Aku tiba di rumah tepat pukul dua pagi, tubuh dan fikiranku terasa teramat lelah, karena beban dan rasa bersalah yang menimpaku. Ku putuskan untuk masuk ke dalam kamar, membersikan diri dan berganti pakaian. Kemudian mencoba memejamkan mata, tapi sayang, tiap kali aku berusaha memejamkan mata, bukan ketenangan yang kudapat, melainkan bayangan wajah Safeea yang belinang air mata, justru hadir menghantuiku.“Aaarrrgggh!!!” teriaku, seraya melemparkan lampu tidur yang berdiri diatas nakas kamarku, sehingga membuat ruangan ini gelap gulita.=================================POV SafeeaAku melenguh lega, saat barisan pendaftar donor darah akhirnya selesai kami tangani, rasanya aku tidak pernah merasakan lelah separah ini, mungkin karena kemarin malam aku tugas jaga dan baru tidur beberapa jam saja, sehingga menyebabkan tubuhku merasa sangat lelah.Setelah memberikan sebait ucapan terima kasih kepada kami dan menutup kegiatan donor darah, Dokter Fadly mempersilakan kami untuk pulang dan ber
Jam sudah menunjukan pukul satu siang, aku memutuskan untuk meninggalkan kantor yang baru kusinggahi selama tiga jam lamanya ini, memilih mengendarai mobilku menuju ke rumah sakit, di mana istriku bertugas. Aku harus menemui Safeea, menjelaskan segalanya dan memintanya untuk tidak menceraikan ku.Ya, aku yakin dengan sedikit merendahkan diriku dengan meminta maaf kepadanya, Safeea pasti bisa memaafkan dan menerimaku lagi untuk menjadi suaminya. Setelah itu akan kuselesaikan masalahku dengan Adelya, membuatnya yakin jika aku mampu, menjadi suami yang bisa berbuat adil kepada kedua istri. Ya, aku pasti bisa, aku harus optimis. Hanya perlu sedikit usaha untuk melakukannya. Semangat, Mar!=================================Sekitar empat puluh menit kemudian, kini aku telah tiba di parkiran rumah sakit tempat Safeea bertugas, dengan penuh percaya diri, aku melangkah pasti, menyusuri lorong-lorong rumah sakit, yang menghubungkan ke ruangan di mana biasanya Safeea bertugas.Setelah mengetuk
Sekitar empat setengah jam berkendara, akhirnya kami tiba di Pangalengan, tempat uti tinggal bersama seorang pengurus rumah tangga. Kami turun dari mobil, Mas Damar menghampiriku, membelitkan tangannya di pinggangku yang ramping, membuat kami berjalan seirama. Aku meliriknya tajam, ingin memberitahukannya jika aku tidak nyaman dengan perlakuannya ini, namun seakan tidak peduli, Mas Damar justru semakin erat merangkul pinggangku. Samar-samar aku melihat senyumnya terukir.==================================POV DamarSeakan dewi fortuna sedang menghampiriku, kabar buruk yang ku dapat dari ibu mengenai kondisi uti, nyatanya membawa peluang untukku agar bisa berdekatan dengan Safeea, memeluk erat pinggangnya yang ramping, rasanya sungguh membuat adrenalinku berpacu begitu cepat. Teringat malam itu, ketika aku menaklukkannya di atas ranjang.Mungkin aku harus melakukannya sekali lagi, dengan cara yang lebih manusiawi dan penuh kelembutan, agar Safeea bersedia menerimaku lagi. Kami memasu
“Maafin ibu karena telah gagal mendidik Damar menjadi laki-laki bertanggung jawab ya, Saf. Maafin ibu, selama ini ibu bersikap dingin dan tidak peduli sama kamu, maafin ibu, Saf!” ucap ibu mertua, isak tangis lolos dari mulutnya.Benarkah yang sedang kualami ini? Ibu memelukku? Meminta maaf atas kelakuan mas Damar dan juga dirinya selama ini? Sungguh aku tidak menyangka, namun juga bahagia, karena setelah dua tahun lamanya, inilah pertama kalinya ibu mau memelukku seperti ini.=================================Aku membalas pelukan hangat ibu, membiarkan air mataku tumpah dan menangis bersama wanita, yang selama ini tidak pernah menerimaku sebagai menantu di rumahnya. Sesak yang kurasakan saat melihat mas Damar bermesraan dengan Adelya rasanya hilang, berganti haru bahagia karena pelukan dari seorang ibu.“Terima kasih karena masih mau ke sini untuk merawat uti ya, Saf, kondisi uti memang sudah mengkhawatirkan sejak beberapa hari lalu, namun, uti selalu menolak untuk dibawa ke rumah sa
“Tapi sudah larut malam, akan sangat bahaya untuk kamu,”“Sejak kapan kamu peduli? Sejak tau jika kematian kedua orang tuaku karena ulah bapak? Atau sejak kamu berhasil merobek selaput daraku dengan kasar? Sejak kapan, Mas?” teriakku, memuntahkan kemarahan yang tertahan.“Safeea!” aku menoleh ke arah pintu, bernafas lega, karena melihat Tiara berdiri di depan pintu dengan Pak Yuda di belakangnya.=================================Tanpa mempedulikan mereka, aku bergegas keluar, menarik tangan Tiara agar mengikutiku masuk ke dalam mercy yang dibawanya. Aku memilih duduk sendiri di kursi belakang, menolak saat Tiara ingin menemaniku. Air mataku semakin luruh, saat mobil yang Pak Yuda kendarai berjalan meninggalkan pekarangan rumah uti.Bagai balon helium yang terlepas, hatiku mencelos melayang tanpa arah, terus terbang hingga pecah diketinggian tak terkira, menerima kenyataan pahit yang benar-benar tidak pernah terbayangkan, bisa terjadi di hidupku. Mengapa dunia begitu kejam kepadaku
“Bohong pasti, kan?” ucap Safeea, seraya mengurai pelukan mereka, dengan sabar Essa menghapus sisa – sisa air mata yang ada di wajah sendu Safeea, merapikan rambutnya yang kusut dengan penuh kelembuatan.Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang menyaksikan kemesraan mereka di balik pintu apartemen Tiara, sepasang mata yang merasakan cemburu, meski dirinya bukanlah siapa – siapa bagi seorang Safeea.==================================Yuda memilih meninggalkan apartemen milik sepupunya tersebut, membawa asa nya yang harus dia kubur, bahkan sebelum hatinya yakin tentang perasaanny sendiri. Sejak pertemuan mereka di café kala itu, sebenarnya Yuda sudah memilki rasa, namun ditahannya, karena belum mengetahui status Safeea seperti apa.Namun, peristiwa tiga hari lalu, saat dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan, bagaimana rapuhnya Safeea, hatinya bertekad untuk melindungi serta menjaganya, membalas segala air mata dan kepedihan yang dialaminya dengan kebahagiaan. Tapi
“Silakan selesaikan masalah kalian berdua, kami permisi duluan,” ucap Safeea, beranjak dari kursinya, namun kutahan hingga dia tidak bisa kemana – mana. Rupanya hal yang kulakukan memancing reaksi dari Adelya, dia marah dan mendorong Safeea hingga perutnya terbentur ujung meja.Safeea mengerang memegang perutnya yang terbentur, Adelya seakan tidak peduli dengan yang dia lakukan, menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya pergi meninggalkan Safeea bersama Adriyan dan Tiara. Aku berbalik arah, saat dengan jelas telingaku menangkap teriakan Tiara, yang mengatakan jika darah keluar dari dalam dress yang Safeea kenakan. Astaga, ada apa dengan Safeea?==================================POV Author Adriyan menggendong tubuh Safeea, yang masih mengerang merasakan sakit yang teramat di bagian perutnya, berlari menuju keluar mall, untuk mencari taksi yang sudah siap berangkat, sedangkan Tiara di mintanya mengambil mobilnya yang diparkir di basement mall dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tidak mau harga diriku terus diinjak, aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan rawat Safeea, membiarkannya tenang terlebih dahulu, karena sungguh, akupun perlu menenangkan diriku dari kejadian ini, kehilangan anak yang bahkan belum lahir, cukup membuatku terpukul.Aku keluar ruangan, mencari keberadaan Adelya yang tadi kutinggalkan sendiri di sini, namun kemana dia? Apa sudah pulang duluan? Ah bisa kacau kalau dia sampai pulang ke rumah orang tuanya lagi dan mengadu kepada mereka. Bisa hancur karier dan perusahaan yang susah payah bapakku bangun. Aku harus mencarinya.==================================Aku bernafas lega saat melihat Adelya ada di lobby rumah sakit, menarik tangannya untuk mengikutiku masuk ke dalam mobil, sebelum dia pergi ke rumah orang tuanya. Adelya sempat berontak, membuat kami menjadi sumber perhatian karenanya. Namun aku tidak menyerah, berusaha meyakinkan untuk ikut kepadaku.“Buat apa aku ikut sama kamu, Mar? bukankah kamu tidak peduli sama aku?” “Aku bukan