Share

Bab 6. Terasa Sangat Sakit

“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.”

“Iya, Bu. Itu pasti.”

“Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.”

“Iya, Bu.”

Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang sangat menyentuh dari ibu, membuat aku merenung. Jika saja pernikahan sesuai dengan keinginan pasangan, mungkin mudah untuk mengamalkan nasehat itu. Tetapi, untuk suami istri yang menikah tanpa dasar cinta. Apa itu bisa dilakukan? Rasanya sangat berat.

Aku tahu, Aksa tidak mencintaiku. Dia hanya mencintai Utami. Aku pun sama dengannya, meskipun sudah lama kenal, tidak sedikitpun terbesit perasaan untuk mencintai Aksa. Karena dia kekasih sahabatku, status itu cukup jelas.

Aku adalah saksi hubungan antara Aksa dan Utami. Sejak Utami selalu menolak ucapan cinta dari Aksa, lelaki itu semakin semangat untuk mengejar. Utami yang sangat membenci Aksa perlahan luluh, rasa itu berubah menjadi cinta. Aku selalu menjadi pendengar setia ketika Utami mencurahkan isi hatinya.

Meskipun selalu terlontar nasehat dari bibirku, untuk tidak terbuai dengan ucapan lelaki sebelum halal, Utami tidak pernah mendengar. Cintanya pada Aksa yang terlalu besar, sudah menutup pintu nasehat baik dariku.

“Tidak ada yang salah dari hubungan ini. Jika ada yang ingin disalahkan mungkin orangnya adalah aku. Kalau tahu yang dijodohkan denganku adalah Aksa. Aku pasti menolak perjodohan dan pernikahan ini tidak akan terjadi. Sebab aku tahu, dia tidak akan pernah mencintaiku,” lirihku sambil melihat langit-langit kamar. Saat ini aku sedang berbaring di kasur.  Menjadikan tangan sebagai bantalan.

“Bagaiman jika nanti aku yang jatuh cinta pada Aksa? Dalam hidup ini, tidak ada yang pernah tahu, siapa yang akan di cinta saat hari esok. Kami sekarang tinggal bersama dan cinta itu hadir karena terbiasa.” Setelah berkata lirih, perlahan aku menutup mata.

Menikmati angin yang menembus kulit. AC kamar sengaja aku matikan dan jendela kamar sengaja di biarkan terbuka. Aku belum terbiasa tidur menggunakan AC.

Jika mengingat Aksa, air mata kembali berderai. Aku tidak ingin menghapus, biarkan saja berderai. Kalau tidak menangis, rasanya terlalu sakit.  Tidak mengapa, karena salah satu kebesaran Tuhan adalah menangis saat bersedih.

“Tetapi, kalau Utami tahu sekarang aku sudah sah menjadi istri Aksa, dia pasti akan sangat merasakan sakit. Kekasihnya menikah dengan aku, perempuan yang menjadi sahabatnya. Aku juga yakin, dia akan sangat membenciku. Bagaimana caranya aku menjelaskan, jika ini bukan salahku. Bukan keinginanku menikah dengan Aksa. Aku sungguh tidak ingin menjadi perusak hubungan mereka.” Bibir kembali bersuara, mengeluarkan keluh dalam dada.

Handphone bergetar, pertanda sebuah pesan masuk.

‘jangan lupa besok ya. Aku juga ingin cerita banyak tentang Aksa. Selamat tidur, Delisia.’

Aku hanya membaca pesan itu. Lalu kembali menaruh handphone di tempat tidur. Memaksa diri untuk terlelap meskipun pikiran masih berkecamuk. Hatiku terasa sangat sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status