"P...pak RT? A...da yang bisa saya bantu pak?" "Maaf mbak, mau tanya. Apa di kantor mbak ada lowongan? Kebetulan anak saya sedang mencari pekerjaan." Aku bersyukur kedatangan Pak RT kemari hanya bertanya hal sepele seperti ini. Aku bisa menjawab apa jika beliau bertanya mengenai KK dan KTP baruku yang belum tahu kapan jadinya. Ayah belum memberi kabar hingga sekarang. Dan setelah memberi penjelasan masalah lowongan kerja di kantor, Pak RT kembali pulang dengan raut kecewa. Karena kantor tidak menerima lowongan kerja. Setelah kembali memoles wajah dengan make up tipis, aku beranjak memakan roti yang kutaburi meses sebagai sarapan pagi. Juga segelas susu ibu hamil rasa vanila pembelian tante saat berkunjung kemarin. Namun rasa mual kembali melanda dan aku tidak bisa menghabiskannya. "Dek, jangan bikin bunda mual dong." Lalu denting pesan dari tante menarik perhatianku. Aku ingin tahu apa isinya. [Sha, udah berangkat kerja? Hati-hati nak.] [Maaf Tante belum bisa njenguk kamu.
Kata siapa menjadi single parent itu mudah? Setelah Pak Teguh memarahiku karena insiden faktur-faktur yang basah akibat terkena bocoran air hujan, tubuhku bereaksi lebih. Karena malam harinya nafasku tersengal-sengal akibat kelelahan meminta kopiannya. Dari satu vendor ke vendor yang lain menggunakan motor yang jaraknya lumayan jauh. Tentu ini hal yang beresiko apa lagi usia kehamilanku masih empat bulan. Kondisi yang rentan terjadi keguguran. Beruntung, janinku tumbuh kuat. Tidak hanya itu, aku pernah mendapat kekerasan seksual karena ada dua lelaki hidung belang mencolek pantatku. Mereka suka menggoda ibu hamil yang notabene dianggap kaum lemah. Aku menangis semalam dilecehkan seperti itu, dan hanya pada Amelia dan Anjar aku berani menceritakan segalanya. Siang ini ada rapat untuk proyek baru. Seyum bahagia tercetak di wajah Mbak Susan dan rekan-rekan yang terlibat. Mereka pasti mendapat proyek bagus untuk promosi kenaikan jabatan. Jika mereka bisa menghandel proyek dengan suk
Affar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku hamil Far." Affar langsung melepas genggaman tangan dengan raut wajah terkejut. Mungkin ia berpikir bila aku ini wanita nakal dan tidak seharusnya didekati. Namun belum sempat aku memperhatikan baik-baik bagaimana keterkejutan di wajah Affar, tiba-tiba saja Devan membuat ulah dengan menaiki kursi. Aku khawatir dia terjatuh lalu segera berlari ke arahnya. "Awas Dev. Nanti jatuh sayang." Devan malah berontak dari peganganku dan tetap menaiki kursi. "Ma....ma....ma...." Ocehnya. Aku melengkungkan senyuman termanis untuknya. "Apa?" Aku melirik wajah Affar yang masih syok menatapku dan Devan bergantian. Pasti ia menyesal mengajari anaknya memanggilku dengan sebutan 'mama'. Jika ia mundur dengan kenyataan ini, maka itu lebih baik. Lagi pula aku tidak mungkin menerima tawaran menikah dengannya yang tidak seharusnya terkena aibku. Kecuali Affar setuju setelah mengetahui kehamilanku. Aku tetap menjaga Devan agar tetap aman disampingku. "Cari
"Maksudmu?" Tanyaku dengan raut ingin tahu. Bahkan kedua mataku menatapnya lekat yang kini tengah duduk disisiku. "Kalau Devan aja bisa ngerasain kasih sayangmu, lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain belajar mencintaimu? Bukankah hati seorang anak itu sangat tulus dan putih?" Kali ini aku sangat terkejut dengan ungkapan hatinya yang terang-terangan. Berbeda saat kami terlibat dalam hubungan gelap, Affar menolak keras segala bentuk cinta yang muncul di hatiku. Alasannya dia tidak ingin aku terluka karena statusnya yang masih beristri. Kedua alisku berkerut dalam dengan garis muka yang begitu ingin tahu kelanjutan ungkapan hatinya yang selama ini tidak pernah kuketahui. Bahkan terkesan disembunyikan dan aku tidak diperkenankan tahu barang secuil pun. "Kalau Devan aja nyaman sama kamu, lalu apa lagi yang kucari? Terlepas dari masa lalumu, setiap orang pasti pernah salah Drey. Aku pun begitu." "Aku nggak ngerti Far." Aku berusaha membuatnya mengatakan semua isi hatinya tanpa ditut
Affar masih bersimpuh dibawahku dengan tatapan penuh permohonan. Mengabaikan gengsi dan harga dirinya yang selama ini dijunjung setinggi langit. "Aku nggak akan ninggalin kamu Drey. Nggak ada alasan aku ninggalin kamu kalau Devan udah milih kamu. Nyaman sama kamu. Maafin salahku Drey, aku mohon." Melihat permohonannya yang nampak jujur dan tulus, hatiku perlahan goyah. Lalu kuputus pandangan mata kami demi meyakinkan hatiku jika sekali buaya tetaplah buaya. Wajahnya yang menyiratkan kelelahan karena tidak berhasil merayuku tampak begitu memuaskan bagiku. Tubuhnya dibiarkan lunglai diatas kakinya yang tetap bersimpuh. Wajahnya disembunyikan dengan menunduk dalam. "Aku udah bilang, aku bakal belajar mencintai kamu. Membangun keluarga kecil kita." "Keluarga kecil katamu? Apa ini Affar yang kukenal?" Nada bertanyaku terdengar menyepelekan dirinya namun Affar tidak tersinggung. "Aku serius kalau kamu nggak percaya." "Tapi aku ragu, Far." Sejauh mana dia bersedia meyakinkanku yang
Cinta? Ah! Ini sudah bukan masanya lagi bagiku untuk berucap 'aku mencintaimu'. Kenyataannya hidup beralaskan cinta semata tidak akan cukup membuat hidupku bahagia atau aibku tertutupi. Aku membutuhkan Affar untuk membantuku bangkit dari jurang kenistaan yang pernah kuselami hingga aku tenggelam ke dasarnya. Begitu juga Affar, dia membutuhkanku demi pertumbuhan putranya yang selalu ingin merasakan hangatnya sentuhan dari seseorang yang ia panggil 'mama'. Selama beberapa bulan ini, kami menjalin hubungan yang intens dan saling mengenal satu sama lain. Belajar terbuka jika memiliki pertanyaan yang mengganjal hati. Setiap akhir pekan Affar selalu mengunjungiku dengan membawa serta Devan bersama baby sitternya. Namun sudah satu bulan ini dia meninggalkan baby sitternya di rumah. Dan jadilah Affar mengunjungiku bersama sopir dan Devan saja. Affar terlalu enggan menyetir sendiri mobil mewahnya yang berharga lebih dari satu milyar itu. Ah, apalah daya. Dia manusia beruntung dengan ting
Senyumku berseri melihat nomer yang menelfon saat melahap makan siang kali ini. Wanita berumur yang mendadak memiliki hubungan denganku akibat varian darahnya berada di tubuh janinku. Cucu pertamanya dari putra pertama bajingannya yang kini kabarnya berada di Jepang. Tempo hari Anjar mengatakan hal ini padaku secara eksklusif dengan mimik penuh kesengitan. Keberhasilannya menapaki karir membuatku makin sentimen, sedang aku merasa makin tersuruk oleh keadaan. Padahal kelalaian ini diperbuat oleh kami berdua. Apakah sumpah serapahku belum bekerja dengan baik Tuhan?! "Halo, Sasha?" Suara landainya begitu kalem menyapa telinga. Beliau selalu hangat dan berpikiran terbuka akan segala kesalahan dan keputusan yang kulakukan. Berikut dengan kedua putranya yang eksentrik. "Halo, Tante." "Lagi apa, Sha?" "Makan siang. Tante gimana kabarnya? Maaf Tante, aku sambil makan." "Iya, makan aja. Kabar Tante baik Sha. Oh ya, gimana kabar cucu Tante? Kamu udah USG lagi kan?!" "Sudah Tante, kata
"Hem? Kamu ini kenapa kok tiba-tiba ngomong begini?" "Udah deh Mas bilang aja. Kamu jadi nikahin aku apa enggak?!" Kali ini suaraku terdengar lebih kencang disertai tuntutan agar Affar segera memberi jawaban yang melegakan hati. "Kan kita emang mau nikah." Aku menghela nafas lega karena Affar tidak berubah pikiran sesuai kesepakatan diawal. Biarlah menikah dengannya yang jelas-jelas tidak lagi kucintai. Masa bodoh dengan cinta. Aku butuh kasih sayang dan kemapanannya untuk menjamin kehidupan kami ke depan. Hidup itu butuh uang, apa lagi setelah melahirkan. "Ya udah Mas. Aku ngantor lagi." "Kamu aneh deh Drey." Anakku membutuhkan status dan sosok ayah sambung yang mencintainya. Jika dibandingkan dengan Rado, sepertinya Affar adalah kandidat terbaik. Dia mapan dengan segala gelimangan hartanya, dewasa, matang lahir batin, tidak memiliki gangguan kesehatan mental, dan berpengalaman dalam rumah tangga. Walau kami tidak saling mencintai setidaknya jika menikah dengan Affar aku t