Share

Bab 34

"Astaga! Dewa harus tau masalah ini." Aku spontan bergegas pergi.

Namun, Mami langsung mencekal tanganku. "Jangan kasih tau Dewa dulu."

"Tapi, kenapa, Mi?" jawabku pelan sambil membalikkan badan.

Mataku mengitari sekitar, ternyata Dewa sudah tidak ada, entah ke mana dia pergi. Sepertinya dia ke kamar karena sempat kulihat tadi Mang Dikin membawa masuk koper kami.

"Kenapa Dewa gak boleh tau soal ini, Mi?" Ulangku sekali lagi.

Sejenak Mami tampak menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mami gak mau dia tersangkut masalah ini. Dia itu aparat yang instansinya punya aturan ketat. Kalau Dewa tau, pasti dia bakal cari tau dan Mami takut dia main hakim sendiri. Mami gak mau gara-gara kasus ini Dewa kena masalah. Jadi, biar orang-orang Papi yang selidiki."

Aku seketika terdiam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mami, tapi sebagai anak Dewa harus mengetahui. Terlebih lagi jika semua ini ada kaitannya dengan wanita yang dicintainya.

"Please, jangan kasih tau Dewa." Kedua tangan Mami mengatup seraya memohon.

Aku tak bisa berbuat banyak selain menuruti permintaan beliau. "Oke, Mi. Tapi, selama ini apa Papi punya musuh? Maaf, maksudku apa ada orang yang gak suka sama Papi di luar maupun di kantor?"

Mami diam, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Hening seketika merajai suasana. Kemudian, beliau menarikku mendekati pintu kamar. Matanya sambil celingukan seperti khawatir ada yang mendengar.

Sesaat, Mami melanjutkan pembicaraan yang sempat terjeda. "Seingat Mami gak ada. Papi itu orang yang malas bermasalah sama orang lain, tapi feeling Mami memang ada lawan bisnisnya yang gak suka. Mungkin iri atau apalah." Beliau lalu mengendikkan bahu.

"Udah, kamu gak usah pikirkan masalah ini. Kamu fokus sama keluarga kecilmu aja, ya." Mami langsung memegang kedua pundakku.

Aku terdiam sejenak. Berusaha menelaah tiap kalimat ucapan Mami. Entah mengapa firasatku kuat mengatakan bahwa Jems pelaku yang meneror Papi. Lebih baik akan kuselidiki latar belakang lelaki itu tanpa sepengetahuan Dewa.

"Ya udah, Mi. Furi ke kamar dulu, ya. Semoga cepat ditemukan siapa pelaku yang udah berani meneror Papi," pamitku seraya melerai kedua tangan Mami.

Beliau pun langsung mengelus pucuk kepalaku dengan sangat lembut. "Iya, Sayang. Kamu baik-baik sama Dewa, ya. Maklumi aja kalau sifatnya yang kadang kekanakan."

Aku mengulas senyum. "Siap, Mi." Kuletakkan telapak tangan di ujung kepala seperti orang yang berhormat. Sebisa mungkin kutunjukkan raut bahagia di depan Mami meski dalam hatiku kacau balau jika teringat kejadian Dewa dan Nindi di resort.

Aku segera melangkah ke kamar. Benar dugaanku, Dewa telah berada di sana. Sekilas kulihat dua koper masih tergeletak di samping ranjang, sedangkan suamiku itu sedang asyik duduk di sofa sambil memainkan ponsel.

Perlahan kututup pintu kembali dan langsung merapikan isi koper. Sejenak kulihat ke arah Dewa, dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku. Sesaat rasa kesal merajai hati. Sudah pasti dia sedang asyik chatting-an dengan Nindi.

"Duh, berat sekali," ucapku lantang sambil berusaha meletakkan koper ke atas lemari. Aku memang sengaja ingin mengetahui respons Dewa.

Lelaki itu hanya sekilas melirikku dengan ekor matanya tanpa sedikit pun beritikad membantuku. Ya, walau sebenarnya tidak mengharapkan bantuannya.

"Siapa yang suruh kamu angkat koper?" Suaranya seketika memecah kesunyian.

"Kalau bukan aku siapa lagi yang mau beresin koper?" sanggahku ketus.

"Kan, ada Bik Marni. Suruh aja dia yang beresin." Dia berbicara masih dalam posisi duduk, sama sekali tidak beranjak dari singgasananya itu.

"Masa aku mau naikin koper aja harus keluar dulu manggil Bik Marni? Terus apa gunanya kamu ada di sini?" Kutatap wajahnya lekat-lekat.

"Enak aja." Dewa malah menyilangkan kaki kanannya ke atas paha kirinya. Matanya pun seketika terfokus pada benda yang ada di genggaman.

"Aku bisa, kok angkat sendiri. Tanggung beban hidup aja bisa, masa koper kecil gini aja gak bisa." Segera kuangkat koper dengan sepenuh tenaga. Kemudian, aku menepuk tangan dan bernapas lega.

Setelah itu, aku duduk di bibir ranjang dan mengambil ponsel. Seketika aku teringat tentang Nindi dan tunangannya. Kukumpulkan keberanian untuk membahas lagi dengan Dewa.

"Ehem." Aku sengaja terbatuk.

Spontan Dewa menoleh. "Ada apa? Biasanya kamu kalau udah kayak gitu pasti ada yang mau disampaikan." Lalu, pandangannya kembali pada ponsel di tangannya.

"Kamu benar-benar gak curiga sama Nindi?"

Dewa sontak mendongak dan menatapku tajam. "Kenapa lagi Nindi? Jems itu temannya, bukan tunangannya. Kalau soal postingannya di I*******m itu bukan dia, tapi saudaranya yang tunangan."

"Yakin?" Seketika pandanganku dan Dewa bertaut.

"Kalau seandainya Nindi sama Jems itu beneran tunangan gimana?" lanjutku lagi berusaha mempengaruhi pikiran Dewa.

Sayangnya, Dewa justru mentertawakanku. "Furi, Furi, kamu ini kayaknya udah terpengaruh sama sinetron. Mungkin sebelum nikah sama aku, hobimu nonton sinetron ikan terbang, ya? Kumenangiiiiis!" Dewa melagukan kalimat terakhirnya itu yang persis lagu sountrack sinetron di Indosial.

"Kamu ini kenapa, sih? Kayak yang berusaha mau fitnah Nindi terus? Kamu cemburu sama dia, ya? Oh, apa kamu naksir sama Jems makanya berusaha ngerusak hubungan persahabatan mereka?" Dewa melanjutkan ucapannya dengan berbagai prasangka yang justru menyudutkanku.

Jika suka dengan cerita ini mohon tinggalkan komentar ya. makasih 😘

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status