Beranda / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 8 - Panggung Dan Rahasia

Share

Bab 8 - Panggung Dan Rahasia

Penulis: Faw faw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-04 13:23:57

Sepuluh menit telah berlalu. Felisha berhasil menemukan ruang rapat tanpa tersesat. Sebuah prestasi kecil yang terasa besar di tengah kegugupan menyambut hari pertamanya di perusahaan raksasa tersebut.

Di dalam ruangan luas itu, kursi-kursi telah dipenuhi oleh karyawan yang tampak profesional dan terbiasa. Suasana begitu formal, sunyi namun sarat tekanan. Felisha berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan dengan ragu. Ia kebingungan mencari tempat duduk yang tak menimbulkan perhatian.

Untung saja, Vista muncul dari balik kerumunan dan menyelamatkannya dari kebekuan itu.

"Silakan duduk di sini, Felisha," ujar Vista lembut, membimbingnya menuju kursi kosong di barisan paling depan. Tiga pria telah duduk rapi di sana, menyisakan satu tempat. "Mereka adalah tim kreatif 1. Kalian bisa saling berkenalan sambil menunggu kepala divisi masuk."

Seketika setelah itu, Vista pergi, meninggalkan Felisha yang merasa seperti seekor rusa kecil di tengah kawanan singa.

Meskipun Felisha terkenal dengan mulut ceplas-ceplosnya, terutama saat menilai Ace, kali ini ia hanya mampu menunduk diam. Dunia perkantoran benar-benar berbeda dari kafe tempatnya bekerja. Di sini, semuanya terasa besar, mahal, dan jauh dari jangkauan dunianya yang sederhana.

Ia menelan ludah pelan, merasa begitu kecil duduk di antara rekan satu tim yang mengenakan jas rapi dan wajah serius. Rasa minder menyergap dengan ganas.

"H-ha... halo," sapa Felisha, mencoba ramah meski suaranya nyaris tenggelam oleh ketegangan.

"Halo," balas salah satu dari mereka singkat. Sisanya hanya menoleh sekilas lalu kembali berbincang sesama mereka, seolah kehadiran Felisha hanyalah formalitas yang tidak penting.

Tak ada sambutan hangat. Tak ada senyum ramah. Hanya keheningan yang menusuk dan tatapan asing yang membuat Felisha merasa tak diinginkan. Ia pun memilih diam, memeluk kegugupannya, sementara suara-suara percakapan di sekeliling justru menambah kesendiriannya.

Namun sebelum ia terlarut dalam rasa tidak percaya diri itu, pintu utama ruang rapat terbuka. Seketika semua berdiri. Para petinggi perusahaan masuk satu per satu, diawali oleh seorang pria tua berambut putih yang disambut aura wibawa mengintimidasi: Edward Newgate, direktur utama Shirohige Group.

Felisha bisa langsung merasakan dominasi pria itu, bahkan sebelum ia berbicara. Di belakangnya, Marco dan Theo menyusul, lalu—matanya membelalak—Ace.

Ace, si playboy cap kaki tiga itu! Yang kemarin ia maki-maki, dan tadi sempat ia ancam dan direndahkan, kini melangkah penuh percaya diri ke barisan depan, duduk di sebelah Edward.

Felisha tercengang. Apa?!

Ia panik mencari Vista dengan matanya, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tapi nyatanya Vista justru duduk santai di bagian belakang ruangan, tampak mengawasi jalannya rapat.

Logika Felisha mulai berantakan. Jika benar jabatan Ace di bawah Vista, mengapa pria itu duduk di depan? Dan mengapa Vista duduk di belakang? Apa mungkin... Ace memiliki jabatan yang sangat penting? Lebih tinggi dari atasannya sendiri?

Pikiran itu belum sempat terjawab, suara Theo menggema di seluruh ruangan melalui pengeras suara, membuka rapat dengan penuh semangat.

"Selamat pagi, divisi periklanan. Selamat pagi, Direksi Utama Shirohige Group, Tuan Edward Newgate. Dan selamat datang bagi kalian yang baru saja bergabung di perusahaan ini," ujarnya dengan formal dan mantap. "Saya ingin mengumumkan bahwa divisi kita akan segera mengadakan kompetisi tahunan. Untuk informasi lengkapnya, kita akan mendengarkannya langsung dari Kepala Divisi Periklanan kita—Tuan Ace. Silakan, Tuan Ace."

Suara tepuk tangan mengisi ruangan.

Namun Felisha tak bisa ikut bertepuk tangan. Tubuhnya membeku. Kepala Divisi? Jantungnya nyaris meloncat dari dadanya. Wajahnya memucat, lalu memanas dalam sekejap. Dunia seperti memukulnya dengan palu—berkali-kali.

Seluruh harga diri yang ia banggakan runtuh.

Ia pernah mengancam Ace. Ia pernah memerintah dan memaki pria itu seolah bukan siapa-siapa. Kini? Ace berdiri sebagai pemimpin yang akan menyampaikan arah kompetisi tahunan divisi. Sebuah posisi yang jelas menunjukkan betapa tingginya jabatan pria itu.

Felisha ingin tenggelam. Pipinya memerah, membara sampai ke telinga. Ia menunduk, berharap kursinya bisa berubah menjadi lubang dan menelannya hidup-hidup.

Namun Ace melihatnya. Dari balik meja di depan ruang rapat, matanya tertuju pada Felisha. Senyum tipis muncul di wajah tampannya, bukan senyum mengejek, tapi senyum kemenangan yang halus—dan mematikan.

Felisha tahu senyum itu. Ia tertangkap basah. Dan ketika mata mereka bertemu, senyum Ace berubah jadi tatapan penuh tantangan.

Felisha menggigit bibir. Ia malu, marah, dan lebih dari segalanya—tersadar bahwa ia baru saja mempermalukan dirinya di hadapan atasannya sendiri.

Di atas podium, Ace berdiri dengan ketenangan seorang jenderal perang yang sudah hafal medan. Tak ada keraguan dalam suaranya. Nada bicaranya dalam dan tegas, artikulasinya nyaris sempurna. Tak ada celah bagi kesan ‘si playboy tengil’ yang sehari sebelumnya dimaki-maki Felisha di kafe. Yang kini berdiri di hadapan puluhan pasang mata adalah seorang pemimpin sejati—dan Felisha, hanya bisa menunduk.

“Kita bekerja di salah satu perusahaan periklanan terbesar di Asia." Ace membuka pidatonya. "Tapi aku ingin kalian tahu satu hal penting: besar tidak menjamin berani. Dan berani tidak selalu berarti benar. Di divisi ini, yang kami cari adalah mereka yang siap menabrak batas konvensional, tapi tetap memikul tanggung jawab hasilnya.”

Seisi ruangan hening. Hanya suara Ace yang mendominasi, dan tiap kalimatnya menggantung di udara seperti sabda.

“Kompetisi tahunan bukan sekadar lomba mencari perhatian. Ini adalah momen untuk membuktikan bahwa kalian pantas disebut kreator. Kita akan bekerja sama dengan divisi pemasaran milik Tuan Marco, untuk menemukan satu produk—hanya satu—yang layak dikampanyekan. Tim kreatif akan mengajukan ide iklan berdasarkan produk tersebut. Tapi hanya satu tim yang akan saya pilih untuk maju ke panggung Asia.”

Beberapa karyawan mulai menatap satu sama lain dengan tegang. Kompetisi ini bukan main-main.

“Jangan pikir ini tentang estetika semata,” lanjut Ace. “Iklan bukan soal cantik atau keren. Ini soal relevansi, daya pukau, dan dampak. Kalian harus bisa menjawab satu pertanyaan sederhana: apakah orang akan berhenti menggulir layar ponsel mereka ketika melihat iklan kalian? Jika jawabannya ‘tidak’, berarti kalian gagal.”

Felisha mulai terdiam, menelan setiap kata yang keluar dari mulut Ace. Tidak ada satu pun kalimat basa-basi. Tidak ada gurauan murahan. Ia terdengar seperti pria yang membangun bisnis dari nol—bukan pria yang tadi pagi ia ancam seenaknya.

“Tim yang terpilih akan saya bimbing langsung," Ace melanjutkan. "Dan jika kampanye tersebut memenangkan penghargaan Asia Advertising Excellence Award, maka bonus yang kalian terima akan setara dengan tiga bulan gaji eksekutif. Ini bukan dongeng. Ini peluang. Dan bagi yang tidak lolos, jangan berkecil hati. Tahun depan, kompetisi ini akan diadakan kembali.”

Sorak tepuk tangan menggemuruh. Bahkan para senior pun ikut berdiri. Vista tersenyum penuh arti. Marco mengangguk bangga. Dan Edward Newgate—si singa tua itu—memandang putranya dengan ekspresi tak biasa: diam-diam kagum.

Hanya Felisha yang tak ikut bersorak. Jantungnya belum stabil. Dunia seakan jungkir balik. Pria yang ia anggap bajingan kelas rendahan itu… ternyata adalah kepala divisi yang dihormati seluruh kantor.

Ketika Ace mengakhiri pidatonya, ia sempat melempar senyum pada audiens—tapi pandangannya hanya jatuh ke satu titik.

Ke arah Felisha.

Dan ia mengedipkan sebelah mata, seolah berkata, "Apa sekarang kau sudah bisa mengenaliku dengan baik?"

Felisha langsung menunduk lebih dalam.

“Aku tahu ini waktunya makan siang,” ujar Ace santai, kembali ke nada bercandanya yang ringan. “Aku bahkan bisa mendengar suara cacing kalian meronta-ronta.”

Ruang rapat meledak oleh tawa.

“Oleh karena itu, mari kita akhiri pertemuan yang menyenangkan ini. Sampai jumpa di medan perang, tim kreatif.”

Sorak dan tepuk tangan kembali membahana. Para wanita mengaguminya, para pria menghormatinya. Ace berjalan keluar dengan gaya santai namun penuh wibawa.

Marco dan Edward menyusul, berjalan keluar dengan langkah lebih tenang. Namun di tengah perjalanan, pandangan mereka tertuju pada Vista yang menahan Felisha di dekat pintu, untuk membicarakan masalah pekerjaan.

Edward sempat berhenti. Dahinya mengernyit.

"Ada apa, Ayah?" tanya Marco, menangkap perubahan ekspresi ayahnya.

"Apa dia wanita yang dimaksud?" gumam Edward tanpa menjawab langsung.

Marco mengikuti arah pandangan sang ayah. Ia melihat Felisha yang kini berdiri canggung bersama Vista dan beberapa anggota lainnya. Marco mengangguk pelan.

"Tidak salah lagi. Dia satu-satunya perempuan di tim Vista. Aku dengar Ace menempatkannya di Tim Kreatif 1. Tapi…"

Marco terhenti. Matanya menajam. Ada sesuatu yang berbeda dari Felisha. Gadis itu tidak tampak seperti wanita-wanita glamor yang biasa dekat dengan adiknya. Felisha tampak terlalu sederhana. Terlalu polos. Terlalu... nyata.

"Ini semua sama sekali tidak ada artinya," ucap Edward akhirnya, menghela napas berat, lalu kembali melangkah.

Marco hanya bisa menduga-duga maksud dari ucapan ayahnya, hingga ia ikut beranjak dari sana.

Sementara itu, di ruang rapat yang mulai sepi, Vista memberi arahan singkat pada tim kecilnya.

"Besok kalian datang dengan ide iklan masing-masing. Buatlah satu halaman ilustrasi untuk konsep utama. Besok kita akan konfirmasi tema dan produknya. Kalian harus fokus. Kompetisi ini bukan main-main."

Haruto, Eric, dan Vero—ketiga anggota tim kreatif 1—menyahut cepat dan penuh semangat.

Felisha menyusul, sedikit lambat. "Baik, Tuan Vista. Terima kasih atas kesempatannya."

Vista menatap Felisha dengan sorot antusias. “Aku yakin kau bisa memberikan warna baru di tim ini.”

Tiga pria tadi saling bertukar pandang. Wajah mereka menyiratkan ketidaksenangan. Haruto melirik Eric, Eric memutar mata, sementara Vero hanya tersenyum tipis.

Felisha menyadari ketegangan itu. Tapi ia memilih diam, memasang wajah tenang, lalu berpamitan dengan sopan. Begitu Vista mengakhiri pembicaraan, ia pun melangkah pergi, menuruni koridor yang kini terasa panjang dan sunyi.

Wawancara yang menyebalkan, lalu rapat yang mendadak dan penuh kejutan—semuanya berputar di kepalanya seperti pusaran air yang tak kunjung reda. Sementara tiga rekannya telah meninggalkannya begitu saja tanpa sedikitpun basa basi.

“Hah…” desahnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan. “Aku harus bagaimana sekarang?”

Belum sempat ia mengambil langkah selanjutnya, sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya dari sisi lorong. Gerakan itu tak kasar, namun cukup kuat untuk menyeret tubuhnya ke dalam sudut koridor yang lebih sepi—tersembunyi dari pandangan umum. Felisha tersentak, kaget, tubuhnya refleks menegang.

"Apa—?!"

Di sana, berdirlah Ace, menatapnya dari dekat dengan senyum mengganggu yang khas.

“Apanya yang harus bagaimana?” gumam Ace rendah, suaranya dalam dan mengandung godaan halus yang membuat bulu kuduk Felisha berdiri.

Felisha seketika menepis tangan Ace dari lengannya. Wajahnya memerah—bukan karena malu, tapi karena kesal setelah tahu siapa pria itu sebenarnya.

“Jangan sentuh aku sembarangan,” desisnya, menatap tajam. “Kau pikir kau siapa?”

Ace hanya tersenyum, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan seolah ingin menantang lebih jauh. “Kepala divisi, bukan sembarang orang,” jawabnya ringan.

Felisha menghela napas panjang, berusaha mengontrol dirinya. Ia tahu batas—tidak boleh sembarangan meledak pada atasan. Tapi, sikap Ace begitu menyebalkan.

“Untuk saat ini aku tidak ada urusan denganmu,” ujarnya, menoleh ke samping, enggan menatap mata pria itu. “Jadi, tolong minggir.”

“Tapi aku punya urusan denganmu,” balas Ace santai. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Apa lagi sekarang?”

Ace menaikkan alis. “Mungkin dimulai dari... menyebut namaku. Sepertinya kau belum tahu namaku, kan?”

Felisha menoleh tajam. Tentu ia ingat nama yang disebutkan Theo tadi sebelum si penggoda wanita ini naik podium untuk berpidato.

"Tuan Ace. Sudah cukup?”

Senyum Ace pun melebar. “Ah, ternyata tahu. Kukira kau terlalu sibuk mendesis kesal sampai lupa.”

Felisha hendak melangkah pergi, tapi Ace lagi-lagi menahan lengannya. Kali ini genggaman itu lebih tegas. Tak menyakitkan, namun cukup untuk membuat Felisha benar-benar muak.

“Lepaskan!” serunya, suaranya sedikit meninggi. “Menurutmu ini lucu?”

“Aku cuma ingin bicara, Felisha,” ucap Ace, nada suaranya tenang, terlalu tenang.

Felisha menatap pria itu tajam. “Kenapa kau terus menggangguku? Apa kau pikir semua ini permainan?”

Ace menatap balik, tetap tenang. “Aku tertarik. Memangnya salah kalau aku ingin mengenalmu lebih jauh?”

Felisha menepis tangannya dengan kasar kali ini, membuat Ace mundur sedikit. “Kenapa kau harus menjadikanku targetmu? Dari semua staf baru, kenapa harus aku?”

“Karena kau berbeda.”

“Berhenti mengada-ada,” bentak Felisha. “Aku tahu pria sepertimu. Menggoda wanita, mempermainkannya, lalu bosan. Aku bukan salah satu dari daftar koleksimu!”

Ace mengangkat tangan, seolah tak bersalah. “Hei, jangan salah paham. Aku tidak berniat merendahkanmu.”

“Kau menyentuhku tanpa izin. Menarikku ke sudut sepi. Kalau bukan merendahkan, itu apa namanya?!”

Sesaat, Ace terdiam. Baru kali ini ada wanita yang berbicara seperti itu kepadanya—dengan lantang, tanpa takut, bahkan setelah tahu siapa dia.

“Kau tahu aku kepala divisi, kan?” gumam Ace, seolah masih mencoba memahami situasinya sendiri.

“Justru karena itu aku harus bersikap profesional. Bukan berarti aku harus diam saat dipermainkan. Di atasmu masih ada direksi utama. Ingat itu.”

Ace tersenyum miring. “Kau ini benar-benar berani, ya.”

Pria itu kemudian tertawa. Tertawa keras, lepas. Sungguh, Felisha membuatnya ingin terus tertawa—antara kagum dan geli.

Sementara Felisha hanya mendengus kesal. “Sudah puas tertawanya? Kalau tak ada hal penting yang ingin kau katakan, aku pergi.”

Ia memaksakan diri terdengar sopan, meski nada suaranya tetap tajam.

Ace, tentu saja, belum selesai.

“Butuh tumpangan lagi?” godanya sambil menyender santai ke dinding.

“Tidak,” jawab Felisha tegas. “Aku lebih memilih pulang dengan bis daripada berhutang budi padamu.”

“Gratis, kok. Hari ini suasana hatiku sedang bagus karena sudah melihatmu.”

“Kalau begitu, biar aku bayar ongkos bis sepuluh kali lipat,” tukas Felisha, lalu benar-benar pergi tanpa menoleh lagi.

Ace hanya bisa tertawa kecil, menggelengkan kepala. Gadis itu benar-benar seperti badai kecil—kasar, tiba-tiba, tapi menyegarkan.

Tak lama, terdengar langkah berat mendekat dari ujung koridor. Theo muncul dengan ekspresi penasaran. “Gila, kau benar-benar ke sini cuma buat dia?”

Ace menyeringai santai. “Kalau iya, memangnya kenapa?”

“Aku heran. Maksudku… dia biasa saja. Tidak seperti seleramu yang biasanya, seksi dan menggoda.”

Ace menoleh sambil nyengir. “Kau belum tahu, yang seperti dia itu sangat mengggigit”

Mendadak Theo melongo. Pandangannya turun ke resleting celana Ace. “Jangan bilang dia sudah—”

Kontan Ace menjepit leher pria konyol dengan tangan kekarnya. “Pikiranmu itu, ya, kotor melulu!”

“Aku kan cuma bertanya!” Theo menggeliat, berusaha melepas cekikan main-main itu.

“Dia belum menyentuhku sekalipun,” ucap Ace sambil tertawa. “Tapi dia sudah membuatku berpikir semalaman.”

“Luar biasa,” gumam Theo sambil terbatuk. “Kau mulai jatuh hati, ya?”

“Entahlah,” bisik Ace. “Tapi yang jelas, aku belum pernah ditolak semenyakitkan ini sebelumnya. Dan entah kenapa, aku malah suka.”

"Aneh sekali. Tapi selamat, deh. Semoga kalian langgeng."

"Selamat apanya? Aku harus menyusun strategi untuk mencuri hatinya. Kau temani aku ngopi, ya."

"Tapi lepaskan dulu leherku! Aku bisa mati sebelum kalian berdua pacaran!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 19 - Secangkir Harapan

    "Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 18 - Dua Wajah Di Sore Itu

    Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 17 - Yang Tak Bisa Dimaafkan

    Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 16 - Antara Dua Dunia

    Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 15 - Bayang-bayang Felisha

    BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 14 - Di Puncak Pengkhianatan

    Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status