Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Seorang pria tampan duduk termangu menatap ponsel. Foto seorang wanita paruh baya tampak memenuhi layar. Jarinya mengusap seolah-olah mengelus pipi. Ya, dialah Darren Gerald atau yang senang dipanggil 'Ge' --pria berusia dua puluh lima tahun itu tengah dirundung rindu kepada wanita cantik yang telah melahirkannya. Bagaimana tidak? Sembilan tahun yang lalu, Darren pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu meninggalkan ibunya seorang diri. Seharusnya ia pulang satu tahun yang lalu, tetapi terhalang oleh ongkos yang terbilang mahal. Bekerja sebagai montir ternyata tidak cukup dimana uang yang didapat ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan dikirim kepada ibunya. Nomor kontak yang bertuliskan 'My Mom' pun ia tekan. Terhubung. Saling menyapa satu sama lain mengawali percakapan antara ibu dan anak itu. "Maaf, Bu, Ge belum bisa pulang. Nanti kalau uangnya sudah cukup, Ge cepet-cepet pulang, kok," kata Darren pada sambungan telepon."Iya, Nak, tidak apa-apa. Lebih baik uangmu simpan, ja
Hangat sinar mentari pagi berhasil masuk ke dalam kamar tatkala jendela terbuka lebar. Tangan kanan menggeliat seiring dengan tangan kiri yang menutup mulut karena menguap. Dialah Darren. Sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya ketika bangun tidur, berdiri tepat di balik jendela kaca sambil menatap lalu-lalang kendaraan. Tok tok tok! Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. "Sebentar!" seru Darren sambil melangkah untuk membuka. "Eh, pagi, Bang?" sapanya. "Tumben ke sini, ada apa?""Boleh bicara sebentar?" Dialah Reyhan --seorang dokter sekaligus pemilik bengkel. Darren mengangguk dan mengikuti langkah Reyhan. Mereka duduk di sofa saling berhadapan. "Sepertinya serius. Ada apa?" tanya Darren lagi. Reyhan mengatakan jika dirinya akan pindah ke Indonesia. Ayahnya meminta agar Reyhan memegang rumah sakit milik keluarga. "Lalu, siapa yang megang bengkel ini, Bang?"Sesungguhnya Reyhan menginginkan Darren yang mengambil kendali. Selain jujur, kinerja Darren patut diacungi jempol
Keputusan sudah bulat. Darren akan kembali ke tanah air bersama Thalita. Dua koper besar siap masuk bagasi mobil, tetapi Darren terus menatap ke arah bengkel. Tempat itulah yang mempertemukannya dengan Thalita. Saat itu Thalita datang mengantar temannya untuk memperbaiki motor. Diamnya Thalita justru menarik perhatian Darren daripada temannya yang terkesan ganjen, menurutnya. Modus teman Thalita yang datang setiap hari dengan dalih motor atau mobilnya yang rusak justru menumbuhkan benih-benih cinta antara Darren dan Thalita. Kisah cinta pun terjalin. Namun, kisah itu akan berakhir di tempat yang sama pula, pikir Darren. "Mau ke mana?" tanya Bagas saat melihat Thalita membuka pintu mobil. "Ck! Mau samperin Kak Ge!"Suara sepatu yang beradu dengan lantai memecah lamunan Darren. "Kak, ada apa?" tanya Thalita. Darren menoleh, lalu mengembuskan napas kasar. "Tempat ini menjadi kenangan terindah sekaligus memilukan buat Kakak."Thalita mengernyit. "Maksudnya?"Darren tersenyum, kemudia
Berkemeja putih dan celana panjang hitam. Darren turun dari taksi yang terparkir di loby sebuah gedung. Matanya menyusuri sekeliling dengan tatapan penuh kagum. Ya, Darren tiba di sebuah perusahaan besar yang Thalita tunjukkan. Rasa grogi menyelimuti tatkala langkahnya tiba di meja resepsionis."Pagi, Mbak," sapa Darren.Senyum ramah dan balasan sapaan pun Darren dapatkan dari sang resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Bisa bertemu dengan Tuan Bagas?""Sudah membuat janji?""Tentu.""Anda Darren Gerald?""Iya, Mbak.""Silakan langsung saja. Tuan Bagas sudah menunggu." Sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Bagas, dimana anak pemilik perusahaan itu berada di lantai tujuh.Tiba di lantai tujuh, Darren disuguhkan dengan banyaknya pelamar. Duduk menunggu panggilan untuk interview tentu saja pengalaman kali pertama baginya. Meskipun Thalita menjamin dirinya akan diterima, tetap saja Darren merasa grogi. Setelah sekian lama menunggu, tiba saatnya Darren masuk ke dalam ruangan