Aruna duduk bengong untuk waktu yang lama di dalam ruangan Ganindra. Dia bahkan tidak menyadari kalau Pak Bambang sudah tidak ada lagi bersama mereka.
"Sampai kapan kamu mau terus duduk di situ?" teguran Ganindra menyadarkan Aruna dari lamunan panjangnya. Dengan lamat-lamat, dia kemudian menatap ke arah Ganindra yang sudah entah kapan duduk kembali di balik meja kerjanya. Hanya dengan melihat wajah tampan pria itu, mampu membuat Aruna jatuh hati berkali-kali. Ganindra ini orangnya memang tampan sekali. Mungkin dia adalah pria paling tampan yang pernah Aruna temui. Ganindra memiliki rahang yang tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tajam. Di antara semua itu, Ganindra juga memiliki punggung yang lebar dan dada bidang yang terlihat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersandar. Sayang sekali, belum menjadi giliran Aruna untuk menikmati hal-hal ini. Bahkan meski nantinya status antara dia dan Ganindra berubah menjadi hubungan suami istri, tapi ada poin yang mengatakan bahwa dia tidak boleh jatuh cinta. "Jangan melihatku seperti orang mupeng begitu. Ingat isi perjanjian nomor dua. Dilarang jatuh cinta!" celetuk Ganindra mengingatkan. Matanya terus menyorot tajam ke arah Aruna yang sedang menatap tidak berkedip padanya. "Aku baru saja merasa ditipu. Kalau saja aku tahu setengah dari harta warisan keluarga Widjaja bisa menjadi milikku, aku pasti akan menolak untuk menerima persyaratan ini," tukas Aruna sembari memasang tampang menyesal. Rasa gugup yang semula menyelimutinya setiap kali berhadapan langsung dengan Ganindra kini hilang sedikit demi sedikit. Alam bawah sadar Aruna mulai merasa rileks. Dia bahkan bisa menimpali kata-kata Ganindra dengan santai tanpa adanya embel-embel panggilan formal seperti sebelumnya. "Sudah terlambat untuk menyesal sekarang," dengus Ganindra saat mendengar keluhan Aruna itu. "Kamu benar," timpal Aruna tanpa daya. "Ngomong-ngomong untuk masalah pernikahan, aku pikir cukup diselesaikan di KUA. Tidak perlu mengadakan acara yang begitu mewah. Lagipula pernikahan ini hanya akan berlangsung selama satu tahun. Bagaimana menurutmu?" tukas Ganindra dengan nada acuh tak acuh. Aruna pun mengangkat bahunya pelan sambil bibir dimajukan dua senti. "Memangnya aku memiliki hak untuk berpendapat?" timpalnya. "Tidak!" balas Ganindra. "Jadi ya sudah. Kamu atur saja. Aku tinggal datang bersama dua orang saksiku dan terima beres saja nanti," ucap Aruna dengan pasrah. "Bagus. Aku menyukai wanita pintar yang mudah diajak bicara," pungkas Ganindra. "Oh? Lalu wanita seperti apa lagi yang kamu sukai?" tanya Aruna dengan serius. " ... " Hening, Perubahan raut wajah Ganindra setelah mendengar kata asal-asalannya itu membuat Aruna tanpa sadar menelan ludah. Wajah serius Ganindra ini masih cukup menakutkan untuk dilihat. "Jangan salah paham. Aku bertanya demikian karena ingin melakukan yang sebaliknya. Ingat isi perjanjian nomor dua?" seloroh Aruna beralasan. Ganindra mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Aku suka wanita yang patuh, feminim, dan tidak banyak bicara. Jadi kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Tetaplah menjadi diri sendiri," ujar Ganindra. Dari jawaban yang dikemukakan oleh Ganindra ini, Aruna dapat menyimpulkan bahwa dia bukanlah tipe wanita yang disukai. Walaupun cara penyampaian macam ini terdengar agak menyinggung perasaan. Tetapi entah kenapa, Aruna justru merasa tertantang. Sekalipun di dalam perjanjian yang telah mereka tanda tangani ada poin yang mengatakan bahwa dilarang jatuh cinta, tapi perjanjian itu hanya akan bertahan selama satu tahun. Bagaimana dengan tahun-tahun selanjutnya? Seharusnya tidak ada yang akan menghalangi Aruna jika dia ingin mengejar cinta Ganindra 'kan? Senyuman samar lantas menghiasi bibir Aruna saat pikiran licik macam itu terlintas dalam kepalanya. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu senyum-senyum mencurigakan begitu?" tegur Ganindra. Mendapat pertanyaan ini, senyuman di bibir Aruna semakin dalam. "Bukan apa-apa," jawabnya. "Ngomong-ngomong, kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, aku akan keluar dulu," tukas Aruna menambahkan sembari beranjak dari sofa. Dia lalu keluar dari ruangan Ganindra dengan pikiran penuh akan misi baru. Setahun bukanlah waktu yang lama. Dia akan memanfaatkan satu tahun itu untuk memoles diri sendiri. Apalagi setelah menikah dengan Ganindra nanti, dia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal masalah keuangan lagi. Jadi dia bisa fokus melakukan perawatan diri. Hanya dengan memikirkan hal ini saja sudah membuat Aruna bahagia. Well, jadi siapa sebenarnya orang itu yang telah mengatakan bahwa uang tidak bisa memberikan kebahagiaan? "Heh, aku lihat-lihat kamu dari tadi senyam-senyum macam orang gila. Kamu ini kenapa sih?" tegur Amara seraya menyenggol bahu Aruna dengan sedikit keras. Saat ini mereka tengah duduk di bawah pohon rindang yang ada di taman samping perusahaan sambil menyantap bekal makan siang yang sudah dimasak oleh Belinda. Sebelum menjawab pertanyaan Amara, Aruna terlebih dahulu celingak-celinguk untuk memastikan tidak ada seorang pun yang tengah berlalu-lalang di sekitar mereka. "Aku dan Ganindra akan menikah. Dan nantinya dia akan memberikan uang 100 juta padaku setiap bulan. Sebentar lagi aku jadi orang kaya, Ras!" beritahu Aruna dengan antusias. Senyum tidak hanya menyala di bibir Aruna, tapi bahkan sampai ke matanya. "Hah? Apa kamu bilang? Kamu akan menikah dengan Pak Gan .... " Sebelum Amara menyelesaikan kalimatnya, Aruna buru-buru membekap mulut sahabatnya itu. "Ras, kamu jangan teriak-teriak dong. Kalau didengar orang lain gimana?" protes Aruna dengan sewot. Dengan sedikit kasar, Amara lalu menepis tangan Aruna yang membekap mulutnya. Matanya melotot lebar mengisyaratkan bahwa dia membutuh penjelasan lebih lanjut. "Aku ingat kalau kamu mengatakan bahwa kamu belum membuat keputusan soal ini. Kenapa tiba-tiba sekarang kamu mengatakan kalau kalian akan menikah?" tanya Amara penasaran. "Aku membuat keputusan tergesa-gesa karena kejadian Bimo waktu itu," jawab Aruna dengan sedikit sendu. "Run, kamu yakin? Pak Ganindra bukan orang biasa loh. Kamu nggak takut diapa-apain?" bisik Amara terdengar khawatir. Aruna lalu menggeleng kepala dengan mantap. "Untungnya alasan aku ditawarkan pernikahan oleh Pak Ganindra tuh bukan karena alasan yang kamu khawatirkan." "Tapi ... " "Dan aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Ganindra jatuh cinta padaku," sambar Aruna mencegah kalimat kekhawatiran apapun keluar dari bibir Amara. "Run, kamu pasti sudah gila?!" pekik Amara * * *Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu