Usai sudah perjalanan hari ini, badanku begitu lelah karena membawa Kayla berkeliling kota seharian. Perutku terasa mual, mungkin karena aku kurang makan nasi yang membuat asam lambungku naik.
Kepalaku menjadi pusing saat melihat berbagai kekacauan di dapur jangan ditanya lagi, berantakan itulah kondisi dapur ini sekarang.
Kubuka rice cooker berharap ada nasi disana yang bisa kumakan tapi nihil sebiji pun tak ada.
Kuhembuskan kasar nafasku kesal, lelah, lapar, semua jadi satu ingin sekali ku berteriak memanggil bibi agar segera menyiapkan makanan untukku, tapi kusadar diri dimana aku berada.
"Heh ngapain bengong buruan beresin tuh," kata mas Arman membuyarkan lamunanku.
Tak ingin mendengar lebih lagi banyak kata-katanya yang menyayat hati, tangan ini spontan bergerak dan membereskan semua kekacauan di rumah ini walau perut ini tak bisa diajak kompromi.
***
Ting! bunyi notifikasi dari ponselku.
[Nisa Mama dan Papa sudah sampai di Jakarta, sekarang kami sudah di rumah] ah rupanya Mama.
[Mama kenapa gak kabarin Nisa? kan Nisa bisa jemput di bandara] balasku.
[Mama gak mau ngerepotin kamu, wong supir Mama sudah stay di bandara tadi, besok kamu ke rumah ya bawa suamimu sekalian kami ingin berkenalan dengannya]
Tidak mungkin kubawa mas Arman pada Mama dan Papa, Menatap wajahnya saja aku sudah tak sudi apalagi mengenalkannya pada keluargaku.
[Hmmm kayaknya besok suamiku sibuk deh Ma, gak bisa nemenin aku ke rumah] balasku berbohong.
[Yasudah kamu bisa kan ke rumah sendiri, Papa sudah kangen banget sama kamu katanya]
[Bisa dong Ma]
[Yasudah Mama mau istirahat dulu, kamu juga cepat tidur besok jangan lupa ke rumah]
Mama dan Papa rupanya sudah sampai di rumah, tak sabar ingin melepas rinduku pada mereka mungkin dengan melihat senyum tulus mereka beban deritaku sedikit berkurang.
Tapi apa yang harus kukatakan besok jika Mama dan Papa menanyai seputar rumah tanggaku, belum siap diri ini mengakui segala kebodohan yang telah ku ciptakan sendiri. Andai saat itu aku tidak percaya sepenuhnya pada mas Arman, mungkin saat ini aku masih menikmati hidupku yang penuh kebahagian. Entah nafsu apa yang membuatku mau menerimanya tanpa mempertimbangkan segalanya.
Waktu sudah menunjukan pukul 22.15 tapi mata ini sedikitpun belum bisa terpejam memikirkan apa yang akan terjadi besok. Hatiku bahagia karena bisa kembali berjumpa dengan Mama dan Papa, tapi disisi lain aku juga takut bila diriku tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Istighfar terus terucap di bibir ini agar hati ini menjadi lebih tenang, aku pasrah pada garisan takdir dari Illahi semoga Allah membantuku keluar dari neraka ini.
****
Pagi ini kuputuskan untuk pergi ke rumah Mama setelah mengantar Kayla ke sekolahnya, sebelumnya aku telah meminta izin pada mas Arman jika aku akan pergi menemui orang tuaku biar bagaimana dia masih suami sahku sehingga wajib bagiku untuk meminta izin sebelum melakukan apapun. Beruntung hari ini mood mas Arman sedang baik sehingga ia mengizinkanku dan bersedia menjemput Kayla nantinya.
Hiruk pikuk suasana Jakarta menyertai perjalananku apalagi hari ini adalah hari Senin, yang mana kepadatan akan menyesaki jalanan kota.
Usai dua jam menempuh perjalanan akhirnya diri ini tiba di tempat yang ku tuju. Mama, Papa dan segala aktivitasku di rumah ini membuatku meneteskan air mata, kerinduan-kerinduan ini makin menelisik relung hati menambah sesal yang kian menggerogotiku.
"Mbak...... mbak Nisa," sapa Bi Inem art di rumah orangtuaku yang sudah dianggap seperti saudara sendiri.
"Assalamualaikum Bi,"
"W*'alaikumsalam Cah ayu kok baru kelihatan bibi kangen tau," ujarnya tersenyum sumringah kemudian memeluk erat tubuhku.
Kehangatan ini sungguh menentramkan hati membuatku melupakan sejenak penderitaan yang ku alami.
"Gimana kabarnya Bi?" tanyaku sekedar melepas kerinduan dan kehangatan dan kasih sayang pada wanita paruh baya di hadapanku ini.
"Alhamdulillah Bibi sehat wal afiat, mbak Nisa juga apa kabarnya kalau bibi lihat sekarang mbak Nisa kok kurusan ya,"
Astaga apakah aku sekurus itu sekarang sehingga Bi Inem nampak keheranan melihatku. Dahinya mengkerut netranya memindai tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Eh.... em sehat kok Bi, Nisa lagi diet aja makanya kurusan hehe," balasku sedikit gugup.
"Mama ada di dalam Bi?"
"Injih Cah ayu,"
( iya cah ayu)
Usai melepas rindu pada Bi inem, aku pun berpamitan padanya Inem dan segera melangkahkan satu-persatu kakiku memasuki istana ternyaman bagiku selama ini. Ya rumah ini bagiku adalah istana dengan segala kehangatan membuat hatiku tentram saat menapakkan kaki di dalamnya
Kupejamkan mataku sejenak dan menghirup napas dalam-dalam mempersiapkan diriku agar mampu menghadapi segala pertanyaan yang dilontarkan Mama dan Papa nantinya.
Bismillah........ semangat Nisa, kamu harus bisa terlihat tegar di hadapan Mama dan Papa agar mereka tak curiga dan ikutan sedih.
"Assalamualaikum.....," salamku pada Mama dan Papa yang nampaknya sedang santai di ruang keluarga.
"W*'alaikumsalam," balas keduanya kompak.
Senyum Mama dan Papa tampak merekah menyadari kehadiranku.
Aah.... senyum itu membuat diri ini ingin mengadukan semua derita ini, ingin sekali aku menangis dalam pelukannya sambil bercerita tentang semua hal yang telah ku alami.
"Anisa.... ayo sini Nak Mama kangen banget sama kamu," panggil Mama. Tanpa berpikir panjang gegas aku menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya tanpa terasa air mataku lolos begitu saja.
"Loh anak Mama kok nangis?" tanya Mama usai melepaskan pelukannya.
"Nisa kangen banget sama Mama dan Papa, makanya Nisa nangis," balasku seadanya.
"Cup cup cup...... anak Papa kangen ya, yaudah sini peluk," kata Papa menggodaku segera kupeluk tubuh lelaki yang menjadi cinta pertamaku, ia tak pernah marah dan sedikitpun tak pernah berbuat kasar padaku sikapnya yang hangat dan lembut membuatku betah berada di sampingnya sangat berbeda dengan sikap mas Arman yang selalu bersikap dingin dan penuh emosi.
Setelah puas melepaskan kerinduan akupun diajak oleh keduanya ke ruang makan rupanya mereka telah menyiapkan segala makanan kesukaanku.
Ikan asin pedas manis, tempe mendoan, Kentucky ayam, soto ayam, beserta nasi kuning tampak begitu menggoda. Biarpun aku lahir dan dibesarkan di kalangan berada namun selera makanku begitu sederhana.
"Kami tau kalau putri tercantik di rumah ini akan pulang, makanya Mama dan Bi Inem menyiapkan ini semua," ujar Mama.
"Ayo Nak kita makan sama-sama, sudah lama kita tidak makan semeja," kata Papa.
Hidangan istimewa ini memang membuatku tak sabar untuk menikmatinya, apalagi Mama dan Papa yang menemaniku. Sungguh nikmat tiada tara semua beban derita yang kutanggung bagai hilang begitu saja, dengan lahap ku suapkan sesendok demi sesendok nasi yang berwarna khas kunyit dan gurihnya santan hingga perut ini penuh yang artinya aku sudah kenyang.
Usai santap menyantap kami kembali bersantai di ruang keluarga yang memang menjadi tempat favoritku, Mama, dan juga Papa.
"Gimana Nis suami kamu baik gak orangnya kenapa sih gak nunggu kamu untuk nikah?" tanya Mama membuka percakapan.
"Emm...... Mas Arman baik kok orangnya dan pengertian, maafin Nisa karena kami gak pengen lama-lama menjalin hubungan tanpa ikatan nikah takut nanti zina," Gusti maafkan hamba bila harus berbohong lagi.
"Maa sya Allah anak Solehah Papa," puji Papa.
Maafkan anakmu ini Ma, Pa Nisa kembali membohongi kalian semoga kalian mengerti, aku hanya tidak ingin kalian sedih dan kepikiran.
"Hmmm.... syukurlah kalau suami pilihanmu adalah orang yang tepat untuk memimpin kamu," ujar Mama.
"Oh iya nama suami kamu siapa ya? Papa lupa soalnya,"
"Mas Arman Pa," jawabku.
"Kerja dimana dia Nis?" tanya Papa lagi.
"Manajer keuangan di PT. Argantara Pa,"
Mama dan Papa manggut-manggut mendengar jawabanku, untung saja pertanyaan mereka tidak aneh-aneh sehingga aku dapat menjawabnya tanpa berpikir panjang.
Hari ini kuhabiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan Mama dan Papa toh aku sudah izin sama mas Arman kalau aku akan pergi dan pulang terlambat.
Tringtungtingtunh...... tringtungtingtung.....
Ponselku berbunyi nampaknya ada sebuah panggilan masuk, ah panggilan dan mas Arman ada apa lagi dengannya.
"Halo assalamualaikum ada ap......" belum selesai kata-kataku tapi si penelepon lagi-lagi membuatku ingin kembali menangis.
"Kamu tau waktu gak sih? sudah sore begini belum sampe dirumah , pulang sekarang atau gak usah kembali lagi!" kata mas Arman dari seberang nada bicara begitu ketus sambungan teleponnya pun langsung dimatikan, benar-benar manusia tidak punya hati. Ku tahan buliran air bening yang siap meluncur bebas kapanpun, lekas kuusap kedua mataku menggunakan punggung tangan agar Mama dan Papa tidak curiga denganku. "Ma Nisa pamit dulu ya sudah sore takut nanti mas Arman khawatir," pamitku pada Mama yang sedang mempersiapkan menu untuk makan malam nanti. "Berarti kita nggak makan malam bareng dong sayang, yasudah kamu hati-hati ya dijalan," **** Sekitar pukul 06.20 petang aku baru sampai di rumah mas Arman, wajah dinginnya menyambut kedatanganku air mukanya menggambarkan jika mas Arman sedang kesal dan menahan amarah. "Assalamualaikum Mas," salamku. "hmmm," begitu balasnya sungguh membalas salamku dengan ucapan yang benar pun berat baginya. "Masih ingat pulang rupanya ya," ucapnya dingin.
"Menjanda? apa maksudnya Mas?" tanyaku penuh rasa penasaran. "Bukan apa-apa, lupakan!" Dasar manusia aneh dia yang bertanya, dia pula yang tak ingin membahasnya. Tanpa basa-basi lagi mas Arman merapikan jas ya dan menenteng tas kerjanya dan berangkat ke kantor. Inilah rumah tanggaku yang katanya pengantin baru tapi tidak ada kemesraan di dalamnya. Dengan cekatan tangan ini membereskan dan merapikan rumah sebesar ini. Harusnya ada asisten rumah tangga yang membantuku untuk mengerjakan ini semua, tapi apalah daya aku tak bisa meminta itu dari pria yang KATANYA adalah Suamiku. Karena hari ini aku tidak perlu menjemput Kayla di sekolah, maka kuputuskan mengisi waktu yang kosong ini dengan membaca novel secara online di ponsel. Sedari dulu aku memang sekali membaca novel, apalagi novel romantis itulah mengapa aku ngebet nikah sama mas Arman ya supaya bisa romantis-romantisan sama pasangan halal. Memang ya ekspetasi akan berbeda jauh dengan realita seperti yang aku alami saat ini. Di
"Beraninya kamu ngomong begitu sama Anita?" kata mas Arman dengan suara lantang, aku yakin Nita di sana sedang senyum penuh kemenangan. "Memang kenapa Mas kan memang benar kan," balasku sesantai mungkin, aku sudah tak selemah kemarin Mas. "Kamu minta maaf sama Nita sekarang atau..." "Atau apa mas?" "Aku akan membuat hidupmu lebih menderita dari sekarang!" Mas Arman mengancam ku. "Ya sudah lakukan saja hidupku memang sudah menderita sejak menikah denganmu Mas," tantang ku. "Oke kalau itu mau mu," "Baiklah Mas tapi jangan marah kalau Bibi Kayla dan keluargamu tau jika aku ini adalah istri barumu yang sah!" kataku dengan suara lantang. Tut Tut Tut ...... Mereka memutuskan sambungan telepon secara sepihak, apakah kata kataku tadi berhasil menciutkan nyali keduanya? ah entahlah yang penting aku sudah puas karena sudah tidak terlihat lemah lagi di hadapan keduanya. **** Suara deru mesin mobil mas Arman sudah terdengar, tapi tumben hari ini dia pulang lebih awal biasanya kan dia a
"Nita sudah cukup!" kata mas Arman tiba-tiba. "Tapi sayang aku begini karena kelakuan istri kamu yang gak becus itu," "Mungkin kamu yang salah makan tadi kalau Nisa yang gak bener masaknya pasti aku juga akan sakit perut buktinya hanya kamu kan yang bermasalah," "Kamu belain dia sayang? dia udah bikin aku keracunan tau," "Lebih baik kamu sekarang ke kamar mandi tuntaskan hajatmu daripada membuat keributan disini," balas mas Arman dengan tatapan dingin pada Nita. Wah rasanya aku tak percaya melihat rencana licik ku sukses membuat mereka berselisih, ini baru awal Nita tunggu saja pembalasan selanjutnya. "Kamu tega Mas! hiks hiks hiks," ucap Nita meninggalkan meja makan sambil menangis. Padahal aku memberi obat pencahar dalam makanan Nita hanya sedikit, tapi efeknya bekerja dengan cepat. Maafkan aku Nita bukan maksudku untuk meracuni mu tapi kalau hanya dengan omongan kau tidak akan pernah mendengar ku mungkin dengan cara seperti ini kau akan mundur dan melepaskan mas Arman. Ki
"Mas...... aku mohon hentikan," Mas Arman sedikitpun tidak mendengarkan kata-kataku ia semakin buas dan menatapku dengan liar. Kedua tangannya yang kekar mencengkeram kuat tubuhku hingga aku semakin tak berdaya. Aku pasrah tidak berdaya air mataku tak henti-hentinya mengalir, tubuhku dan hatiku sangat menolak tetapi nafsu telah menggiring mas Arman melakukan ini. "Aaakh sakit Mas.....," pekik ku saat tangannya mulai menjarah bagian dadaku. Bukannya menghentikan kegiatan tangannya dan menyudahi semua ini Mas Arman justru menyumpal bibirku dengan bibirnya sehingga membuatku kesulitan bernafas. Tangannya menggerayangi tubuhnya dan melucuti pakaian yang ku gunakan satu persatu. Dia sama sekali memperdulikan diriku yang tengah kesakitan karena perlakuan kasarnya, jangan tanya nikmat atau tidaknya karena pasti jawabnya adalah sangat tidak mengenakkan justru sangat menyiksa. Dia mulai melakukan hal itu padaku, suara suara desahan yang keluar dari bibirnya membuat bulu kudukku merinding
Setelah kepergian mas Arman ku paksakan diriku untuk mandi sekedar membersihkan badanku, aku tak mau memanjakan rasa sakit yang tengah bersarang di tubuhku karena jika dimanjakan sakit yang biasa saja bisa menjadi penyakit sebenarnya. Rasanya badanku sedikit ringan usai dibersihkan, kepalaku yang tadinya pusing sudah mulai membaik dan mataku yang tadinya berat pun sudah kembali normal. Hanya saja badanku masih terasa sedikit nyeri, mungkin akibat aktivitas semalam. Aku belum pernah melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan mas Arman bisa jadi nyeri yang tengah ku rasakan merupakan bentuk ketidaksiapan dari tubuh. Suara deru mas Arman sudah terdengar, terlihat beberapa cemilan dan dua bungkusan yang ditentengnya dalam plastik. Kutebak isi dalam bungkusan tersebut adalah nasi kuning, aromanya begitu khas dan sangat kukenal. "Cepat sarapan dulu," ucapnya sambil berjalan ke ruang makan aku hanya mengikutinya dari belakang. Sebelum menyantap sarapan aku mencuci tangan terlebih dahu
Ku hembusan nafasku secara perlahan, untuk menenangkan hatiku yang sedang berkecamuk dan di selimuti oleh ketakutan. Bibir ini terus melafazkan istighfar agar menjadi lebih tenang, dan berusaha berpikir positif. Ku yakinkan diri sendiri bahwa tidak ada apa-apa dan semua baik-baik saja, pria itu hanya kebetulan memarkirkan mobilnya dan tidak sedang mengintai ku. Ku tepis pikiran pikiran negatif yang sempat meracuni otakku. "Semoga yang sempat kupikirkan tadi tidak benar, dan semua baik-baik saja." kataku pada diri sendiri. Setelah keadaanku terasa lebih baik dari sebelumnya, ku seduh coklat hangat untuk menemaniku membaca novel. Hari-hariku selalu ditemani novel online berbeda jauh dengan dulu, jujur rasanya sangat membosankan. Setiap hari aku harus mengerjakan pekerjaan rumah, antar jemput Kayla, dan membaca novel online, semua kegiatan itu terasa sangat monoton. Tidak ada canda tawa yang mengisi kesunyian hari-hariku, berbeda jauh dengan dulu kala dimana setiap hari aku bebas mel
Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuhmu yang kecil ini, dengan sekali sentakan aku mampu mematahkan tulang mu," ucap mas Arman datar dan dingin. Aku hanya diam dan kaku, tak bisa ku bayangkan bila mas Arman serius dengan kata katanya barusan, bagaimana jika dia benar-benar mematahkan tulang ku dengan kedua tangan kekarnya? "Jika kamu masih mau hidup dan selamat lebih baik ikuti saja semua kata-kata ku dan jangan pernah campuri urusan ku dan Nita," ucapnya "Dan ingat status mu saat ini hanyalah pembantu berkedok istri, jangan pernah kau ajari saya tentang pernikahan aku tak pernah tertarik padamu," lanjutnya. Berdebar jantungku berdebar nafasku tercekat saat tangan kirinya mencengkeram leherku dengan kasar, penampakan nya seperti malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawaku kapanpun. "Sa-sakit Mas," ucapku terbata-bata menahan sakit di pergelangan tangan dan leherku. Bukannya iba denganku mas Arman justru memperkuat cengkeramannya di tanganku menambahkannya rasa nyeri disan