Kini aku telah berada di pinggir jalan. Ternyata menunggu taksi di malam hari tidak mudah. Dari tadi aku berdiri di depan jalan, tetapi belum ada juga taksi yang lewat. Mungkin di sini bukan jalanan yang sering dilewati oleh taksi. Aku sudah melepas high heels dan memilih tidak memakai alas apapun di kaki. Aku bukan perempuan yang biasa menggunakan high heels. Lebih memilih keluar dari dalam restoran dengan berjalan kaki. Saat ini kakiku terasa sangat pegal. Sudah hampir satu jam aku menunggu. Tetapi, belum ada juga taksi yang lewat. Aku sudah tidak bisa berjalan kaki untuk mencari lokasi yang lebih memungkinkan di lewati oleh taksi. Sekarang sudah jam sepuluh lewat. Bagaimana kalau nanti ada orang jahat? Lebih baik aku tetap berada di sini, karena di sekitar sini masih banyak penjual yang belum menutup toko. Aku menoleh saat bunyi klakson terdengar. Sebuah mobil berhenti di depanku. Aku langsung teringat Pak Firman. Dosen aneh itu pernah menolong, saat aku butuh. Apa pemilik mobil
Setelah berkata, Aksa langsung masuk ke dalam mobil dan melaju. Dia tidak peduli padaku yang sedang menangis tersedu-sedu. Aku terduduk lemah di tanah. Entah apa yang terjadi denganku nanti? Kata orang ketika lewat jam dua belas malam, di taman ini banyak orang jahat. Tetapi sudahlah, aku tak peduli lagi. Aku pasrah! Bahkan jika malam ini mata tidak lagi melihat dunia, aku justru bersyukur. Dengan begitu, tidak ada lagi rasa sakit karena di tuduh tentang sesuatu yang tidak pernah aku lakukan. Dan dengan begitu, Aksa akan puas. Dia bisa hidup bahagia bersama Utami. Aku berada di sini sudah lebih dari lima belas menit. Belum ada keinginan untuk pulang, karena masih merasa sangat rapuh. Kaki pun tidak mampu untuk berdiri. Badan masih terduduk di tanah, bertumpu pada kedua kaki yang terlipat kebelakang. Aku tidak mungkin pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Lagi pula ini sudah larut malam. Kalau Pak Candra bertanya dari mana. Aku mau jawab apa. Tidak mungkin aku mengatakan kalau b
*** “Bagaimana kabarmu, Nak?” ujar Ibu. Saat ini aku sedang berbicara dengan ibu lewat panggilan telepon. Tidak biasanya ibu menelpon subuh begini. Baru saja aku selesai sholat subuh, handphone berdering. Tertera jelas tulisan ‘My Mom' di layar. “Masya Allah, aku sudah merindukan suara ini. Alhamdulillah baik, Bu. Kalau kabar ibu dan ayah bagaimana?” tuturku sambil tersenyum. “Rindu seperti apa yang tidak pernah menelpon. Kalau rindu, harusnya kamu selalu menghubungi kami, Nak. Telepon dari ibu saja, sudah jarang kamu angkat. Kamu terlalu sibuk ya sekarang?” “Iya, Bu. Aku minta maaf. Soalnya tugas dari kampus terlalu banyak.” Aku berkata sambil berjalan menuju tempat tidur. Ingin menelepon sambil bersandar di bantal. “Kamu tidak ada masalah kan? Beberapa hari ini perasaan ibu tidak enak karena memikirkan kamu. Apalagi kamu sudah jarang mengangkat telepon dari ibu.” “Alhamdulillah tidak ada, Bu. Aku baik-baik saja kok.” “Bagaimana keadaan Nak Aksa?” tutur Ubu membuat raut wajahk
Empah puluh lima menit telah terlewati, aku akhirnya tiba di Kampus. Saat ini di Kampus sudah banyak mahasiswa. Bahkan ada dosen yang sudah masuk mengajar. Sungguh dosen yang sangat rajin. Sekarang jam di handphone baru menunjuk pukul tujuh lewat tiga puluh dua menit. Aku masih punya banyak waktu untuk bersantai ria di dalam perpustakaan. Mengapa memilih untuk ke Perpustakaan? Karena di sana pasti tidak ada Utami. Dia bukan orang yang hobi membaca. Beberapa hari ini aku berusaha menghindarinya. Bukan karena benci atau marah. Aku hanya ingin tenang, meskipun tidak lama. Karena ketika di dalam kelas, aku pasti akan bertemu dengan Utami. Setiap kali Aksa melihat aku jalan dengan kekasihnya, dia selalu menuduh telah melakukan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan. Aku capek! Sejenak saja ingin istrahat. Untung saja aku menghindar secara cantik. Sepetinya Utami tidak menyadari sikapku. Ketika di ajak jalan, aku juga selalu beralasan ada agenda ke Rumah Pak Firman. Saat masih membaca buk
“Jaga ucapan Bapak! Aku bukan pengemis! Aku bukan wanita murahan seperti yang Bapak kira!” tuturku, terbata melawan tangis. “Jika kamu menolak, aku akan membongkar rahasiamu! Aku tahu kalau selama ini kamu menjadi perempuan simpanan Aksa. Jilbabmu hanya sebagai simbol agar orang-orang menganggapmu perempuan alim! Nyatanya kamu adalah perempuan yang sangat jauh dari kata baik,” ucap Pak Firman dengan nada mengancam. Dia tertawa sinis di akhir kalimat, seolah merendahkanku. Aku menggeleng. Airmata yang ada di kelopak akhirnya tumpah. Bibir tak mampu berkata. Aku ingin berlari meninggalkan Ruangan ini. Tetapi, kaki tidak bisa melangkah. Badanku seakan membeku. Aku terlalu kaget mendengar perkataan yang baru saja keluar dari bibir Pak Firman. Kenapa dia bisa menuduhku seperti itu? Pak Firman tahu dari mana kalau aku dan Aksa punya hubungan? Hanya saja salah, jika menduga bahwa aku perempuan simpanan Aksa. Tuduhan Pak Firman sangat menyakitkan bagiku. “Aku tahu kamu perempuan munafik, D
Kepalaku menggeleng. Mata masih terus mengeluarkan air. “Aku juga nggak tahu, Tam. Kenapa Pak Firman melakukan ini padaku? Kalau memang aku ada salah, terserah dia mau menghukumku seperti apa. Tetapi, jangan memaksaku untuk menikah dengannya.” “Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin berhenti kuliah karena takut bertemu Pak Firman. Semester depan aku target mau KKN, dan berusaha agar cepat wisuda. Kalau mendapat masalah seperti ini, aku takut tidak bisa selesai kuliah tepat waktu … bagaimana perasaan kedua orangtuaku kalau tahu aku bermasalah di kampus?” Aku berkata sambil menangis sesegukan. Selama aku mengeluarkan keluh di hati, Utami hanya mengusap belakangku. Sepertinya dia berusaha menenangkan tanpa memotong ucapan. Aku terharu dengan perlakukan Utami. Setelah perkataan itu, aku pun terdiam. “Kita cari solusinya sama-sama, Del. Tidak usah khawatir, kuliahmu akan baik-baik saja … Percaya denganku! Tidak akan ada hal buruk yang terjadi padamu … Kalau kamu mau, kita mengha
“Kamu tidak usah sedih, Del, karena ini akan menjadi berita baik. Perempuan mana yang tidak ingin menikah dengan lelaki mapan seperti Pak Firman … Sekarang, yuk kita ke kantin. Aku sudah lapar,” ujar Utami sambil tersenyum, dia lalu menarik tanganku untuk berdiri. Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Kalau masih bersedih, Utami pasti akan terus merayu. Dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Nasehat yang keluar dari bibirnya pun percuma, tidak akan membuatku tenang. Saat ini aku dan Utami sedang berjalan menuju kantin. Ketika tiba, ternyata semua tempat duduk sudah terisi penuh. “Kita mau duduk dimana, Tam? Apa kita pesan saja terus makan di kelas?” tanyaku sambil melihat-lihat, mungkin saja ada penghuni kantin yang sudah selesai makan dan akan meninggalkan tempat ini. “Aku ingin makan bakso, Del. Rasanya akan beda kalau makan di Ruang Kelas,” tutur Utami. Dia juga sama sepertiku. Matanya melihat ke sana ke mari mencari tempat duduk yang kosong. “Yuk kita ke sana!” ucap Utam
“Ih, Sayang. Apa sih! Kenapa ngomong gitu?” ujar Utami dengan wajah risih. Aksa langsung diam dan terlihat acuh. Dia seperti merasa seakan tak bersalah. Aku tidak boleh tersulut emosi. Sabar, Del! Terserah Aksa mau mengatakan apa tentangmu. Jangan sampai kamu terpancing. Benak terus berusaha menenangkan diri. Apa sih keinginan Aksa? Apa dia tidak berpikir sebelum bicara? Harusnya dia sadar, kalau perkataannya tadi akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untung saja Utami hanya menganggap perkataan Aksa sebagai guyonan semata. Setelah Aksa berkata seperti tadi, situasi menjadi hening. Ya Allah, harusnya aku pergi saja dari sini. Aku memang tidak pantas berada dalam lingkaran mereka. “Yey, akhirnya datang. Yuk makan, Del. Aku lapar sekali. Dari tadi makhluk-mahkluk dalam perutku sudah konser.” Utami terlihat sangat bahagia ketika makanan yang kami pesan datang. Entahlah, sepertinya Utami hanya ingin mencairkan suasana. Juna akhirnya kembali memulai cerita. Kini situasi sudah kembali se