LOGIN"Apa kabar, Mbak?" Kalimat Aleya itu menjadi pembuka obrolannya dengan Aisyah.Rasa canggung, malu, bersalah, dan masih banyak lagi yang rasa yang membuat dia terlalu malu untuk menatap Aisyah.Dia bukan pelakor. Sudah berkali-kali kalimat itu dia tekankan pada diri sendiri, namun tetap saja, rasa bersalah itu tetap ada, malah kian membuncah. Harun dan Aisyah berpisah, sedikit banyak karena kehadirannya. Tapi lagi-lagi dia tekankan, bukan dia yang sengaja hadir, tapi takdir yang membuat dia ada diantara mereka.Ah... sudahlah, membela diri seperti apapun, dia akan tetap dicap sebagai wanita kedua. Wanita yang kehadirannya dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain. Seperti yang terngiang dikepala Aqilah, mungkin.Mereka berdua berada di pantry mini yang ada di kamar Aisyah. Memilih tempat itu karna Keyla sedang menonton TV. Bocah itu tidak masih ingin menonton dan rasanya tidak enak jika meninggalkan Keyla sendirian, sementara Aqilah pergi karna emosi yang sedang disusul keluar
"Papaa!"Aleya dan Harun terbangun karena pekikan Keyla. Keduanya segera beranjak, mendekati Keyla yang terduduk diatas ranjang."Papa." Anak berusia 9 tahun itu beringsut, memeluk erat Harun yang duduk di tepi ranjang."Kamu mimpi buruk?" tanya Aleya yang juga duduk ditepi ranjang.Keyla menggeleng."Lalu?" tanyanya lagi karena penasaran. "Kenapa kamu teriak manggil papa.""Aku hanya takut saat terbangun, gak melihat Papa ada di sebelahku. Aku fikir, papa udah pergi, ninggali aku dan mama lagi."Harun mengusap kepala Keyla lalu mencium puncak kepalanya. Kedua matanya menatap Aleya penuh arti. "Papa tidak pernah ninggalin kalian,"Kalimat serta tatapan itu terasa seperti sindiran bagi Aleya. Iya, dia yang pergi, dia yang meninggal, bukan Harun. Tapi, harus yah diperjelas seperti itu?"Kenapa Papa sama Mama tidur di bawah?" tanya Keyla."Ranjangnya tidak cukup, Sayang.""Cukup kok. Tidur diatas ya, Keyla ingin tidur bareng."Sebelum Aleya menjawab, Harun lebih dulu mengiyakan. Jujur sa
Aleya terus terusan menguap. Dia sudah sangat mengantuk namun mati-matian ditahannya karena Harun belum juga mau pulang."Sudah jam sebelas, Mas." Sengaja dia bicara seperti itu agar Harun sadar diri untuk segera pamit. Setelah menemani Keyla tidur tadi, pria itu belum juga beranjak dari atas ranjang meski si anaknya sudah terlelap."Terus?" Menyebalkan, pria itu malah balik nanya tanpa rasa bersalah."Ya kamu pulang. Aku mau tidur," Aleya menutup mulutnya yang terbuka karena menguap dengan telapak tangan. Gara-gara Harun rebahan di atas ranjang, dia jadi gak ada tempat untuk meletakkan punggung lelahnya."Aku tidur disini."Aleya langsung melotot. Tidur disini, yang benar saja."Kenapa, gak boleh?"Aleya membuang nafas berat. "Kamu gak lihat, ranjangnya sempit. Cuma cukup buat aku dan Keyla.""Cukup kok. Kalau gak percaya, ayo kita coba." Harun menggerakkan kepalanya kearah ranjang. Meminta Aleya untuk ikut naik kesana."Gak usah aneh-aneh. Buruan pulang, aku mau tidur.""Aku sudah t
mama rieta diam seribu bahasa. Menurutnya dia adalah solusi yang tepat saat ini. Jangan sampai salah bicara hingga dapat mempengaruhi hubungan Aqilah dan papanya."Mah, Nek," desak Aqilah."Apa benar, Mama dan Papa bercerai gara-gara wanita itu?" Dia berdecak pelan karena sang mama tidak kunjung menjawab jujur. Ia sudah tahu semuanya, saat ini yang ia harapkan adalah kejujuran dari kedua wanita dewasa itu."Kalau Mama diam, itu artinya benar." Lelah menunggu jawaban, dia menyimpulkan sendiri.mama rieta menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. "Benar, tapi tidak seratus persen.""Maksud Nenek?""Mama kamu memang mengajukan gugatan cerai karena adanya Tante Aleya. Tapi Tante Aleya juga tidak seratus persen salah. Dia menikah dengan Papa kare—""Menikah!" Aqilah syok mendengar kata menikah. Dia bahkan memotong kalimat neneknya sebelum wanita itu menyelesaikan. Dadanya terasa sesak, sama sekali tidak menyangka jika ternyata, papanya menikahi wanita lain selain mamanya. Ini benar
Aqilah hanya mengaduk-aduk makanannya sejak tadi. Berbeda dengan mama rieta yang tampak sangat semangat. Terlihat dari cara makan yang sudah hampir habis setengah di piringnya. Aisyah bukannya tidak tahu jika Aqilah sedang memikirkan sesuatu, dan dia hanya bisa berharap, semoga bukan perihal papanya yang dia pikirkan."Qil, kok gak dimakan? Kalau gak enak, Mama pesenin yang lain, yah?" tawar Aisyah."Enak banget loh padahal makanan di sini," celetuk mama rieta. Omongannya terdengar kurang jelas efek masih adanya makanan di dalam mulut. Entah benar memang enak atau hanya karena faktor menantu idamannya sudah ditemukan. Aisyah tidak mau ambil pusing."Oh iya, Mah. Tadi itu Papa kenapa sih? Kok kayak ngamuk-ngamuk. Siapa tadi yang dia panggil, Aleya? Aleya siapa sih, Ma?"Aisyah menelan ludah susah payah. Padahal dia berdoa agar Aqilah tidak menanyakan soal ini. Tapi di luar dugaan, Aqilah justru lebih dulu bertanya. Mungkin putrinya memang sudah tidak ingat sama sekali tentang Aleya. Sa
Mobil tersebut sengaja tidak dilajukan kencang, karena Harun hanya ingin memancing Aleya keluar. Dibiarkan dulu wanita itu mengejar meski sebenarnya kasihan juga. Apalagi melihat Keyla yang terus meraung, menghadap ke belakangan dengan tangan terulur, seperti hendak menggapai mamanya yang berlari mengejar mobil."Mama, tolong aku. Mama, tolong!" Keyla terus meraung-raung, tidak mendengar perkataan Harun sedikitpun yang meminta dia untuk tenang. Bagi anak seusia dia, wajar jika takut saat orang yang baru dikenal membawanya pergi."Mama!" pekiknya saat melihat Aleya jatuh tersungkur.CitttHarun menekan pedal rem melihat Aleya terjatuh."Buk pintunya, Om. Buka!" Keyla menarik-narik lengan baju Harun. "Keyla mau pulang. Keyla mau sama mama."Harun mengabaikan permintaan anak itu. Menatap kaca spion dimana Aleya terlihat bangkit dan kembali berlari menuju mobilnya dengan tertatih."Mama, Mama!" Keyla berteriak sambil menggedor kaca jendela melihat mamanya mendekat. "Mama, tolongin Keyla."







