Share

Bab 7. Menemani Utami

Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan.

Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju.

Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki.

“Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju.

“Bagus!” ujarku sambil tersenyum.

“Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya.

“Kalau gitu kita cari di tempat lain saja, siapa tahu nanti ada yang cocok.” ujarku sambil tersenyum.

“Jangan dulu, aku masih mau cari  di sini.” Utami berucap sambil melihat-lihat baju.

Aku sudah ingin pulang. Kami berada di sini telah lebih dari tiga jam. Padahal ada tiga baju yang akan dia beli. Kalau begini ceritanya, kami akan pulang jam berapa? Aku tidak mungkin pulang malam. Kalau Aksa mencariku bagaimana? Aduh pikiranku, kenapa harus memikirkan Aksa. Mustahil kalau dia mencariku.

“Utami, yuk kita makan dulu. Aku sudah lapar. Sebenarnya dari tadi aku belum makan,” ujarku berbisik pada Utami. Di sekitar kami ada orang, takut ada yang mendengar.

“Ya ampun. Kamu sudah lapar, Del. Kenapa tidak bicara dari tadi? Kita makan dulu, cari baju dilanjutkan nati saja.” Setelah berkata, Utami langsung menarik tanganku. Kami lalu keluar dari toko baju.

Langkah kaki menuju lantai lima Mall. Aku mengikuti Utami. Sepanjang jalan dia masih membahas tentang baju yang ingin dibeli. Aku hanya menyimak tanpa memberi masukan. Sebab gaya berpakaian Utami dan aku sangat berbeda.

Aku sudah beberapa kali menegurnya untuk tidak berpakaian terbuka. Tetapi soal hati, tidak ada yang tahu. Mungkin Allah belum mengetuk hatinya, aku hanya bisa mendoakan.

Aku dan Utami sudah duduk di kursi. Di meja tersedia daftar menu. Utami membaca dan aku hanya memperhatikan.

“Del, kamu mau makan apa?” tanya Utami sambil mata melihat daftar menu.

Aku diam, bingung akan memilih menu yang mana. Tempat makan yang dipilih Utami sangat mahal. Aku pikir tadi Utami ingin makan di luar Mall. Uang yang ada di dompetku tidak cukup untuk membayar makanan semahal ini.

“Pilih saja makanan mana yang kamu mau, aku yang akan bayar,” ujar Utami sambil tersenyum.

“Nggak usah, aku nggak enak kalau kamu bayarin aku,” tuturku sambil  mengambil daftar menu.

“Apa sih, Del! Kita kayak baru kenal saja. Udah kamu nggak usah pilih. Aku tulis seperti pesananku.” Tangan Utami langsung bergerak menulis, “nasi ayam bakar dan minumnya es jeruk.” Lalu memencet bel yang ada di meja. Tidak lama kemudian seorang pelayan datang. Utami lalu memberikan kertas pada pelayan.

“Aku ulang baca ya, Mba. Dua nasi ayam bakar dan es jeruk,” ujar pelayan.

“Iya, Mba,” ucap Utami.

“Mohon di tunggu sebentar ya.” Pelayan kembali berkata. Dia lalu menundukan kepala pertanda hormat,  sebelum melangkah meninggalkan meja kami.

“Harusnya kamu tidak usah bayarin aku, Utami. Aku masih punya uang kok,” tuturku sambil melipat tangan di atas meja.

“Aku yang meminta tolong ke kamu. Jadi wajar kalau semua biaya makan aku yang bayar. Masa iya, kamu udah capek tenaga, uang kamu juga habis gara-gara temani aku.”

Aku langsung menarik napas. “Terserah kamu saja deh. Aku mengikut,” ujarku dengan wajah tanpa senyum.

Tak lama kemudian, makanan yang dipesan oleh Utami datang. Dia sangat girang. Memang inilah Utami, perempuan yang selalu tanpak bahagia. Dia lalu memasukan makanan ke dalam mulut. Aku masih menatapnya. Kalau dia tahu, jika aku sudah menikah dengan Aksa, apa dia masih seceria ini? Perempuan yang telah lama dianggap sebagai sahabat, tenyata menusuknya dari belakang.

“Del, kenapa nggak dimakan?” tanya Utami dengan mulut masih dipenuhi makanan. Dia berkata dengan kalimat yang kurang jelas.

Aku langsung menarik piring agar tepat berada dihadapan. “Aku makan kok. Ini mau makan.” Tangan mulai memasukan makanan ke dalam mulut. Bibir lalu diam, ingin menikmati hidangan yang sangat mahal ini.

Kalau bukan karena Utami, aku mungkin tidak akan pernah makan makanan yang seperti ini. Jika harus mengikuti selera Utami, kami akan makan di tempat-tempat elit dengan menu yang mahal, dan sudah pasti bukan aku yang akan bayar. Tetapi kadang Utami mengerti, jika aku ingin makan diemperan jalan. Tidak enak hati, jika dia terus mentraktir.

“Del, semalam aku kaget. Aksa minta aku temani dia di apartemen,” ujar Utami sambil melihatku dengan wajah yang tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status