Aku tetap tak mau kalah. "Bisa aja, kan. Mereka sengaja sandiwara demi menguras hartamu. Cewek kayak Nindi mah yang ada di otaknya cuma duit aja. Gimana caranya dia bisa dapet duit banyak buat biaya perawatannya ke klinik kecantikan. Atau bisa juga Jems ada kepentingan lain yang memanfaatkan Nindi."Lelaki itu sejenak mengernyitkan kening. Kemudian, dia tampak menarik napas yang kuketahui dari dadanya yang mendadak bergerak naik turun."Aku udah tanyain, kok. Dia posting foto saudaranya yang tunangan, ya wajarlah sebagai ucapan selamat. Kamu aja yang kait-kaitkan sama Jems, mentang-mentang jamnya sama. Emang yang bisa beli jam kayak gitu cuma Jems? Jems itu jelas-jelas temen baiknya Nindi. Aku udah tau lama, kok. Mereka emang sering sama-sama, ya karena urusan job doang. Gak lebih." Derai tawa Dewa seketika menghiasi ruangan.Aku terdiam sejenak. Kemudian, kucerna baik-baik alasan Dewa. Jika masalah jam tangan memang masuk akal, bisa saja itu tangan lelaki lain. Tapi, yang jadi keganj
"Oh, biasa. Papi cuma kecapekan aja soalnya akhir-akhir ini sering banget lembur." Mami berusaha menjawab dengan tenang. Sepertinya agar Dewa tidak terlalu mengkhawatirkan Papi."Ya udah, Mami tunggu di ruang makan." Beliau pun membalikkan badan dan beranjak keluar kamar.Selepas Mami pergi, aku dan Dewa kembali berpandangan. Sontak lelaki di sampingku itu mendorong kakiku sangat kuat hingga aku meringis kesakitan."Sana, pergi. Jangan keenakan dipijitin. Ini cuma sandiwara!""Sakit tau!" Kumonyongkan bibir beberapa senti sembari mengelus betis kaki."Cengeng. Gitu aja masa sakit?" Dewa justru meledekku.Langsung kuambil kaki dan kulakukan hal yang serupa dengan apa yang Dewa lakukan padaku. Spontan dia nyengir kesakitan."Tuh, kan sakit?""Tadi aku gak terlalu keras dorongnya. Kamu sengaja pengen nyakitin aku, ya?" Dewa menatapku sinis sambil meringis memegangi kakinya.Aku sontak tertawa seraya meremehkannya. "Halah cemen. Tentara, kok, lemah."Dewa sontak berdiri dan berkacak pingg
"Menyenangkan, Pi," jawab Dewa sambil menatapku dengan senyuman.Aku pun kembali tersenyum. "Iya, Pi. Menyenangkan banget. Papi gak salah milih tempat.""Gak ada masalah, kan?" lanjut Papi seraya memasukkan makanan ke mulutnya.Lagi-lagi aku dan Dewa beradu pandang. Kami kompak menggeleng bersama. "Gak ada, Pi." Jawaban itu pun nyaris terlontar bersamaan dari mulut kami.Kemudian, kami melanjutkan makan bersama. Kehangatan keluarga ini begitu terasa. Terutama Mami dan Papi, beliau benar-benar menyayangiku melebihi anak kandungnya sendiri. Kasih sayang mereka bisa kurasakan sangat tulus.Usai makan, terdengar deringan ponsel Papi yang diletakkan di sampingnya. Begitu melihat benda tersebut berbunyi, wajahnya berubah seketika. Mami pun tampak memegangi tangan suaminya itu. Sepertinya ada sesuatu sehingga membuat mereka seperti itu."Papi duluan ke kamar. Mau istirahat dulu," ucap Papi sambil meninggalkan ponselnya tergeletak di atas meja.Kemudian, Mami yang mengambil benda tersebut dan
Aku kembali menuju ruang keluarga. Rumah mewah ini tampak sepi, hanya sesekali terdengar kicauan burung-burung mahal koleksi Papi. Kepalaku celingukan ke seisi ruangan, tak ada satu pun orang yang melintas. Bik Marni sepertinya sedang beristirahat di kamarnya. Akhirnya, aku ke dapur menyusul Dewa.Ketika tiba di sana, tampak suamiku itu sedang duduk di ruang makan sambil menikmati salad buah kesukaannya. Dia asyik menyendok salad, tapi tangan kirinya tak kalah asyik memainkan ponsel. Begitu mengetahui keberadaanku, Dewa menoleh sejenak. Kemudian, dia kembali mengarahkan pandangan pada benda yang berada di genggamannya.Aku masih mematung sambil memperhatikan Dewa. Ingin sekali kuceritakan perihal kasus Papi, tapi seketika teringat pesan Mami. Akhirnya, kuurungkan niatku itu."Kamu mau beliin tas buat Nindi? Kamu juga sering kirimin uang buat dia?" ucapku pelan sambil berjalan mendekati Dewa.Kepala Dewa mendongak dan menatapku tajam. "Kenapa? Kamu juga mau?"Spontan aku menggeleng. "A
Sesaat kemudian, datang Jems seraya berkacak pinggang. Wajahnya pun tak kalah sadis dari Nindi. Dia menatapku dari ujung rambut hingga kaki."Sebaiknya kamu jangan ikut campur masalah kami," ucap lelaki bertato di bagian tangannya itu sambil mengacungkan telunjuk."Dewa sama keluarganya itu memang pantas untuk dihancurkan," lanjut Jems dengan sorot mata kebencian.Aku sedikit panik mencari ponsel. Sayangnya benda tersebut tertinggal di dalam mobil. Ah, sial. Aku harus segera mencari alasan agar bisa keluar dari rumah Nindi ini."Kenapa? Kamu mau telepon Dewa? Apa mau telepon polisi? Apa mau ngancam viralin lagi?" lanjut Nindi sambil menyeringai."Kamu benar-benar licik. Sebenarnya mau kalian itu apa! Salah keluarga Dewa apa sampai kalian tega hancurin?"Lagi, Jems maju satu langkah. "Bukan urusanmu, tapi kalau kamu terusan ikut campur, bisa-bisa kamu juga yang jadi sasaran.""Bilang! Apa rencanamu ke sini? Sebelum kita lenyapkan kamu juga dari sini." Nindi menatapku nyalang.Sejenak k
Setelah mengakhiri panggilan, kembali kutambah kecepatan menuju kantor Papa. Tak membutuhkan waktu lama, aku pun tiba di sana.Ketika sampai, aku langsung menuju ruangan Papa yang terletak di lantai dua. Setelah kubuka pintu, beliau tampak sibuk di depan laptop sambil memegang beberapa map. Melihatku datang, Papa langsung menyapa dan meninggalkan sejenak pekerjaannya."Sehat, Nak?" Beliau memelukku."Alhamdulillah, Pa."Kemudian, beliau mengarahkanku pada sofa di dalam ruangannya. Papa menatapku lekat. "Gimana liburannya kemarin?"Aku mengulas senyum. "Menyenangkan, Pa." Kemudian, diriku kembali terdiam. Seketika hening menguasai suasana."Ada apa? Tumben kamu temui Papa? Biasanya kalau kangen cuma nelepon atau langsung pulang." Tatapan beliau tak lepas memandangiku."Emang salah?"Beliau merapatkan posisi duduk. "Bukan gitu, tapi aneh aja. Kalau ada sesuatu bilang sama Papa." Tangannya langsung merangkul pundakku."Pa, Papa tau gak? Sebenarnya apa yang terjadi sama Papi?"Papa sponta
Namun, Dewa segera menarik tanganku hingga aku terpaksa membalikkan badan kembali. Kupandangi wajah tegasnya lekat-lekat."Ada apa lagi?" "Mana kunci mobilnya? Jangan GR kamu!" hardik Dewa sambil menengadah.Perlahan tanganku meraih kunci dari dalam tas. Ketika hendak pergi, Mami tiba-tiba datang. Terpaksa kuurungkan dan bersikap seolah tidak terjadi sesuatu."Ada apa nih kayaknya lagi pada serius?" ucap beliau membuka obrolan."Eh, Mami. Papi gimana, Mi? Apa udah baikan?" jawabku mengalihkan pembicaraan.Mami sedikit mengulas senyum. Namun, sorot matanya tetap tak bisa dibohongi. Beliau seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Alhamdulillah udah agak mendingan."Spontan Dewa mendekati maminya dan memegang kedua tangan beliau. "Mi, bilang! Sebenarnya ada apa?"Mami terdiam. Tatapannya mengarah padaku. Aku pun hanya bisa terdiam. Rasanya ingin memberi tahu pada Dewa tentang kasus Papi, tapi seketika teringat pesan Mami. Sedangkan jika kubuka kedok Nindi dan Jems di hadapan beliau, suda
"Karena kejadian ini terjadi setelah aku nikahin kamu. Dulu, keluargaku aman-aman aja. Aku pacaran sama Nindi juga gak pernah ngalami kejadian aneh kayak gini, apalagi sampe Papi diteror segala. Kenapa pas kamu masuk ke keluargaku baru seperti ini? Kan, perlu dipertanyakan." Dewa masih memandangiku dengan tatapan menghujam.Spontan kutarik napas dan mengaturnya perlahan. "Please, sekali ini aja kamu percaya sama aku. Aku yakin kalau pelakunya itu Nindi sama Jems."Lagi-lagi Dewa tertawa. "Furi, Furi. Kamu itu pinter banget ngalihin situasi. Kamu pikir aku percaya gitu aja? Ngomong aja kalau kamu itu naksir sama Jems makanya kayak gini.""Nanti aku bilangin sama Nindi suruh mak comblangin kamu sama Jems. Eh, tapi tunggu aku nikah sama Nindi dulu." Tawa Dewa semakin berderai."Gak lucu tau. Ini masalah serius," ketusku.Tak berselang lama, suara ponsel Dewa mengalihkan perhatiannya. Lelaki di hadapanku itu langsung sigap menempelkan benda tersebut ke telinganya."Iya, Sayang, gimana?" u