Share

Bab 34

Author: Ririn Irma
last update Last Updated: 2022-10-29 12:08:57

"Astaga! Dewa harus tau masalah ini." Aku spontan bergegas pergi.

Namun, Mami langsung mencekal tanganku. "Jangan kasih tau Dewa dulu."

"Tapi, kenapa, Mi?" jawabku pelan sambil membalikkan badan.

Mataku mengitari sekitar, ternyata Dewa sudah tidak ada, entah ke mana dia pergi. Sepertinya dia ke kamar karena sempat kulihat tadi Mang Dikin membawa masuk koper kami.

"Kenapa Dewa gak boleh tau soal ini, Mi?" Ulangku sekali lagi.

Sejenak Mami tampak menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mami gak mau dia tersangkut masalah ini. Dia itu aparat yang instansinya punya aturan ketat. Kalau Dewa tau, pasti dia bakal cari tau dan Mami takut dia main hakim sendiri. Mami gak mau gara-gara kasus ini Dewa kena masalah. Jadi, biar orang-orang Papi yang selidiki."

Aku seketika terdiam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mami, tapi sebagai anak Dewa harus mengetahui. Terlebih lagi jika semua ini ada kaitannya dengan wanita yang dicintainya.

"Please, jangan kasih tau Dewa." Kedua tangan Mami mengatup seraya memohon.

Aku tak bisa berbuat banyak selain menuruti permintaan beliau. "Oke, Mi. Tapi, selama ini apa Papi punya musuh? Maaf, maksudku apa ada orang yang gak suka sama Papi di luar maupun di kantor?"

Mami diam, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Hening seketika merajai suasana. Kemudian, beliau menarikku mendekati pintu kamar. Matanya sambil celingukan seperti khawatir ada yang mendengar.

Sesaat, Mami melanjutkan pembicaraan yang sempat terjeda. "Seingat Mami gak ada. Papi itu orang yang malas bermasalah sama orang lain, tapi feeling Mami memang ada lawan bisnisnya yang gak suka. Mungkin iri atau apalah." Beliau lalu mengendikkan bahu.

"Udah, kamu gak usah pikirkan masalah ini. Kamu fokus sama keluarga kecilmu aja, ya." Mami langsung memegang kedua pundakku.

Aku terdiam sejenak. Berusaha menelaah tiap kalimat ucapan Mami. Entah mengapa firasatku kuat mengatakan bahwa Jems pelaku yang meneror Papi. Lebih baik akan kuselidiki latar belakang lelaki itu tanpa sepengetahuan Dewa.

"Ya udah, Mi. Furi ke kamar dulu, ya. Semoga cepat ditemukan siapa pelaku yang udah berani meneror Papi," pamitku seraya melerai kedua tangan Mami.

Beliau pun langsung mengelus pucuk kepalaku dengan sangat lembut. "Iya, Sayang. Kamu baik-baik sama Dewa, ya. Maklumi aja kalau sifatnya yang kadang kekanakan."

Aku mengulas senyum. "Siap, Mi." Kuletakkan telapak tangan di ujung kepala seperti orang yang berhormat. Sebisa mungkin kutunjukkan raut bahagia di depan Mami meski dalam hatiku kacau balau jika teringat kejadian Dewa dan Nindi di resort.

Aku segera melangkah ke kamar. Benar dugaanku, Dewa telah berada di sana. Sekilas kulihat dua koper masih tergeletak di samping ranjang, sedangkan suamiku itu sedang asyik duduk di sofa sambil memainkan ponsel.

Perlahan kututup pintu kembali dan langsung merapikan isi koper. Sejenak kulihat ke arah Dewa, dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku. Sesaat rasa kesal merajai hati. Sudah pasti dia sedang asyik chatting-an dengan Nindi.

"Duh, berat sekali," ucapku lantang sambil berusaha meletakkan koper ke atas lemari. Aku memang sengaja ingin mengetahui respons Dewa.

Lelaki itu hanya sekilas melirikku dengan ekor matanya tanpa sedikit pun beritikad membantuku. Ya, walau sebenarnya tidak mengharapkan bantuannya.

"Siapa yang suruh kamu angkat koper?" Suaranya seketika memecah kesunyian.

"Kalau bukan aku siapa lagi yang mau beresin koper?" sanggahku ketus.

"Kan, ada Bik Marni. Suruh aja dia yang beresin." Dia berbicara masih dalam posisi duduk, sama sekali tidak beranjak dari singgasananya itu.

"Masa aku mau naikin koper aja harus keluar dulu manggil Bik Marni? Terus apa gunanya kamu ada di sini?" Kutatap wajahnya lekat-lekat.

"Enak aja." Dewa malah menyilangkan kaki kanannya ke atas paha kirinya. Matanya pun seketika terfokus pada benda yang ada di genggaman.

"Aku bisa, kok angkat sendiri. Tanggung beban hidup aja bisa, masa koper kecil gini aja gak bisa." Segera kuangkat koper dengan sepenuh tenaga. Kemudian, aku menepuk tangan dan bernapas lega.

Setelah itu, aku duduk di bibir ranjang dan mengambil ponsel. Seketika aku teringat tentang Nindi dan tunangannya. Kukumpulkan keberanian untuk membahas lagi dengan Dewa.

"Ehem." Aku sengaja terbatuk.

Spontan Dewa menoleh. "Ada apa? Biasanya kamu kalau udah kayak gitu pasti ada yang mau disampaikan." Lalu, pandangannya kembali pada ponsel di tangannya.

"Kamu benar-benar gak curiga sama Nindi?"

Dewa sontak mendongak dan menatapku tajam. "Kenapa lagi Nindi? Jems itu temannya, bukan tunangannya. Kalau soal postingannya di I*******m itu bukan dia, tapi saudaranya yang tunangan."

"Yakin?" Seketika pandanganku dan Dewa bertaut.

"Kalau seandainya Nindi sama Jems itu beneran tunangan gimana?" lanjutku lagi berusaha mempengaruhi pikiran Dewa.

Sayangnya, Dewa justru mentertawakanku. "Furi, Furi, kamu ini kayaknya udah terpengaruh sama sinetron. Mungkin sebelum nikah sama aku, hobimu nonton sinetron ikan terbang, ya? Kumenangiiiiis!" Dewa melagukan kalimat terakhirnya itu yang persis lagu sountrack sinetron di Indosial.

"Kamu ini kenapa, sih? Kayak yang berusaha mau fitnah Nindi terus? Kamu cemburu sama dia, ya? Oh, apa kamu naksir sama Jems makanya berusaha ngerusak hubungan persahabatan mereka?" Dewa melanjutkan ucapannya dengan berbagai prasangka yang justru menyudutkanku.

Jika suka dengan cerita ini mohon tinggalkan komentar ya. makasih 😘

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nia Kurniasih
cerita nya gregetan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 102

    Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 101

    "Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 100

    Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 99

    Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 98

    Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 97

    "Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 96

    "Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 95

    Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 94

    Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status