Share

7. Siapa Ayah Kandungku?

Penulis: Mokaciinoo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-01 23:05:08

Apa kamu bilang?!"

Aruna kembali mengangkat bahunya dengan pelan sebagai tanggapan atas teriakan ibunya itu. Tak lama kemudian, terjadi jeda di antara mereka. Belinda menatap sepasang netra Aruna dengan tatapan tidak percaya. Sementara itu, Aruna menatap mata ibunya dengan sorot santai. Mereka sama-sama tengah mencari kebenaran dari mata masing-masing.

"Tante, ada apa? Kenapa teriak?" tanya Amara yang bergegas keluar dari kamarnya.

Aktivitas saling tatap dari sepasang ibu dan anak itu otomatis terputus karena kehadiran Amara.

"Ah, bukan apa-apa," jawab Belinda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ayo makan malam dulu, mumpung semuanya masih hangat," tukas Belinda. Dia lalu mengambil tempat duduk di kursi yang ada di samping Aruna.

Amara yang ragu hanya bisa menatap bolak-balik ke arah Aruna dan ibunya. Tapi karena melihat sikap mereka yang santai seolah memang tidak terjadi apa-apa, Amara akhirnya hanya mengangkat bahu pelan kemudian mengambil tempat duduk di kursi seberang Aruna.

Bertiga mereka menyantap makan malam sederhana itu dalam kondisi yang harmonis sambil sesekali mengobrol. Mereka terus mengobrolkan segala macam hal hingga waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.

Dikarenakan mereka masih harus bekerja besok, Amara dan Aruna memutuskan untuk tidur lebih awal. Di rumah Amara ini, hanya ada dua kamar. Kamar Amara dan juga kamar mendiang orang tuanya yang kini ditempati oleh Aruna bersama ibunya.

"Ayo, Bu. Sekarang jujur aja sama aku. Apa hubungan yang ibu miliki dengan Pak Gumelar Widjaja itu?" tanya Aruna dengan nada sedikit mendesak begitu mereka berbaring di atas ranjang yang sempit.

" ... "

Belinda terdiam. Dia seperti menolak untuk menjawab pertanyaan ini. Dan Aruna pun tidak memaksa. Meski begitu, dia tidak akan menyerah untuk mencari tahu.

Tanpa memperdulikan apakah ibunya mendengar atau tidak, Aruna melanjutkan upayanya dengan berkata. "Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pak Gumelar Widjaja tidak mungkin menulis surat wasiat sedemikian rupa untukku kalau bukan karena ibu. Jadi tolong beritahu aku, Bu. Pak Gumelar Widjaja ini bukan ayah kandungku, 'kan?" tanya Aruna sembari menyipitkan matanya curiga.

Berkat pertanyaan ini, Belinda langsung melemparkan delikan sinis pada Aruna. "Sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lagian kamu bodoh banget sih, kalau Pak Gumelar itu ayah kandung kamu, dia nggak mungkin mau menikahkan kamu dengan anaknya dong!" seru Belinda dengan sewot.

"Ya siapa tahu Ganindra bukan anak kandungnya!" sambar Aruna dengan cepat.

" ... "

Belinda seketika diam. Matanya mengerjap beberapa kali. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh putrinya ini.

"Pokoknya Gumelar Widjaja bukan ayah kandungmu!" seloroh Belinda setelah beberapa waktu lamanya.

Aruna lantas mendecakkan lidahnya dengan keRa. "Selagi kita membicarakan masalah ini, ayo ceritakan juga soal siapa ayah kandungku yang sebenarnya," pinta Aruna.

" ... "

Belinda semakin bungkam. Dia bahkan membalik tubuhnya dengan punggung membelakangi Aruna. Gelagatnya menunjukkan penolakan yang keRa.

"Ayolah, Bu. Sekarang ini usiaku sudah 30 tahun. Tidakkah menurut ibu sudah waktunya aku tahu semua hal tentang ayah kandungku?" tukas Aruna dengan nada yang terdengar sedikit memelas.

Setelah mendengarkan ucapannya, Aruna bisa merasakan nafas ibunya yang sedikit agak tertahan. Aruna tahu bahwa pertanyaan ini pasti mulai mempengaruhi ibunya hingga batas tertentu.

"Aku sudah hidup selama 30 tahun tanpa mengetahui siapa ayah kandungku. Dan sebenarnya aku juga tidak mau peduli tentang orang itu. Apalagi di usia yang sekarang ini. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Jadi apa sih yang masih ibu takutkan sampai tidak bisa memberitahu soal dia?" keluh Aruna.

" ... "

"Ah, benar. Dalam wasiat Pak Gumelar juga dikatakan bahwa dia menyerahkan kembali sebuah rumah yang terletak di kawasan X dan hotel The Oasis yang dulunya milik keluarga Hermawan. Serta ada juga tabungan yang telah dikumpulkan dari hasil mengelola hotel itu selama berpuluh tahun," beritahu Aruna.

Belinda masih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat. Hanya nafasnya yang terdengar terkesiap saat Aruna memberitahunya hal ini.

Melihat ibunya tetap diam, Aruna pun akhirnya menghela nafas pasrah. Mungkin ibunya memang ingin menyimpan ingatan soal ayah kandungnya itu hingga sampai ke liang lahat nanti. Atau mungkin ibunya memiliki trauma mendalam pada pria yang sudah menghamilinya itu?

"Run, tidak bisakah kamu mengundurkan diri dari perusahaan itu, dan jangan berhubungan lagi dengan mereka?" tanya Belinda setelah waktu yang cukup lama.

Namun, Aruna membalas dengan dengusan pelan. "Mengundurkan diri? Lalu kita mau makan dari mana? Ibu mau tinggal gratis di rumah Amara seumur hidup?" tanya Aruna dengan serius.

"Ngomong-ngomong, aku juga lupa memberitahu ibu satu hal lagi. Kalau aku menikah dengan Ganindra, dia akan memberikan kita uang sejumlah 100 juta setiap bulan selama satu tahun. Dan aku juga bisa memiliki rumah, hotel dan tabungan yang ditinggalkan Pak Gumelar begitu sah menjadi istri Ganindra nanti," tukas Aruna.

Belinda perlahan memutar tubuhnya menghadap Aruna. "Run~" panggilnya dengan nada sedikit merengek.

Akan tetapi, kali ini giliran Aruna yang membelakangi ibunya.

* * *

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    48. Mulai Eksekusi (2)

    Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    47. Mulai Eksekusi

    Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    46. Rencana Mengeksekusi Bimo

    Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    45. Aku Mau Dia Lumpuh Seumur Hidup

    “Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    44. Nama Pemuda itu Alvin

    “Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang

  • Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat    43. Diselamatkan Pemuda Tak Dikenal

    “Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status