"I miss you too." Ucapku dengan suara sama lirihnya dengan tatapan yang tak lepas dari wajah tampan Kian. Yeah, sudah berpuluh-puluh kali kukatakan jika Kian adalah duda tampan berwajah serius namun memiliki jiwa membara yang nakal dan panas. Jempol Kian mengusap sudut bibirku sensual sambil mendekatkan wajahnya. Bagai terhipnotis, bukannya aku turun dari pangkuan Kian malah aku menunggu kapan dia akan menjamahku kembali. "Gue pengen cium lo. Boleh?" Tatapan Kian jatuh ke arah bibirku. Bukankah dia pria yang manis? Selalu bertanya pada pasangannya sebelum melampiaskan kerinduan? Seakan mengkode dengan tatapan yang dalam, aku tahu Kian berharap agar aku tidak menolaknya. Lalu kulingkarkan kedua tanganku di lehernya dan mendekatkan wajahku ke arahnya. Kian langsung melumat basah bibirku dengan posisi aku masih di atas pangkuannya. Kami saling membalas ciuman hingga sama-sama bergairah. Tanganku mulai bergerak nakal dengan mengusap-usap rambut Kian yang masih sesikit basah. Aroma
"Aiiissh.... Perih. Brutal banget mainnya. Sampe lecet gini. Makasih aja enggak." "Duda sialan. Mentang-mentang puasa batinnya tahunan, pelampiasannya ke gue nggak tanggung-tanggung." Aku mengomel sembari membersihkan tubuh dari lendir-lendir percintaan kami. Setelah mandi, Prita memandangku aneh. "Lo habis mandi selarut ini?" "Gue...gue belom mandi sepulang kerja." Cengirku. "Astaga! Lo nggak takut rematik usia muda?" "G...gue belom sempat mandi." Bohongku dengan jantung bertalu. "Eh...Drey, kok lo kemarin bisa barengan mas cogan rumah sebelah sih?" Mati lah aku!! "Ngaku deh!" Tanyanya tajam. Aku menepuk jidat. "Dia bos gue. Kemarin gue nebeng karena kita mau ke lapangan bareng." "Baik bener ama lo? Trus kenapa bisa deketan gini tempat tinggalnya?" Tanyanya menelisik. Kampret! Kenapa Prita memiliki jiwa kepo yang luar biasa. "Ta, intinya dia atasan gue. Soal kita bisa tinggal deketan ya mana gue ngerti. Kalau lo mau tanya-tanya privasi dia, mending lo maju sendiri." Prit
"Sha, look at me. Do you miss me?" Kian menyentuh pipi kiriku lalu mengarahkan ke hadapannya. Dia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi wajahku sekarang. Aku yang terluka sekaligus merindukannya. Bodohnya aku masih mengharapkan cintanya meski hati sesakit ini. Tapi bagaimana lagi, cinta ini membutakan mata hatiku. "Aku nggak ngerti Kian." Aku memotong tatapan kami lalu menunduk. Sekaligus melepas tangannya yang bertengger di pipiku. Ada rasa menyesal ketika aku menghempaskan rayuannya. "Lo marah. Sure?" "Kalau kamu peka kamu pasti ngerti gimana perasaanku sekarang. Kamu ngilang nggak ada kabar dan ---" Aku tidak melanjutkan ucapan lalu memilih menghela nafas. Sudah pasti Kian tahu apa arti ekspresi wajahku. Aku yakin dia tidak bego-bego amat soal beginian meski masa pacaran ketika masih muda telah lama berlalu. "Gue punya hadiah buat lo. Mau?" Aku bertanya melalui lirikan mata. "Tutup mata lo." Aku menuruti perintahnya. Tiba-tiba tengkukku dipegang Kian, sontak aku me
"Mbak maaf, kami mau tutup."Panggilan dari seseorang membuyarkan lamunanku kala masih berdiri mematung di depan pintu toko aksesoris. Kian meninggalkanku lagi saat kami tengah bersama. "Udah berapa kali kamu giniin aku Kian."Malam itu, aku yang hendak menikmati kegalauan dengan berjalan menyusuri trotoar pun urung. Mengingat ini sudah malam dan perempuan rawan disatroni kejahatan.Sesampainya di kosan, aku membaringkan tubuh yang lelah dengan hati yang terluka. Sambil menatap ponsel yang baru kunyalakan."Bilang nggak ya kalau aku udah sampai kosan?" Aku menghela nafas berat sambil menimbang-nimbang lagi keputusan apa yang harus kuambil. Baru sesaat aku berbahagia karena bertemu Kian, lalu moment romantis kami di dalam mobil, kemudian makan dan nonton film bersama.Dan dengan tiba-tiba Rado mengambil perhatian Kian lagi dariku untuk kesekian kalinya."Aaaarrgghhhh.... Bingung gue."Aku mengacak rambut sendiri karena merasa kesal dengan kejadian malam ini.I call it imperfect hap
Desas desus tentang perceraian Affar semakin santer menjadi buah bibir diam-diam di kantor. Jadi, itulah alasan mengapa ia menuduhku kembali meracuni pikiran istrinya di tengah prahara rumah tangganya.Tapi sayang, Affar salah sangka dengan menganggap aku masih mengejar dirinya. Tidak! Aku hanya mencintai Kian. Sekarang dan selamanya. Hari ini Kian mengeluh lelah membagi waktu untuk kerja, keluarga, bisnis, dan pacar. Walau posisi pacar berada di list terakhir, aku harus mengerti.Bahkan ia sempat ketiduran di sofabed ruko tempat kami bercinta malam itu. Rasa iba dan kasihan menggelayuti hatiku. Tapi Kian seakan sudah biasa memikul beban hidupnya yang tidak mau ia bagi denganku sekalipun.Aku : Kamu nggak pulang ke rumah mama?Dudaku nakal : Nggak. Gue capek berat.Aku : Kian kalo kamu lelah tuh bilang Rado biar dia ngerti.Dudaku nakal : Nggak apa-apa Sha. Gue cukup istirahat aja.Kian selalu keras kepala jika berhubungan dengan Rado. Alhasil aku hanya bisa mengingatkannya agar leb
"Kalau gue jadi Kian sih mending Sasha gue putusin. Fokus sama kerjaan aja. Karena kerjaan Kian tuh berprospek bagus banget buat masa depan. Dan biasanya, perempuan bisanya cuma jadi penghalang."Seketika hatiku mencelos mendengar ucapannya. Bahkan matanya dengan tegas menyorot wajahku. Apa maksudnya dia bicara begitu jelas gamblang tanpa tedeng aling-aling dihadapan kami? Terutama aku. Perempuan mana yang tidak tertohok dengan ucapan orang lain mengenai hubungin asmaranya? Ingin sekali aku bertanya apakah dia mengenalku? Atau memiliki masalah denganku?"Wih Krisna! Kalau ngomong nggak ada remnya." Sela temannya yang lain."Emang gitu kan? Emang lo semua kenyang makan cinta? Nggak kan?" "Ya kan itu Kian bukan lo Kris. Suka-suka Kian lah dia mau jalan sama siapa." Temannya yang lain membelaku.Sedang Kian malah terlihat santai sambil meneguk minumannya. Dia tidak terlihat terusik sama sekali. Yang benar saja?!Apa dia senang aku dipermalukan seperti ini? Keterlaluan!"Itu kan pendapa
"Kian, kenapa kita ke dalam pantry?" Aku menatap matanya yang menyiratkan makna lain. Ada yang berbeda ketika aku baru menyadari jika deru nafasnya berhembus lebih cepat. "Kian kita ---" Lalu dengan sekali gerakan, Kian mencium bibirku puas dan aku membiarkannya. Tanganku malah meremas kemeja batiknya yang makin menambah kegilaannya. Oh God! Paralio-ku sangat nakal sekali. Fantasi bercintanya sangat liar, berbanding terbalik dengan kewibawaannya saat berjalan tegap di kantor. 'Jadi ini maksudnya? Main celingukan dan sembunyi-sembunyi?' Batinku bertanya. Sadar dengan rasa lipstickku, Kian menghentikan ciuman kami lalu beralih ke leherku dengan tubuh saling menempel. Dadanya bergerak naik turun sarat akan gairah. Dan keras keperkasaannya makin memperkuat dugaanku. "Awh... Kian! Jangan di cupang." Tanganku bergerak menjauhkan wajahnya tapi dia segera mengunci kedua tanganku di balik tubuhku dengan satu tangan kanannya. "Lo nikmati aja Sha." Kian gila?! Menyuruhku menikmati cum
Aku tersentak ketika Kian bertanya apakah aku memiliki lelaki lain. "Kamu bicara apa sih Kian?" Kian menjauhkan tubuhku darinya. "Kenapa lo nolak make love sama gue? Jelas-jelas gue cowok lo. Kan itu artinya lo punya cowok lain." Aku menggeleng. "Nggak kok. Kata siapa?" Kian menghela nafas lalu berdiri. Menghidupkan shower sejenak mengguyur seluruh tubuhnya lalu melilitkan handuk di pinggangnya. "Kian?" Kian tidak peduli dengan panggilanku lalu keluar kamar mandi. Dengan cepat aku pun ikut mengguyur tubuh di bawah shower lalu memakai bathrobe. Mengabaikan rambutku yang masih setengah basah, aku berjalan cepat menghampiri Kian yang tengah menghisap sebatang nikotin di balkon kamar. Sejujurnya, aku tidak suka melihat Kian merokok. Dengan sikap yakin aku melangkah mendekatinya lalu meraih rokoknya. Tapi sayang, Kian menepis tanganku lebih dulu. "Kian, kamu salah paham." Kian menghembuskan asap rokoknya perlahan. Aku tahu jika Kian merokok itu artinya dia sedang kesal. "O