Thalita meminta kepada Darren untuk tidak mencampuri urusan rumah tangganya. Ia tidak mau Darren terlibat masalah yang lebih dalam lagi. Sudah cukup satu kali Thalita melakukan kesalahan dengan melibatkan Darren yang mengakibatkan masuknya Darren ke dalam penjara. "Jika Bagas berubah, Kakak mundur!" tegas Darren. "Bagas memang seperti itu, Kak.""Itu gimana? Gila? Tidak waras?"Thalita hanya bisa diam. Pikirannya berkecamuk. Ketika melakukan dengan orang lain, Bagas menikmati bahkan terkesan memuaskan pasangan, tetapi dengannya jangankan memuaskan yang ada hanya menyakiti. Tidak hanya hati yang sakit karena dipaksa menikah, tetapi raga ikut menjadi korban. "Tapi, aku bahagia.""Bohong!""Terarah Kakak!" Thalita memilih pergi. "Kakak akan tetap di sini sampai Kakak melihatmu benar-benar bahagia!" teriak Darren karena Thalita sudah menjauh.Senang. Thalita tidak memungkiri itu. Pun tidak menampik jika dirinya merasa aman dengan hadirnya Darren. Thalita bermonolog, "Terima kasih, Ka
Setelah tiga jam menunggu, akhirnya Darren kembali dengan membawa dua majikannya pulang. "Kenapa mamamu sampai bilang 'jangan sakiti' Thalita? Kamu mengadu, hah?!" tanya Bagas. Thalita mendengkus. "Seorang ibu pasti akan meminta hal yang sama kepada setiap menantu laki-lakinya. Meskipun sang menantu tidak berbuat seperti itu!""Aku tidak percaya!""Terserah!"Bagas menekan kedua pipi Thalita dengan satu tangannya."Oh, jadi kau sudah berani, ya? Tidak takut ancamanku rupanya!"Darren dengan jelas mendengar perdebatan keduanya mengintip melalui spion. Tidak terima Thalita diperlakukan seperti itu, Darren melakukan tindakan. Tin! Tin! Tin! Darren terus menekan klakson seolah-olah di depan sana ada yang menghalangi laju mobil dan ... Ciiitt! Darren menginjak rem secara mendadak membuat Bagas terjerembab jatuh dari kursi. Tentu saja ia melakukan itu dengan perhitungan dan yang terpenting baginya Thalita mengenakan sabuk pengaman. Bagas yang tidak memakai, sudah dipastikan akan seper
Di perjalanan pulang, Helena masih setia dengan bibir mengerucut. Darren bersikap acuh dan tidak peduli sama sekali dengan keadaan wanita itu. Darren hanya ingin cepat sampai karena Bagas ada di rumah, takut terjadi hal tidak diinginkan menimpa Thalita. "Nanti ajak lagi aku main ke sana, ya?" rengek Helena. "Oke!"Helena mendengkus dan melipat kedua tangannya di dada. Ia merasa kesal karena hanya jawaban itu yang ke luar dari mulut Darren. "Kau tidak bertanya padaku?""Tanya apa?" Darren balik bertanya tanpa menoleh. Helena mendelik. "Iiiih ... tidak jadi!"Darren mengangkat kedua pundaknya. "Ya, udah."Sesungguhnya Darren tahu jika Helena sedang merajuk dan ingin dirinya merayu. Akan tetapi, semua itu tidak akan Darren lakukan karena dirinya tidak akan membiarkan Helena terlalu nyaman dengannya. Mobil melesat memecah keramaian ibu kota. Tidak ada kata dari keduanya. Hanya lolongan klakson yang terdengar dan para seniman jalanan yang terlihat hilir mudik berpindah dari mobil satu
Setelah Darren pulang, Angelina mengunci diri di kamar. Tangisnya pecah. Namun, seketika ia mengusap air matanya. Wanita paruh baya itu tidak akan tinggal diam. Ia meraih tas serta kunci mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Abimanyu, ketika istrinya menuruni anak tangga. "Jemput Thalita!" jawab Angelina dingin. "Tunggu!" Abimanyu mencekal lengan Angelina. "Jangan lakukan hal bodoh! Pemuda itu bisa saja membohongi kita!" lanjut Abimanyu. Angelina menarik lengannya. "Tidak! Hatiku berkata benar. Putri kita sedang kesakitan di sana!"Angelina melanjutkan langkahnya. "Jika tetap pergi, aku pastikan kau tidak bisa melihat lagi putrimu!"Angelina menghentikan langkah dan berbalik. Sorot matanya tajam penuh dengan kebencian."Kau mengancam?" tanya Angelina. "Kau tau persis bagaimana aku. Sekadar ancaman atau bukan tentu kau bisa membedakannya!"Angelina mendekati Abimanyu, kemudian berkata, "Kau tak ubahnya seperti ayah tiri yang tidak menginginkan kehadiran anak tirinya!"Bibir Angelina be
Pagi menjelang. Thalita sudah membaik. Hanya saja masih terlihat lemas dan wajah pucat pasi masih tergambar jelas. "Sarapan dulu, Nyonya," tawar Inah, sambil menyimpan semangkuk bubur di atas nampan. "Iya, terima kasih, Bi. Oh, iya, apa Bagas sudah berangkat ke kantor?"Inah menepuk kening. "Sepertinya belum bangun, deh, Nyonya.""Loh, memangnya dia tidur di mana?"Inah tampak ragu untuk menjelaskan. Namun, akhirnya Inah bercerita tentang semua yang sudah terjadi. Thalita bergeming. Inah menggenggam tangan Thalita. "Jujur, Bibi senang dengan hadirnya Nak Darren di sini."Thalita menatap Inah. "Bibi sudah tau dia siapa?""Iya, dia sendiri yang bercerita karena misinya di sini yang tak lain ingin melindungi Nyonya. Andai saja suami Nyonya itu dia."Thalita tersenyum samar. "Tapi, takdir berkata lain, Bi."Inah menyudahi pembicaraan karena melihat Thalita murung. ART itu memilih membujuk Thalita untuk makan. Inah bernapas lega karena sang majikan menerima suapan darinya. Brak! Daun
"Stop!" teriak Helena, saat turun dari mobil. Ya, rupanya keluarga Sadewo dan Abimanyu turut ke rumah Bagas. "Hentikan, Kak!" Helena kembali berteriak karena Bagas tetap brutal. Sadewo dan Abimanyu melerai. "Pergi kau dari sini! Dasar pengganggu!" teriak Bagas. Tanpa bicara, Darren masuk ke paviliun hendak membereskan pakaiannya dan barang lainnya. "Uhuk! Sialan! Tunggu saja saat itu tiba, Bagas. Aku pastikan Thalita jatuh ke tanganku!"Pakaian dan barang lainnya sudah masuk dalam koper. Darren menaiki motornya di saksikan oleh Sadewo dan lainnya. "Ada ap-" Rupanya Thalita dipapah oleh Inah melihat situasi di luar karena mendengar kegaduhan. Thalita tercengang melihat kondisi Darren. Tidak ia pungkiri bahwa hatinya terasa sakit. Ingin rasanya ia menangis. "Sayang, kamu sakit apa, Nak?" tanya Abimanyu, menghampiri memecah perhatian Thalita. "Lita baik-baik saja, Pa," jawab Thalita santai.Darren melihat interaksi ayah dan anak itu, lalu berkata, "Tuan Abimanyu, jika Anda tida
Setelah menyelesaikan administrasi, Rossi dengan setia menunggu di luar ruang operasi. Tidak ada sanak saudara yang menemani karena memang ia hanya hidup berdua dengan Darren. Lantunan doa tak henti Rossi panjatkan. "Maaf, Nyonya, ini barang milik Tuan Darren," kata salah seorang perawat. Rossi menerima dua koper dan ponsel, lalu berkata, "Terima kasih."Tanpa dikomando, derai air mata membasahi pipi. Rossi mengusap air matanya saat melihat lampu ruang operasi mati. Wanita paruh baya itu berdiri di dekat pintu menunggu dokter ke luar.Tidak berselang lama, seorang dokter ke luar dengan memberikan keterangan pasiennya. "Bagaimana putra saya, Dok?" tanya Rossi. "Operasinya lancar. Hanya saja ...""Kenapa, Dok?""Pasien mengalami koma."Tubuh Rossi lemas dan ambruk ke lantai. Sang dokter dibantu oleh seorang suster memapah Rossi duduk di kursi. Dokter itu mengatakan jika Darren masih dalam pengawasan dan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Darren. Rossi mulai tenan
Tiba di rumah, Thalita dipapah menuju kamarnya. "Di mana yang sakit sayang?" tanya Angelina. Menggeleng. Itulah jawaban Thalita. "Ya, sudah, kamu istirahat dulu saja, ya. Mama temani tidur di sini nanti."Lagi, Thalita hanya mengangguk, lalu merebahkan diri di kasur bergulung selimut tebal kesayangannya. Angelina meninggalkan kamar putrinya. Ia hendak ke kamarnya untuk mengganti pakaian."Bagaimana Thalita?" tanya Abimanyu. Angelina diam seribu bahasa. Abimanyu tidak menyerah. Ia mengikuti ke mana istrinya pergi. "Mama masih marah?"Angelina lagi-lagi diam. Ia mempercepat kegiatannya mulai berganti pakaian, kemudian menghapus make-up. "Aku bicara denganmu, Angelina!"Angelina menatap tajam suaminya, lalu berkata, "Masih mau memaksakan kehendakmu? Masih mau tidak menghargai pendapat istri? Masih mau mempertahankan harta dibanding darah dagingmu sendiri? Kamu itu egois!"Abimanyu terdiam. "Sudah aku katakan kemarin, bukan? Lebih baik tidak mempunyai suami sepertimu!"Angelina p