“Mas Utomo?” ucapku spontan.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku membuatku terkejut. Karena aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Bukankah dia tadi mengatakan kepadaku bahwa dia sedang di luar kota? Dan sekarang?“Apa yang anda tunggu lagi Nyonya Clara? Bukankah Tuan Utomo sudah memerintahkan anda untuk pergi dari sini?” usir Alan.Clara yang masih terlihat marah menatap kami semua secara bergantian. Dia lalu pergi dari tempat ini dengan penuh amarah.“Mas Utomo,” sapa Anton ketika kakak tertuaku itu sudah berdiri di hadapan kami.“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Mas Utomo sambil menatapku dari atas ke bawah.Aku yang kesal karena sudah dibohongi, memilih untuk masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan dari kakak tertuaku itu.Di dalam rumah aku lalu meminta Mbak Ayu untuk menyiapkan sarapan untuk kami semua, termasuk Alan. Sedangkan Anton dan Mas Utomo masih berada d
“Ternyata kamu kalau makan seperti anak kecil, Andara.” Ucap Anton ketika aku memejamkan mata.Mata yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar begitu Anton mengusap ujung bibirku dengan tangannya, dan saat itu juga kedua mata kami saling menatap untuk beberapa detik.“Maaf,” ucapku ketika tersadar.Aku segera mengambil gelas yang berisi susu untuk mengalihkan rasa gugupku. Aku teguk perlahan sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk mengurangi rasa canggung yang aku rasakan saat ini.“Ehmmm … Andara, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anton memecah keheningan di antara kami.“Hmmm.”“Maaf, kalau pertanyaanku ini akan menyinggungmu. Tapi aku hanya ingin tahu, alasan apa yang membuatmu mau menikah siri dengan Martio? Bukankah dulu kalian sama-sama saling menyintai, tapi mengapa kalian hanya menikah siri saja, bukan menikah resmi?”Pertanyaan Anton bagai belati yan
“Anton?” ucapku terkejut ketika melihat siapa yang baru saja berteriak menghentikan Mas Tio dari balik tirai jendela.Melihat dua pria yang saling membenci itu berhadapan, membuatku tidak tenang. Namun, aku juga binggung bagaimana menghentikan semua kekacauan ini.“Siapa kamu berani menghentikanku! Ini rumahku! Dan aku berhak melakukan apapun di rumahku sendiri!” teriak Mas Tio.“Aku tidak tahu ini rumah siapa. Tapi membuat keributan seperti ini sangat mengganggu warga,” ucap Anton.Dua pria yang saling berhadapan itu saling menatap tanpa berkedip, dan itu membuatku semakin khawatir akan terjadi sesuatu. Apalagi aku sangat hapal sekali sikap Mas Tio bila dia marah.“Mbak Ayu, hubungi keamanan lagi. Minta mereka untuk segera ke sini,” perintahku lagi.“Ba –baik, Bu Andara.”Mbak Ayu langsung menghubungi keamanan lagi sesuai apa yang aku perintahkan. Namun, panggilan itu justru tidak diangkat dan itu membuatku semakin panik. Apalagi di luar sana, dua pria yang saling membenci itu tidak
“Apa kamu yakin dengan berita itu, Johan?” tanyaku memastikan.Setelah mendengar jawaban dari Johan, aku segera bergegas mengganti pakaianku dan menuju ke tempat di mana aku akan menemui pria itu.“Mari, Bu Andara.” Ujar Johan begitu melihatku datang.Dari kejauhan aku bisa melihat Mas Tio sedang bertengkar dengan istrinya. Berkali-kali Clara terlihat memaki Mas Tio, dan pria itu hanya diam.“Apa kamu sudah merekam apa yang sedang mereka bicarakan, Johan?”“Sudah, Bu Andara. Saya sudah menyuruh anak buah saya untuk merekamnya.”“Dan, Tuan Peter?”“Tuan Peter ada di ruangannya, Bu Andara.”Aku yang tidak ingin membuang waktu lagi segera menuju ke ruangan orang yang Johan sebut. Dan, orang tersebut juga ternyata sudah menungguku.“Apa semua baik-baik saja, Bu Andara?” tanya Tuan Peter sambil menujuk ke arah leherku.Mengetahui orang lain melihat luka di leherku, rasanya sungguh tidak nyaman, dan aku segera merapikan kembali syal yang aku gunakan untuk menutupi luka itu.“Apa bisa kita l
“Dokter Ricci?” ucapku terkejut ketika melihat orang yang ada di depanku.Pria yang berdiri di depanku terlihat salah tingkah ketika aku menatapnya. Dia lalu pergi dengan tergesa-gesa tanpa mengatakan sepatah katapun kepadaku setelah menatapku beberapa saat.Tapi, mengapa dia tadi memanggilku hanya dengan memanggil namaku? Bukankah dia biasanya memanggilku dengan panggilan ‘Bu Andara’?Memikirkan Dokter Ricci membuatku lupa akan tujuanku datang ke tempat ini. Sehingga aku memilih mengabaikan tentang pria itu dan segera masuk ke dalam kafe.Di dalam kafe, aku mencoba mengirim pesan kepada Dita kembali. Kali ini pesanku dibalas olehnya. Dita memberitahuku bahwa Mas Tio baru saja pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Mengetahui hal itu, aku lalu menghubungi Dita dan memintanya untuk membawa mobil milikku ke kafe di mana aku menunggunya saat ini.“Bu Andara,” panggil Dita ketika aku masih fokus dengan ponselku.Aku yang masih membaca email, meminta Dita untuk duduk dan menungguku
“Pernah, bahkan sering.” Jawab ibu membuatku terkejut, “Dia juga orang yang merekomendasikan dokter untuk ayahmu ketika berobat keluar negeri kemarin,” lanjut ibu sambil menatap ke arah Anton.Aku yang berdiri di samping ibu hanya bisa membeku mendengar apa yang baru saja ibu katakan. Karena aku tidak menyangka pria yang sedang berbincang dengan ayah saat ini, ternyata sudah sangat dekat dengan keluargaku.“Andara,” panggil Anton membubarkan lamunanku, “Apa kamu mau pergi?” lanjutnya.Aku yang enggan untuk menanggapi pertanyaan Anton memilih mengabaikannya dan segera berpamitan dengan ibu dan ayah. Tapi baru saja aku keluar, wanita yang mengaku kakak iparku tiba-tiba mencegahku dan memintaku untuk menunggunya.“Bawa ini, Andara.” Ucap wanita yang mengaku kakak iparku sambil memberi papar bag kepadaku.“Apa ini, Mbak?”“Bawa saja, nanti kamu juga pasti akan membutuhkannya.”Aku yang terburu-buru akhirnya menerima paper bag yang sudah ada di tanganku. Setelah itu aku pamit, dan segera k