“Peserta atas nama Sinta, Toni, Desta, Adelya, dan Damar silahkan masuk ke ruangan donor!” suara salah satu panitia menginfokan. Aku berjalan beriringan dengan Adelya, memasuki ruangan aula, cukup terkejut karena jumlah tenaga medis yang menurutku kurang banyak, dibandingkan jumlah peserta yang menunggu di luar. Aku menoleh saat tiba-tiba tangan Adelya mencubit kecil lenganku, kemudian berbisik pelan.“Mar, itu Safeea, kan?”==================================================================Ada getar yang tidak bisa kujelaskan, ada rindu yang membuncah untuk segera di salurkan, akhirnya, dewi fortuna datang kepadaku. Berhari-hari aku mencarinya, namun takdir membawanya sendiri kepadaku, Safeea kembali, dia ada tepat di depan mataku sekarang. Menggunakan blazer putih khas seorang dokter yang dipadukan dengan celana bahan sedikit ketat berwarna coklat dan atasan kemeja berwarna senada dengan motif bunga-bunga, Safeea tampil cantik di tengah para peserta donor darah. Rambutnya yang hit
“Maaf, mbak Adelya, sampai kapanpun, saya tidak pernah bermaksud untuk menjadi duri dalam daging di rumah tangga orang lain, jika saat ini akhirnya saya memilih mundur, hal itu bukan karena saya menyerah, tapi lebih kepada akhirnya saya sadar, jika tidak ada yang bisa diharapkan dari pria yang kini sudah resmi menjadi suami mbak Adelya. Tidak ada sedikitpun niat saya untuk mencari perhatian dari mas Damar, jadi mbak Adel dapat bernafas lega sekarang, karena sebentar lagi mas Damar resmi hanya menjadi milikmu, permisi!” tandasku mengakhiri percakapan yang hanya membuang-buang waktu dan energiku saja.==================================================================Aku meninggalkan Adelya sendiri di toilet, kembali ke dalam aula dan melanjutkan tugasku untuk kegiatan donor darah ini. Rasanya aku tidak habis fikir dengan jalan fikiran Adelya, dulu, ku kira dia wanita yang baik, ya walaupun tidak ada wanita baik, yang mau menjadi perusak rumah tangga orang lain, tapi setidaknya dulu kul
Lagu masih mengalun indah, dibawakan dengan penghayatan dalam, yang semakin membuat dadaku sesak, teringat seonggok surat gugatan cerai yang Safeea kirimkan untuk mengakhiri kisah kelam kami. Mungkinkah aku harus rela melepaskannya? Memulai hidup baru hanya dengan Adelya saja? Namun, sungguh, hatiku tidak bisa membiarkan ini selesai begitu saja tanpa ada penjelasan.Aku berniat pergi meninggalkan venue, sebelum hatiku benar-benar merasa rapuh karena lagu yang masih berputar, saat tidak sengaja mataku menatap Safeea bersama Adriyan baru saja memasuki venue bersama salah satu panitia acara. Brengs*k!==================================================================Emosiku mendadak membucah, melihat istriku berjalan akrab dengan pria lain, yang notabene pernah menjalin hubungan spesial dengannya. Tergesa aku berjalan ke arah mereka, ingin memberikan sedikit pelajaran kepada pria tidak tahu malu tersebut, karena masih berani mendekati istriku, Safeea. Namun, kuurungkan, karena tiba-tib
“Permisi, Pak, Bu, ada titipan surat buat bu dokter,” sela seorang panitia acara, menginterupsi candaanku dengan Mas Essa. Memberikan secarik kertas tanpa amplop kepadaku.‘Buktikan kalau kamu serius mau cerai dari Damar!’Degh! Aku tau siapa yang menulis ini.==================================================================Tanpa meliat siapa yang mengirim, aku pastikan tebakanku tidak akan salah, mengenai siapa yang sudah menitipkan surat ini kepada panitia tadi. Aku mengarahkan pandangan ke sekitar venue, berharap dapat menangkap basah si penulis surat tersebut. Namun, sayang, tidak kutemukan jejaknya di sana.Aku menyimpan suratnya ke dalam kantong jas putihku, membiarkan Mas Essa penasaran dibuatnya, sengaja aku tidak membiarkannya mengetahui isi surat tersebut, karena kurasa ini bukanlah urusannya, biarlah, akan kutangani masalah ini bersama pengacaraku saja.Selesai menghabiskan makan siang kami, aku mengajak Mas Essa untuk segera balik ke ruangan di mana donor darah diadakan
Aku terbangun saat mendengar suara ponselku berteriak, menandakan ada panggilan yang masuk. Mengerjap aku berusaha membuka mata, mencari ponsel yang tadi ku letakkan di atas nakas kamar Safeea.“Ya, Bu, ada apa?” tanyaku saat tau jika ibuku yang menelpon.“Mar, bisa ke rumah bude Yunita sekarang?”“Lho, ada apa memangnya, Bu? Tumben banget, sudah sore banget ini,” tanyaku bingung, tidak biasanya ibu memintaku pergi ke sana kalau tidak ada pertemuan keluarga.=================================“Sudah, pokoknya langsung ke sini saja! Ibu tunggu!” pungkas ibuku.Tanpa berganti pakaian aku langsung bergegas ke rumah bude Yunita, jarak yang sebenarnya tidak begitu jauh, hanya sekitar satu jam jika tidak terjebak macet. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa ini aada hubungannya dengan hasil tes kesuburan Arina? Jika memang karena hal tersebut, berarti bude Yunita sudah mengetahui rahasia Arina, tapi, siapa yang sudah memberitahukannya? Apakah Aldo?Aku masih berkendara menuju rumah bude Yunita,
“Ya, Val, ada apa? Aku di minimarket sebelah,”“Arina sudah siuman, Mas, cepat ke sini!” perintahnya, membuatku mau tidak mau meninggalkan kopiku yang masih panas tersebut.Kembali aku memasuki klinik, melihat keadaan Arina yang sudah siuman, namun pandangannya kosong, membuatku khawatir. Aku segera menghampirinya, mengajaknya berbicara, namun tidak diresponnya. Ada apa dengannya? =================================Berkali-kali aku mencoba, namun tetap gagal, Arina hanya diam, namun dari netranya keluar air mata tiada henti. Aku yang khawatir, segera mencari Rival, rupanya dia sedang di ruangan dokter yang menangani Arina tadi. Aku ikut masuk, bergabung dengan Rival untuk mendengarkan penjelasan dokter.“Kalau dari hasil pengamatan saya, pasien mengalami shock yang cukup berat, namun ini perlu melakukan observasi lebih mendalam lagi, agar bisa lebih akurat mendiagnosa kondisi pasien. Kalau saya boleh tau, apa hal yang membuat pasien sampai shock dan tidak sadarkan diri seperti ini?”
“Sekarang kan ada Adelya, dia pasti bisa mengurusmu seperti Safeea dulu, lepaskan Safeea, Mar! Biarkan dia bahagia dengan hidupnya!”“Bu . . .” ucapanku terjeda, karena suara ponselku yang berbunyi.Segera ku ambil ponsel dari saku celana, melihat siapa yang menelpon. Astaga, aku lupa jika berjanji untuk datang ke rumah papa nya Adelya!==================================Tanpa menyelesaikan pembicaraanku dengan ibu, aku memutuskan untuk segera pamit dari rumah bude Yunita, untuk segera pergi ke rumah orang tua Adelya. Ku rasa, papa mertuaku sudah mengetahui permasalahan kami, sehingga dia bersikap seperti ini.Aku menekan dalam pedal gas, membiarkan mobilku membelah ibukota, yang mulai sepi karena jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Fikiranku berkelana kemana-mana, terbayang akan semarah apa papa dan mama mertuaku atas kejadian ini. Ku fikir setelah pernikahanku dengan Adelya terlaksana, kehidupan yang kujalani adalah hanya berupa keindahan, nyatanya, baru sepekan aku menikah
Aku tiba di rumah tepat pukul dua pagi, tubuh dan fikiranku terasa teramat lelah, karena beban dan rasa bersalah yang menimpaku. Ku putuskan untuk masuk ke dalam kamar, membersikan diri dan berganti pakaian. Kemudian mencoba memejamkan mata, tapi sayang, tiap kali aku berusaha memejamkan mata, bukan ketenangan yang kudapat, melainkan bayangan wajah Safeea yang belinang air mata, justru hadir menghantuiku.“Aaarrrgggh!!!” teriaku, seraya melemparkan lampu tidur yang berdiri diatas nakas kamarku, sehingga membuat ruangan ini gelap gulita.=================================POV SafeeaAku melenguh lega, saat barisan pendaftar donor darah akhirnya selesai kami tangani, rasanya aku tidak pernah merasakan lelah separah ini, mungkin karena kemarin malam aku tugas jaga dan baru tidur beberapa jam saja, sehingga menyebabkan tubuhku merasa sangat lelah.Setelah memberikan sebait ucapan terima kasih kepada kami dan menutup kegiatan donor darah, Dokter Fadly mempersilakan kami untuk pulang dan ber