Memikirkan ucapan Rian, aku pun teringat dengan kejadian pada hari itu, saat aku mendapat pesan dari Pak Firman. Setelah menghilang tanpa kabar, dosen itu akhirnya mengirimkan aku pesan. Ternyata Aura sakit, makanya dia sengaja tidak ke kampus. Pantas aku tidak melihatnya beberapa hari.Seperti perintah Pak Firman dalam pesannya, aku di suruh untuk menemuinya di ruangan. Aku ingin segera mengakhiri masalahku dengannya. Sehingga, langsung saja aku penuhi perintah itu.Dua kali ketukan tanganku mengetuk pintu. Terdengar suara dari dalam ruangan, menyuruh untuk masuk. Sambil menunduk, kaki aku biarkan melangkah memasuki ruangan.“Kenapa kamu tidak mengaktifkan handphone di hari minggu itu, Delisia! Kamu ingin aku membuat perhitungan denganmu? … Aku tahu kamu orang miskin yang butuh uang. Jangan sok jual mahal, menolak permintaanku. Aku tahu kamu juga sebenarnya ingin menjadi istriku ‘kan?”Baru saja berdiri tepat di depan Pak Firman, aku sudah di serbu dengan kalimat kasar. Aku memberani
“Del, maaf ‘kan Rian ya. Dia memang orangnya kayak gitu.” Utami berkata saat Rian tidak ada di dekat kami. Rian sedang ke toilet. Suara Utami menyadarkan aku dari memikirkan Pak Firman dan Aura. Aku tersenyum, bibir pun berkata, “iya, Tam. Rian juga pasti nggak serius. Dia hanya ingin berbasa-basi denganku … eemm … kamu ya, yang ngomong ke Rian tentang Pak Firman?” “Maaf, Del. Waktu itu aku cerita ke mereka saat kamu tidak masuk kuliah. Gimana ya, aku hanya cerita lepas aja gitu. Maaf ya, kamu jangan marah ke aku. Sungguh, aku tidak bermaksud menceritakan ke orang lain apa yang kamu percayakan ke aku.” ujar Utami dengan wajah memelas. “Iya, nggak apa-apa kok, Tam. Aku hanya tanya saja.” Aku berkata dengan senyum yang tak hilang dari wajah. Aku sungguh tidak marah. Berkoar-koar untuk marah bukan hal yang baik untuk di lakukan. Apalagi semuanya sudah terlanjut Utami katakan. Untuk apa juga harus marah. Kalau pun aku marah ke Utami, semua perkataan Rian belum tentu menjadi baik. Apala
Setelah semua persiapan selesai, aku pun duduk di sofa yang ada di depan televisi. Baru saja duduk satu menit, Utami telah memanggilku.“Iya, Tam,” ujarku. Berdiri menghampiri Utami. Terlihat Rian sedang melangkah. Aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan.“Cepat sembunyi. Aksa dan Juna sudah tiba. Mereka sedang menuju ke sini.” Utami berkata dengan cepat. Seolah di buru waktu. Dia lalu berdiri di belakang pintu. Aku pun mengikuti Utami.“Saklar lampu ruangan santai di mana, aku tidak tahu,” teriak Rian. Ternyata dia sedang mencari keberadaan saklar lampu.Aku langsung meninggalkan Utami untuk mematikan lampu. Aku baru tahu, meskipun Utami dan teman-teman Aksa sering ke sini, mereka belum terlalu mengerti lika liku apartemen. Setelah mematikan lampu, aku kembali ke tempat tadi aku berdiri.“Ternyata feeling seorang Delisia, tidak bisa di ragukan. Tadi kamu tahu tempat pisau dan piring. Sekarang kamu tahu letak saklar lampu. Untung saja aku bawa kamu di sini. Kalau tidak, aku dan Rian
Tibalah saatnya pemotongan kue. Aku tidak ingin berharap menjadi yang pertama, karena sudah jelas bukan aku yang berada di posisi itu. Benar saja, untuk kue potongan pertama, Aksa langsung memberikan pada Utami.Kue kedua bersama Aksa memberikan untuk Juna dan Rian. Dari cara memberikan kue, aku bisa menebak jika posisi Juna dan Rian untuk Aksa, sama. Aksa tidak bisa melebihkan posisi antara satu orang di hatinya.“Pinjam pisaunya,” ucap Juna. Dia lalu memotong kue lagi. Mungkin rasa kuenya terlalu enak, makanya dia ingin tambah.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pergerakan mereka Utami dan Aksa. Bahkan kini Utami tidak menawarkan aku untuk berdiri di antara mereka – berdiri tepat di sekeliling kue tar. Mungkin dia lupa karena sedang asyik menikmati kue? Atau dia tidak sadar jika ada aku di sini, berdiri di belakang Rian. Ahh, aku harus bisa berpikir positif agar tidak terlalu merasa sakit hati.“Del, ini!” ujar Juna sambil menghampiriku. Di tangannya ada piring kecil berisi po
Aku dan Utami sudah berada di dalam mobil. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Perlahan-mobil mulai keluar dari tempat parkiran. Hanya keajaiban dari Allah yang bisa menolongku dari sini. Aku sudah pasrah.Baru saja keluar dari gerbang apartemen, handphone Utami berdering. Dia lalu menghentikan mobil untuk mengambil handphone yang ada dalam tasnya. Kenapa dia tidak meminta tolong padaku? Padahal aku duduk di kursi mobil yang ada di sampingnya.“Hallo, sayang! Ada apa?” Suara lembut Utami menyadarkan aku kalau yang menelepon adalah Aksa.“Aku nggak mau. Masa Delisia aku suruh pulang sendiri. Tadi dia ke sini denganku. Sejak pulang kampus kami sudah sama-sama. Jadi aku juga yang harus mengantarnya pulang”Dari perkataan Utami, aku bisa menebak jika Aksa mencegahnya untuk mengantarku. Mungkin Aksa khawatir jika Utami mengendara sendiri di malam hari. Tidak mungkin dia mengkhawatirkan aku.“Ya sudah kalau gitu, aku tanya Delisia dulu ya.”Mendengar namaku di sebut, aku langsung menoleh, Uta
“Aku masih ingin di sini. Kenapa kamu masih berada di sini? Kamu kembali saja,” ujarku dengan suara pelan. Aku tidak ingin menanggapi Aksa yang kelihatannya sedang marah. Saat ini aku tidak ingin marah-marah. “Oh iya, selamat ulangtahun ya. Aku rasa, aku tidak perlu memberimu kado seperti teman-temanmu. Karena aku tahu, kado dariku hanya akan di taruh ke tong sampah.”“Ternyata kamu sudah berani melawanku, ya. Sudahlah, malam ini kamu tidur di luar saja! Aku juga tidak butuh ucapan selamat ulangtahun dari kamu. Asal kamu tahu, acara ulangtahun tadi adalah acara yang paling aku benci dalam hidupku. Karena tadi ulangtahun pertamaku, setelah menjadi suami dari perempuan paling jelek di dunia.” Aksa kembali berkata. Bukannya pergi, dia justru melangkahkan kaki untuk mendekat.Dasar laki-laki aneh. Kenapa dia malah mendekatiku. Terserah apa yang akan dia katakana. Aku sungguh sedang malas berdebat. Aku tidak menggubris ucapannya. Aku juga tidak menghiraukan keberadaan Aksa di sini. Mata k
***Aku bangun di sepertiga malam. Setelah melaksanakan sholat tahajud, aku pun keluar dari kamar. ingin bersih-bersih apartemen, sekalian membuatkan sarapan untuk Aksa. Meskipun hingga kini, Aksa belum juga memakan sarapan yang aku hidangkan di atas meja, tetapi aku akan tetap melaksanakan salah satu tugasku sebagai istri – Memberikan pelayanan pada suamiku.Saat menuju ruang makan, terlihat jelas makanan yang ada di atas meja masih rapi. Aku pun mengambil untuk memanaskan kembali. Hingga kini, aku masih masak untuk satu porsi, karena sadar jika Aksa tidak akan makan masakanku. Kalau aku masak untuk dua porsi, pasti setiap hari makanannya akan aku buang.“Ini di mana? Kenapa aku bisa berada di sini?”Terdengar suara dari dalam kamar Aksa. Aku menghentikan langkah kaki. Diam sejenak dan berpikir. Aku lalu berjalan menuju kamar Aksa, dengan benak yang penuh tanya.Pintu kamarnya tidak di kunci, aku langsung masuk. Tenyata Aksa hanya mengigau. Aku memperbaiki selimut yang kini sudah tid
“Delisia.” Aksa kembali memanggil. Masih dengan suara yang sama.Aku pun berbalik, maju dua langkah kecil ke depan. Tidak ingin membuat Aksa kesal, jika aku tidak berbalik.“Mengapa kamu tidak mengikuti aturan yang aku buat? Kamu ingin cari masalah denganku? Kenapa kamu berani masuk ke dalam kamarku? Aku tidak butuh pertolongan dari kamu, Delisia!” tutur Aksa pelan namun menusuk.Aku terdiam di tempat. Aku memang salah, telah masuk di dalam kamar Aksa. Tetapi, mustahil aku masih mengingat tentang aturan dalam kontrak pernikahan, saat mendengar suara Aksa yang terdengar aneh. Aku yakin, siapapun yang mendengar pasti akan melakukan hal yang sama dengan aku.“Kamu memang perempuan yang tidak tahu malu, Delisia! Beraninya masuk ke kamar laki-laki. Kelakuanmu ini pantas di sebut sebagai perempuan murahan!” tutur Aksa lagi, dengan suara lemah, namun terdengar tegas.Lelaki ini sudah benar-benar tidak punya hati. Dia sedang sakit, tetapi masih bisa mengucap kalimat pedas padaku. Bukannya ber