Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan.
Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju.
Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki.
“Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju.
“Bagus!” ujarku sambil tersenyum.
“Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya.
“Kalau gitu kita cari di tempat lain saja, siapa tahu nanti ada yang cocok.” ujarku sambil tersenyum.
“Jangan dulu, aku masih mau cari di sini.” Utami berucap sambil melihat-lihat baju.
Aku sudah ingin pulang. Kami berada di sini telah lebih dari tiga jam. Padahal ada tiga baju yang akan dia beli. Kalau begini ceritanya, kami akan pulang jam berapa? Aku tidak mungkin pulang malam. Kalau Aksa mencariku bagaimana? Aduh pikiranku, kenapa harus memikirkan Aksa. Mustahil kalau dia mencariku.
“Utami, yuk kita makan dulu. Aku sudah lapar. Sebenarnya dari tadi aku belum makan,” ujarku berbisik pada Utami. Di sekitar kami ada orang, takut ada yang mendengar.
“Ya ampun. Kamu sudah lapar, Del. Kenapa tidak bicara dari tadi? Kita makan dulu, cari baju dilanjutkan nati saja.” Setelah berkata, Utami langsung menarik tanganku. Kami lalu keluar dari toko baju.
Langkah kaki menuju lantai lima Mall. Aku mengikuti Utami. Sepanjang jalan dia masih membahas tentang baju yang ingin dibeli. Aku hanya menyimak tanpa memberi masukan. Sebab gaya berpakaian Utami dan aku sangat berbeda.
Aku sudah beberapa kali menegurnya untuk tidak berpakaian terbuka. Tetapi soal hati, tidak ada yang tahu. Mungkin Allah belum mengetuk hatinya, aku hanya bisa mendoakan.
Aku dan Utami sudah duduk di kursi. Di meja tersedia daftar menu. Utami membaca dan aku hanya memperhatikan.
“Del, kamu mau makan apa?” tanya Utami sambil mata melihat daftar menu.
Aku diam, bingung akan memilih menu yang mana. Tempat makan yang dipilih Utami sangat mahal. Aku pikir tadi Utami ingin makan di luar Mall. Uang yang ada di dompetku tidak cukup untuk membayar makanan semahal ini.
“Pilih saja makanan mana yang kamu mau, aku yang akan bayar,” ujar Utami sambil tersenyum.
“Nggak usah, aku nggak enak kalau kamu bayarin aku,” tuturku sambil mengambil daftar menu.
“Apa sih, Del! Kita kayak baru kenal saja. Udah kamu nggak usah pilih. Aku tulis seperti pesananku.” Tangan Utami langsung bergerak menulis, “nasi ayam bakar dan minumnya es jeruk.” Lalu memencet bel yang ada di meja. Tidak lama kemudian seorang pelayan datang. Utami lalu memberikan kertas pada pelayan.
“Aku ulang baca ya, Mba. Dua nasi ayam bakar dan es jeruk,” ujar pelayan.
“Iya, Mba,” ucap Utami.
“Mohon di tunggu sebentar ya.” Pelayan kembali berkata. Dia lalu menundukan kepala pertanda hormat, sebelum melangkah meninggalkan meja kami.
“Harusnya kamu tidak usah bayarin aku, Utami. Aku masih punya uang kok,” tuturku sambil melipat tangan di atas meja.
“Aku yang meminta tolong ke kamu. Jadi wajar kalau semua biaya makan aku yang bayar. Masa iya, kamu udah capek tenaga, uang kamu juga habis gara-gara temani aku.”
Aku langsung menarik napas. “Terserah kamu saja deh. Aku mengikut,” ujarku dengan wajah tanpa senyum.
Tak lama kemudian, makanan yang dipesan oleh Utami datang. Dia sangat girang. Memang inilah Utami, perempuan yang selalu tanpak bahagia. Dia lalu memasukan makanan ke dalam mulut. Aku masih menatapnya. Kalau dia tahu, jika aku sudah menikah dengan Aksa, apa dia masih seceria ini? Perempuan yang telah lama dianggap sebagai sahabat, tenyata menusuknya dari belakang.
“Del, kenapa nggak dimakan?” tanya Utami dengan mulut masih dipenuhi makanan. Dia berkata dengan kalimat yang kurang jelas.
Aku langsung menarik piring agar tepat berada dihadapan. “Aku makan kok. Ini mau makan.” Tangan mulai memasukan makanan ke dalam mulut. Bibir lalu diam, ingin menikmati hidangan yang sangat mahal ini.
Kalau bukan karena Utami, aku mungkin tidak akan pernah makan makanan yang seperti ini. Jika harus mengikuti selera Utami, kami akan makan di tempat-tempat elit dengan menu yang mahal, dan sudah pasti bukan aku yang akan bayar. Tetapi kadang Utami mengerti, jika aku ingin makan diemperan jalan. Tidak enak hati, jika dia terus mentraktir.
“Del, semalam aku kaget. Aksa minta aku temani dia di apartemen,” ujar Utami sambil melihatku dengan wajah yang tersenyum.
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang
Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik
“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik pada istri. Karena, jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjalani hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya. Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya. Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati. Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan.
Kakiku masih terus melangkah. Pikiran menyuruh untuk pulang sendiri. Tetapi, hati ingin sekali berbicara berdua dengan Aksa. Saat tiba di lobby rumah sakit, aku kaget karena melihat Aksa yang sedang berdiri. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Apakah Aksa menungguku? Oh itu tidak mungkin. Tetapi, siapa yang dia tunggu? Aku melangkah dengan pelan. Kini jarak antara aku dan Aksa sudah tidak terlalu jauh. Tidak lama kemudian mataku terbelalak dan langkahku terhenti melihat perempuan yang menghampiri Aksa. Siapa lagi kalau bukan Utami. Sahabatku itu sekarang sedang bergelayut manja di lengan Aksa. Aku ternyata salah. Alasan Aksa ingin cepat pergi dari ruang inap tadi, bukan karena tidak ingin terlalu lama dekat denganku. Ada alasan yang lebih penting baginya. Harusnya aku tahu dan bisa menebak, jika Aksa ingin bertemu Utami. “Delisia, kok kamu ada di sini?” ujar Utami saat berbalik dan mendapati aku ada dibelakang dia dan Aksa. Aku melirik Aksa. Lelaki itu membuang muka. Dia sepert
Bus terus melaju. Aku memandang keluar jendela. Ingatan tidak bisa secepat itu lupa dengan pesan yang dikirimkan Aksa. Kenapa lelaki itu harus marah. Padahal kan Utami tidak sadar dengan lirikanku. Bisa saja Utami berpikir kalau aku sengaja melihat Aksa karena memang ada Aksa di sampingnya. Bukan lirikan yang aneh-aneh. Ada getaran dalam tas kecil yang aku bawa. Tanganku langsung mengambil. Di layar tertulis nama ibu. Tanpa menunggu lama, aku pun mengangkat “Assalamualaikum, Bu,” ujarku sambil menatap keluar jendela. “Waalaikumsalam, sayang. Kamu sudah makan?” “Belum, Bu. Ini aku lagi di bus. Baru saja pulang dari rumah sakit.” “Kalau begitu nanti jika kamu sudah tiba di rumah baru ibu telepon lagi. Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu.” “Iya, Bu. Kalau sudah tiba, aku akan menghubungi ibu.” "Assalamualaikum." ucap ibu untuk mengakhiri panggilan. Setelah aku menjawab salam, ibu langsung mematikan panggilan. Kalau begini ceritanya, aku harus segera pulang. Aku tidak ingin,
Aksa tidak menjawab pertanyaanku. Entahlah, mungkin dia sedang mengingat-ngingat seperti apa kalimat yang diucapkan Utami saat bersamanya tadi. “Utami ngomong apa tadi ke kamu? Letak salahnya aku di mana?” Aku kembali bertanya, setelah beberapa detik Aksa belum juga menjawab pertanyaanku. Tanpa berkata apapun, Aksa langsung keluar dari kamarku. Mataku terus menatapnya saat melangkah. Hingga saat pintu kamar di tutup dari luar, aku langsung menutup mata. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan. Aku ulangi aktivitas itu tiga kali. “Ya Allah, kenapa aku yang harus disalahkan? Benarkan aku yang salah?” lirihku, sambil membiarkan butir air bening jatuh dari kelopak mata. "Kenapa Aksa tidak menyalahkan Utami karena mempertanyakan hal-hal konyol? Paling nggak, Aksa bilang ke Utami kalau tidak ada yang salah dengan lirikanku." lama merenung, benda pipih yang ada di atas kasur menyadarkan aku. Tanpa melihat, aku sudah tahu siapa yang menelepon. Aku langsung mengangkat, tidak ingin ibu
*** Aku sedang melangkah menuju ruang kelas. Seperti biasa, banyak mata yang menatap dari ujung kaki hingga kepala. Aku tahu, banyaknya orang menatap seperti ini bukan karena cantik. Tetapi, mungkin karena baju yang aku gunakan. perempuan kategori tercantik di jurusan adalah Utami. Teman-teman kelasku sering mengatakan jika cara aku berpakaian seperti ibu-ibu. Karena aku menggunakan pakaian longgar yang tidak membentuk lekuk badan. Aku tidak menyalahkan mereka yang berkata seperti itu. Karena setiap orang memiliki selera penampilan yang berbeda. “Delisia!” Teriakan seseorang dari belakang, membuat aku berbalik. Aku mengenal suaranya. Ya dia adalah Utami. Perempuan yang berstatus sebagai kekasih suamiku. Aduh, kenapa pikiranku begini. Kok aku jadi sinis dengan Utami. Yuk bisa yuk, Utami adalah sahabatmu, Delisia. Hilangkan perasaan-perasaan aneh itu. Aku berusaha menghilangkan pikiran buruk yang mengganggu. Bibirku tersenyum dan tangan terurai untuk menyambut Utami. Dia perempuan