Ekspresi Bang Teguh, ibu mertua dan menantunya menjadi riang setelah melihat sikap dari ibu. Aku hanya bisa membiarkan mereka meneguk senang di sana, karena saat ini keningku berdenyut luar biasa.
Entah apa yang harus kulakukan agar bisa mengusir orang-orang tanpa harus mengeluarkan uang seperser pun. Aku berpikir sembari menatap wajah Anha. Gadis di sana itu sering punya ide licik, tapi entah kenapa hari ini malah diam tak banyak bicara.
“Gin, transfer ke nomor rekeningku!” Bang Teguh membulatkan suara. Aku menengadah perlahan, menatap balik wajak tidak punya malu dari pria yang akan kuceraikan.
Apa-apaan mereka ini? Benarkah dia pria yang dulu melamar dan menikahiku? Kenapa sikap dan hatinya sudah serupa dengan iblis? Astagfirullah, ampunkan aku Ya Allah.“Cepat Gin!” desak Bang Teguh.“Kemarikan sertifikatnya, Bang.” Aku mengulurkan tangan.“Uangnya dulu, Gin!”Dengan dibantu Anha, aku lekas berdiri meggunakan dua tungkai yang bergetar. Air mata yang tumpah kuhempas begitu saja dan berharap luka yang masih tersisa ikut berlalu bersamanya.Kulirik sejenak ke arah pagar, beberapa tetangga yang semula memadati perlahan berkurang, hingga tersisalah kami dan wanita bertubung ringkih serta suaminya yang baru saja datang. “Mbak?” Dia kembali memanggil karena jawaban yang tak kunjung didengar.“Mbak, ibu dan Bang Teguh yang datang, kan?” tanyanya polos. Wajah Nita pagi ini terlihat berseri, pakaiannya jadi lebih bagus dan baru, bahkan dia sudah bergincu. Tubuh Nita juga terlihat lebih berisi.“Nit, jangan ditanya-tanya yang sudah jelas!” tegur Bang Willy disertai tepukan di pundak istrinya.Kulihat Nita bergegas diam, dilipatnya bibir yang berwarna natural itu. Sekelebat rasa bahagia meresapi kalbuku. Nita sudah terbebas dari jerat keserakahan ibu mertua dan Ba
Aku melirik lagi gawai yang terus bergetar, teror dari Nita tidak kunjung usai meski hari sudah bergerak hingga jam sepuluh pagi. Wanita itu memaksaku untuk ikut datang ke acara syukurannya di rumah dinas.Sudah sebulan lamanya memang perceraianku dengan Bang Teguh selesai dan masa iddahku berlalu dengan cepat. Kami hanya bertemu terakhir kalinya di halaman kantor pengadilan. Ibu mertua yang datang menemani putra sulungnya tidak henti-hentinya mencebik saat melihatku.“Sudah selesai, kan? Puas kamu jadi janda?” Ibu mertua tidak peduli dengan tatapan dari para pekerja kantor pengadilan. Dicibirnya aku tanpa henti hingga mulutnya maju ke depan.“Punya suami seperti Teguh bukannya bersyukur, malah minta cerai. Sudah sana, coba cari laki-laki lain yang mau terima wanita sepertimu!” Ibu mertua mengayunkan tangan.“Iya, Bu ... nanti aku cari yang jauh lebih baik dari Bang Teguh. Pria di dunia ini bukan cuma
“Kalau Bang Teguh enggak bekerja, carikan dia pekerjaan, Bu. Buat toko atau kios dulu di depan rumah agar tetap ada pemasukan. Kenapa malah membebankan hidupnya ke aku?” Bang Willy masih mencoba untuk protes.Wajar saja jika dia begitu, mengingat bagaimana tidak tahu malunya ketiga orang ini hingga dengan mudahnya datang dan menadahkan tangan. Padahal tubuh Bang Teguh masih bugar dan kuat, mencari pekerjaan bagaimana juga mudah didapat.“Kios Will? Malu! Apa kata tetangga kalau kami buka kios di depan rumah? Kita sudah jatuh miskin? Begitu?” Ibu mertua nyerocos lagi dan opininya ini didukung penuh oleh Bang Teguh.“Lagian Will, kamu tinggal di sini, semuanya sudah ada dan disediakan. Gajimu kamu berikan saja ke kami, toh kamu tidak akan rugi apapun. Kalau tidak bisa dua juta setengah, dua jutaan bisa, kan? Apalagi aku dan Adinda ngerawat ibu di rumah,” papar Bang Teguh.Panas hatiku melihat bagai
Aku tercegang mendengar permintaan memilukan dari bibir Adinda. Ekspresinya lengkap menerangkan jika wanita berbadan dua ini sedang berada di pinggir jurang keputusasaan, sampai-sampai meminta pertolongan dari mantan istri suaminya sendiri.Gegas aku mundur selangkah, menjauh dari Adinda sebab nyatanya hatiku teriris mendengar keinginannya saat ini. Wanita yang sudah membuatku terluka, merebut Bang Teguh dariku dan menyebabkan ibu mertua dengan lantang menghinaku tanpa henti tapi kini datang mengemis padaku.“Harusnya kamu tahu diri, Adinda.” Aku berdecak. Mengucapkan kata-kata yang menyakitkan untuk orang ini rasanya juga percuma. Yang ada dosa-dosaku kian menggunung dan Adinda hanya akan terluka.“Pergilah! Urusan persalinanmu itu, tugasnya suamimu.” Aku mencoba melunak.“Mbak ... Bang Teguh belum bekerja dan kami tidak punya tabungan sama sekali. Apalagi, setiap hari kami diteror sama penagih hutang
Aku menghela napas sedemikian keras saat berhenti di depan sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai menu ayam dan sederet pilihan sambal. Menatap ke dalam, tempat dimana orang-orang sibuk mengisi perut mereka.Bayang-bayang akan ucapan Anha di rumah Nita saat itu masih membekas di kepalaku. Bagaimana bisa Gagah sudah lebih dulu meminta nomor ponselku pada Anha saat aku menjalani masa iddah usai bercerai dari Bang Teguh.“Kamu sama Gagah?” Hari itu masih kurekam jelas tatapan Anha, serupa dengan ibu dulu, dia mengisyaratkan jika aku harusnya berhati-hati dalam bersikap.“Tidak, An. Astaga kamu ini! Aku dan Gagah hanya teman, tidak lebih. Dia hanya mengajakku datang ke reuni SMP dulu di kampung. Aku bahkan tidak tahu, kalau orang-orang jaman sekarang senang bereuni termasuk dengan teman SMP.” Begitulah penjelasanku pada Anha, berharap dia percaya dengan apa yang kukatakan padanya.“Tapi Gagah minta nomermu, Gin. Kalian juga
“Belanja? Ya suka dong, Gin. Hari gini siapa yang enggak doyan belanja?” sahut Ayu cepat.Aku tersenyum tipis, menyadari ada kemungkinan besar sebagian dari teman-teman reuni ini menjadi pelanggan setiaku. Syukurlah, dengan begitu bisa kubungkam mulut tak tahu diri milik Ayu.“Ini nih ....” Ayu segera mengeluarkan gawainya. Dia membuka aplikasi marketplace yang menjadi ladang rezeki untuk gudangku selama ini, lalu memperlihatkan daftar belanjaannya pada kami.Isi keranjangnya penuh sesak, barang yang sudah dibayar berjumlah lima belas pembelian dan lima sedang dalam pengantaran. Lebih dari lima puluh belum diberi penilaian meski sudah diterima. Rupanya, Ayu juga maniak belanja. Berbeda dengan Ayu yang kubaca dari salah satu novel Gadis Tanpa Senyum sekali pintas dulu.“Wah ... uangmu memang banyak, Yu. Pantas, suamimu kan karyawan BUMN.”“Memang Ayu sudah tajir sejak dulu. Apalagi suaminya kaya, dan dia jug
Kulirik wajah ibu dan kedua adikku, tatapan mereka penuh maksud yang tak bisa kumengerti sama sekali. Senyum aneh di bibir si bungsu, serta rasa haru di mata ibu. Aku yakin ada niat tersembunyi yang sedang mereka tutupi dariku.“Bu?” panggilku karena tidak ada satu orang pun yang menjawab.“Kalian kenapa?”“Kak ... nginap di sini, kan? Yuk masuk!” ujar si nomor tujuh, Lidyana namanya. Wajahnya cantik dan bersih, terawat serta modis. Maklum saja, dia beranjak gadis saat aku sudah punya banyak rezeki dan adik-adikku mulai bekerja dan menikahi pria mapan.Lidyana segera beranjak, dia mengapit tanganku dengan cepat, kemudian menyeretku ke dalam rumah yang masih menguarkan baru menyengat dari cat. Aku menutup hidup dengan menjepitnya, aroma menusuk seperti ini bisa saja membuat kepalaku pusing, apalagi setelah berurusan dengan Ayu dan teman-temannya tadi.“Kamu kenapa, Dik?” t
Aku terhenyak dengan todongan tiba-tiba dari ibu. Betapa pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan kini mendera telinga. Ibu menatapku nyalang, raut marah dan kecewa itu ditunjukkannya padaku segera setelah kepergian Ridwan.“Bu?”“Kamu enggak suka sama Si Ridwan?” Ibu bertanya usai menghela napas. Sepertinya beliau sadar telah salah mengambil langkah, mengenalkanku pada pria tak jelas sikap dan sifatnya meski dia mapan sekalipun.“Iya, Bu. Gina enggak suka kalau kelakuannya model begini. Belum menikah saja sudah banyak aturannya, bagaimana dengan nanti? Memangnya dia siapa, Bu? Dia bilang Gina harusnya diam saja di rumah, biar urusan gudang itu dia dan keluarganya yang turun tangan. Coba Ibu bayangkan sekarang, apa pantas ucapan seperti itu diucapkan? Kami baru bertemu sekali dan belum juga sehari, tapi nuntutnya sudah macam ini!” jelasku pada ibu.Aku ikut menghembuskan napas, lalu melirik Lidya