Se connecterEvan langsung panik melihat Zola meringis kesakitan memegangi perutnya, sepertinya dia mulai kontraksi."Mas, sakit!" rintih Zola menangis, bulir-bulir keringat mulai bermunculan di dahinya."Bunda!" Nathan yang baru muncul dari dapur membawakan minum untuk Evan dibuat terkejut melihat Zola tampak kesakitan dalam dekapan Evan."Nathan, panggil Pak Awan suruh siapkan mobil!" perintah Evan seraya menyangga tubuh Zola.Nathan yang hendak menghampiri mereka pun mengurungkan niatnya dan memutar langkah, berlari keluar melalui pintu samping."Ayo, Sayang! Kita ke Rumah Sakit sekarang!" kata Evan membantu Zola untuk berdiri.Dengan nafas yang tersengal-sengal, Zola pun bangkit berdiri dengan berpegangan pada lengan Evan. Dia mengerang ketika merasakan desakan yang menyakitkan di bawah rahimnya, sepertinya ini memang sudah waktunya dia melahirkan."Pelan-pelan!" ucap Evan menggandeng Zola untuk berjalan bersamanya.Evan memanggil Mbok Titi untuk menyiapkan segala sesuatunya selagi mereka bera
Zola akhirnya merasa lega karena bisa menghapus rasa ketakutannya, semua kenangan pahit beberapa tahun silam perlahan hilang seiring dengan hari yang berlalu. Terlebih, Evan dan Surendra selalu berusaha untuk menghiburnya dan menemaninya dalam keseharian.Dan tak terasa bulan demi bulan berlalu, dan kehamilan Zola sudah memasuki melewati trimester terakhir. Dan tinggal menunggu HPL saja dalam 2 minggu ke depan."Bunda, susunya belum diminum?" seru Nathan, dia muncul dari arah dapur sambil membawa nampan dengan segelas susu stroberi di atasnya. Itu susu hamil untuk Zola.Zola yang tengah membawa buku di kursi goyang menoleh dan menghela nafas panjang, dia lupa sudah menyeduh susu tadi. "Astaghfirullah! Maaf Bunda lupa!" keluh Zola sambil meletakkan bukunya dan menerima gelas susu dari tangan Nathan.Nathan hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memang merasa jika Zola akhir-akhir ini sering melewatkan sesuatu yang dilakukannya, contohnya ketika menyeduh susu hamiln
Surendra tak jadi masuk ke rumah dan berdiri untuk melihat siapa yang akan turun dari mobil mewah itu. Dan kedua alisnya terangkat tinggi begitu melihat sosok yang keluar dari pintu belakang yang dibuka oleh sopirnya."Ya Allah, Nathan?" serunya gembira.Nathan yang baru saja menginjakkan kakinya pun langsung ceria melihat Surendra, anak yang sudah mulai beranjak remaja itu segera menghambur ke pelukan Surendra."Kakek Surendra!" serunya.Surendra terkekeh sembari menyentuh kepala Nathan, dia lalu berpaling ke arah mobil dan tersenyum lebar melihat Abraham berdiri dan turut tersenyum melihat pertemuan mereka."Assalaamu'alaikum!" sapa Abraham, sosoknya yang sama-sama memegang tongkat ketika berjalan membuat kedua pria tua itu serentak terbahak dengan keadaan mereka."Wa'laikum salaam!" sambut Surendra, "kita sudah tua dan harus memakai tongkat ketika berjalan," tambahnya seraya terkekeh.Abraham pun tertawa, "Ya-ya, memang sudah dimakan usia, dan beginilah kita!" balasnya. Keduanya pu
Evan terduduk lemas di anak tangga, dia baru saja mendengar percakapan Zola dan Surendra. Seharusnya itu menjadi kabar baik dan membahagiakan tentang akan hadirnya anggota baru keluarga mereka, darah dagingnya, buah cintanya dengan Zola. Tapi Evan juga menyadari sesuatu terjadi pada mental Zola, sepertinya kejadian beberapa tahun lalu yang melibatkan Danar meninggalkan trauma di alam bawah sadarnya. Dan itu semua kembali terusik dengan kehamilannya kini."Astaghfirullah!" desah Evan, dia merasa sedih dengan kondisi istrinya itu, dan dia yakin jika Surendra pun menyadarinya."Zola sayangku, kamu tidak perlu takut!" bisiknya sembari mengintip dari balik dinding. Dia menahan diri untuk tidak berlari ke sana dan memeluk istrinya itu, dia ingin memberi Zola waktu untuk menerima keadaannya sendiri, dan mendukungnya secara diam-diam.Dengan berat hati dan mengekang perasaannya, Evan melanjutkan langkahnya menaiki tangga dan menuju ke kamarnya."Aku harus memberinya ruang dan waktu, dan tida
Evan meremas setir selagi dia mengemudi dalam perjalanan menuju rumah. Kata-kata Tama terngiang di kepalanya sejak tadi, dan itu tak urung membuatnya merasa masygul sendiri dengan perasaannya yang sudah meragukan Zola.Sejenak dia menoleh ke arah jok belakang, dimana ada sebuah buket bunga dan parsel manis dari toko kue favorit Zola, juga berbagai makanan kesukaaan istrinya itu yang sengaja dia borong sewaktu pulang tadi."Semoga ini cukup!" gumamnya dengan bibir tertarik berlawanan, pipinya memanas dan membuatnya terkekeh geli sendiri. Rasanya seperti mau menemui kekasih pujaan hati untuk pertama kali dan melamarnya."Ah, Zola ... kamu memang tak akan terganti selamanya sebagai istriku dan juga kekasihku!" desahnya membayangkan saat-saat pertama kali mereka bertemu di pesantren.Dari jauh terlihat gerbang pagar rumahnya yang megah, Evan pun melambatkan laju mobil dan membelokkan kemudi dengan lembut ke sana. Satpam penjaga yang tak mengira jika majikannya itu akan pulang lebih awal,
Evan dibuat terkejut dengan sikap Zola yang ketus dan terkesan sangat kesal terhadapnya malam itu, sampai dia hanya bisa diam dan menggantung rahang dengan kepala penuh berbagai pertanyaan.Apa kesalahannya sampai membuat istrinya semarah itu?"Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan sebelumnya? Zola bahkan menepis tanganku dengan kasar!" gumamnya tak habis-habis sejak semalam, bahkan tidurnya tidak lelap dan hatinya gelisah tak menentu.Pagi itu pun Zola bangun lebih dulu seperti biasa. Evan yang memang sudah terjaga sebelum adzan shubuh berkumandang, hanya saja dia berpura-pura masih tidur dan ingin melihat sikap istrinya itu kali ini."Mas, bangun sudah shubuh!" Evan sejenak merasa tubuhnya tegang manakala merasakan belaian lembut di kepalanya, perlahan dia membuka mata dengan perasaan takut. Dan pemandangan di hadapannya kali ini menyejukkan mata dan membuatnya terjaga.Zola tersenyum lembut dan duduk di sampingnya, dia sepertinya baru bangun karena rambutnya masih tergerai. Hidungn







