukan Dokter Dion, Bu. Jadi apakah tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Mbak. Nanti siang saya tidak bisa datang. Jad tadi saya putuskan untuk periksa pagi ini saja, dan siapapun dokternya yang akan memeriksa saya, tidak masalah untuk saya," jawabku. 

Mendengar jawabanku, perawat itu pun mengangguk lalu memeriksaku dan tak lama aku kemudian masuk ke dalam untuk di periksa. 

"Anton, ka –kamu?" ucapku terkejut ketika melihat Anton ada dalam ruang pemeriksaan dengan menggunakan jas dokter. 

"Dara?" ucap Anton yang terlihat sama terkejutnya seperti aku. 

"Maaf, Bu Andara. Dokter yang akan memeriksa anda hari ini adalah Dokter Antonius. Beliau menggantikan Dokter Dita yang sedang cuti," sela perawat menjelaskan kepadaku. 

Aku yang masih terpaku karena terkejut hanya bisa menatap pria yang sedang duduk di depanku, sampai akhirnya perawat memegang tanganku baru aku akhirnya tersadar. 

"I –iya, Mbak. Tidak apa-apa," jawabku, kemudian duduk di kursi yang telah perawat siapkan untukku. 

"Jadi, ini pertama kalinya kamu periksa, Dara? Suamimu mana?" tanya Anton yang membuatku binggung untuk menjawabnya. 

"Hmmm, dia sedang bekerja. Jadi tidak bisa mengantarku," jawabku berbohong. 

"Baiklah kalau begitu, sekarang silahkan naik ke tempat tidur dulu, Dara. Kita lihat berapa bulan usia kandunganmu."

Aku yang gugup akan diperiksa oleh sahabatku akhirnya mengikuti perawat yang membantuku untuk naik ke atas tempat tidur. 

"Semuanya baik, Dara. Usia kandunganmu sudah sepuluh minggu dua hari. Jadi aku akan memberimu vitamin agar bayimu sehat," ucap Anton setelah memeriksaku sambil menulis resep. 

"Terima kasih, Dok." 

"Tidak perlu terlalu formal seperti itu, Dara. Kamu cukup memanggilku Anton saja," tolak Anton, "Oh iya, untuk pemeriksaan selanjutnya ajak suamimu untuk datang agar kalian berdua tahu perkembangan bayi kalian," saran Anton, dan aku mengangguk. 

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu," pamitku, tapi baru saja aku akan membuka pintu tiba-tiba anton memintaku untuk kembali bulan depan untuk memeriksakan kandunganku, dan aku mengangguk lalu pergi. 

Entah mengapa ketika Anton memeriksaku, ada rasa berdesir di dalam hatiku seperti yang aku rasakan pada Mas Tio. Tapi semua itu hilang bersama rasa malu yang hinggap di dalam diriku. 

Bagaimana tidak, sahabatmu sendiri melihat bagian tubuhmu. Itu sangat memalukan. 

Setelah membeli obat, aku tidak langsung kembali ke rumah. Tapi aku memilih untuk berjalan-jalan menghilangkan rasa suntukku. Apalagi bila mengingat kejadian tadi pagi, rasanya aku ingin mengilang dan tidak bertemu dengan orang-orang itu. 

Aku cukup lama menghabiskan waktu di mal di mana aku biasa berbelanja, hingga rasa lelagh akhirnya menghampiriku dan aku memutuskan untuk pulang.

"Mas Tio," ucapku terkejut ketika membuka pintu dan mendapati ayah dari bayiku ada di dalam rumah, "Kapan mas datang?"

"Dari kamu meninggalkan taman, Dara!"

Deg! 

Aku tak menyangka Mas Tio benar-benar melihatku ketika aku meninggalkan taman tadi, dan itu membuatku tidak bisa mengelaknya lagi. 

"Setelah dari taman kamu ke mana, Dara? Mengapa tidak langsung pulang!" bentak Mas Tio ketika aku melewatinya tanpa menghiraukan kehadirannya. 

"Itu bukan urusan, Mas. Lebih baik mas urus saja istri dan anak mas saja!"

"Dara!" bentak Mas Tio sambil akan menamparku. 

"Kenapa berhenti, Mas. Kalau mas mau pukul aku, pukul saja. Lagi pula aku dan bayiku tidak ada artinya untuk mas!"

Brak! 

Aku yang sudah tidak tahan menahan emosi akhirnya masuk ke dalam kamar dan menangis. Karena aku tidak pernah membayangkan pria yang aku cintai berani membentakku, padahal selama ini Mas Tio tidak pernah membentakku sekalipun selama kami bersama. Hanya memberiku kebahagiaan dan kebahagiaan, tapi sekarang Mas Tio berubah setelah kehadiran buah cinta kami di dalam perutku. 

"Dara," panggil Mas Tio yang sudah duduk di sampingku sambil memegang tanganku, "Maafkan, Mas. Sudah membentakmu. Mas hanya khawatir denganmu dan bayi kita, Sayang. Jadi tolong jangan menangis lagi," imbuh Mas Tio sambil mengusap air mataku yang tumpah di pipiku. 

Aku yang masih merasa sesak dan terisak, hanya diam ketika Mas Tio memperlakukanku seperti itu dan tak lama dia kemudian memelukku, dan itu membuat tangisku semakin menjadi. 

"Sudah, Sayang. Jangan menangis lagi, mas minta maaf dan mas berjanji tidak akan membentak atau membuatmu sedih lagi," ucap Mas Tio sambil mengusap punggunggung dan tak lama mengecup keningku. 

Setelah meluapkan semua rasa kesal dan marah di hatiku, aku lalu melepas pelukanku dan menatap pria di depanku, dan dari raut wajahnya terlihat sekali dia tidak marah seperti tadi. 

"Jadi, setelah dari taman. Kamu pergi ke mana, Dara?"

"Aku berjalan-jalan ke mal, Mas."

Mas Tio terlihat tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Bahkan tatapannya seperti marah dan penuh rasa curiga. 

"Ke mal sepagi itu?"

"Iya, Mas. Setelah dari taman, aku berkeliling karena marah sama mas. Terus  aku ke mal untuk menenangkan pikiranku," jelasku sambil menggeliat manja pada Mas Tio agar dia percaya kepadaku. 

"Kenapa tidak menghubungi mas, Dara. 'Kan mas bisa menemanimu."

Kata-kata Mas Tio membuatku hampir tertawa, tapi aku menahannya. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu bila dia saja tadi bersama keluarganya?

"Apa mas bilang? Menemani aku? Apa mas lupa tadi mas dengan siapa?" ucapku kesal, "Bukankah mas pernah melarangku untuk mendekati atau menghubungi mas kalau mas sedang bersama keluarga mas?" imbuhku berpura-pura marah dan memalingkan muka. 

"Bukan begitu, Sayang. Maksud mas, kamu 'kan bisa mengirimi mas pesan. Jadi mas bisa menemanimu," elak Mas Tio, "Lagi pula tadi juga acara tidak penting, jadi mas bisa pergi kapan saja," rayu Mas Tio. 

Aku yang merasa curiga dengan sikap Mas Tio hanya menatapnya tapi kemudian aku bangkit. Karena aku tidak ingin mendengar rayuan pria yang membuatku kesal belakangan ini. 

Tapi pria itu langsung menarikku hingga aku hampir terjatuh, dan tak lama. 

"Dara, kamu?" ucap Mas Tio dengan wajah memucat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status