Terdengar tawa dari sosok lelaki yang terbaring di sampingku. Entah apa yang membuatnya tertawa? Entah apa yang menurutnya lucu?"Mau jadi apa kamu kalau kita bercerai? Bisa apa kamu, Elena? Kamu hanya perempuan yang tidak lulus SMA. Kamu masih sadar 'kan kalau tidak punya ijazah SMA? Dulu kamu dikeluarkan karena telah mempermalukan sekolah. Sekarang ini kalau mau keterima kerja, minimal harus punya ijazah SMA. Kamu mau makan apa kalau pisah dari aku? Memangnya ibumu masih mau menampung kamu? Dan lelaki mana yang mau menikah dengan kamu kalau nanti kita berpisah, perempuan janda yang dulunya menikah karena hamil duluan. Di kampung ini namamu sudah terlalu buruk. Tidak ada lelaki yang akan menjadikan kamu istri. Kalau pisah denganku, selamanya kamu akan menjadi janda. Coba lihat dirimu, betapa jeleknya kamu sekarang. Badan gendut tidak berbentuk, lelaki mana yang akan naksir kamu. Jangan menambah masalah di hidupmu dengan bercerai denganku. Sudah untung di rumah ini bisa hidup tenang da
***Aku pulang ke Rumah untuk istirahat, tetapi Elena membuat mood ku rusak. Dia sudah banyak berubah. Perempuan yang dulu sangat dicinta, kini menjadi perempuan yang aku benci. Sifatnya yang dulu lembut dan penurut, sekarang berubah sebaliknya. Dia selalu saja membantah ucapanku. Aku tidak suka perempuan yang selalu mengajak debat. Sebagai istri, seharusnya dia diam saja ketika aku menasehati. Yang tadi aku katakan benar, rumah berantakan karena mainan Caca, aku tidak suka melihatnya. Sedangkan Elena hanya bermain handphone di kamar. Wajar jika aku marah!"Lah kok datang lagi, bukannya tadi Mas katakan kalau mau pulang istirahat karena ngantuk," ujar Lona — adik bungsu ku yang cerewet. Dia sedang menyantap bakso yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa istirahat. Capek berdebat dengan Elena." Aku berkata dengan nada gusar. Pikiran kembali mengingat perkataan Elena. Selama ini dia belum pernah meminta pisah. Berani sekali dia berkata begitu. Aku bukan takut kehilangan Elena. Sungguh,
Saat ibu sedang asyik bicara, Mbak Intan datang. Dia langsung ikut bergabung. Lona menyampaikan rencana kami pada Mbak Intan. Ternyata Mbak Intan juga sangat senang. Responnya sama seperti ibu dan Lona. "Kamu dulu kenapa bisa suka sih sama Elena? Padahal Elena juga nggak cantik cantik amat. Aku curiga kalau dia itu sudah kirim guna-guna agar kamu suka padanya. Secara, dia dari keluarga miskin melarat. Sedangkan kita orang berduit. Pasti ada niat tersembunyi." Mbak Intan memecah keheningan. Dia adalah orang pertama yang mengamuk saat dulu aku ingin menikahi Elena. Dia sangat marah dan tidak setuju. Dia bahkan mendatangi Elena sebelum ijab kabul. "Mungkin itu benar, Mbak. Sebelumnya, aku tidak ingin menikahinya karena merasa masih muda dan belum ada niat untuk menikah. Tetapi, ada rasa yang tidak bisa aku lepas. Aku sangat mencintainya dan merasa sangat bersalah jika tidak menikahinya. Mungkin saat aku mengatakan tidak mau menikahinya, dia langsung pergi ke orang pintar untuk berbuat j
Elena menatapku dengan tajam. Aku yakin emosinya sudah memuncak. Kenapa dia yang marah? Seharusnya aku yang sangat marah karena dia telah menggangguku. Gara-gara dia aku kalah.Selama ini Elena selalu beraktivitas sendiri. Terlalu manja jika harus meminta tolong hanya untuk mengangkat panci air panas. Bukankah selama ini dia bisa melakukannya sendiri? Mungkin dia ingin mencari perhatian padaku. "Kamu manusia yang tidak punya hati, Mas! Air panas itu juga untuk mandi anak kamu yang baru saja sembuh dari sakit. Kalau tanganku sedang tidak sakit, aku juga tidak akan minta tolong pada kamu!" Elena langsung pergi dari hadapanku. Dia membanting pintu dengan kasar. Aku tidak peduli.Elena tampak marah, tetapi dia tidak menangis. Biasanya kalau sudah bertengkar seperti ini, dia akan berkata sambil menangis. Dia itu perempuan cengeng yang hanya tau menangis. Rasanya aku sangat menyesal telah menikah dengannya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada yang bisa aku banggakan darinya. Perkataan Ibu, M
"Ibu seperti kamu seharusnya tidak pernah ada di dunia ini! Kamu terlalu egois, Elena! Tidak memikirkan masa depan anakmu. Mau jadi apa dia kalau ikut dengan kamu. Mau menjadi perempuan nakal seperti kamu? Hah!" Aku berkata sambil mengangkat wajah Elena agar menatapku yang sudah gelap mata. Marah! Ya, aku sangat murka. Aku tidak suka di bantah. Seharusnya dia mengikuti saja keinginanku, pergi dari sini tanpa membawa Caca."Kamu akan menyesal, Mas! Dan kalian semua … kalian semua akan mendapatkan karma dari perilaku kalian terhadap aku! Aku bersumpah, kalian semua akan mendapatkan balasan yang lebih parah dari yang kalian perbuat padaku!" Elena berteriak. Dia sudah seperti orang gila. Rambutnya terlihat acak-acakan. Sangat memalukan! "Pergi, Elena! Aku sudah tidak membutuhkan kamu di sini!" ucapku pada perempuan yang sangat jauh dari kata cantik. Aku masih tidak menyangka jika dulu pernah mencintai perempuan sepertinya. Elena berusaha berdiri. dia melangkah dengan pelan. Seakan tidak
***Saat ini aku sudah berada di taksi. Tidak tahu akan ke mana. Pikiranku terus tertuju pada malaikat kecilku. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tak kuat mendengar suara tangisannya tadi. Apalagi Caca baru saja sembuh dari sakitnya. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya.Semuanya seperti mimpi. Aku tak menyangka jika malam ini diusir dari Rumah itu. Masih tak percaya dengan kenyataan. Jika saja tahu hal ini akan terjadi, aku pasti sudah pergi lebih dulu, tanpa sepengetahuan Mas Daris dan semua orang di rumah itu. Aku pasti akan membawa Caca pergi. "Kita mau kemana, Mbak." Aku tersadar ketika mendengar suara supir taksi. Berhenti menatap keluar jendela. Aku tidak tahu mau ke mana. Bibirku masih enggan untuk berucap. Rasanya ingin kembali ke Rumah itu dan membawa pergi Caca agar ikut bersamaku."Mbak nya mau ke mana?" Supir taksi kembali bersuara."Berhenti di Hotel saja, Pak. Aku tidak tahu hotel terdekat di sekitar sini," ujarku yang mungkin nyaris tak terdengar. "Kenapa tidak bi
Aku akhirnya memilih untuk tidur. Sekarang sudah jam sebelas malam. Berusaha untuk tertidur namun tak kunjung bisa. Aku masih terus saja mencari cara agar bisa bertemu dengan Caca.Apa malaikat kecilku sudah tidur? Selama ini dia selalu tertidur di sampingku. Mas Daris belum pernah sekalipun membantuku untuk menidurkannya. Pasti malam ini Caca kesulitan untuk tidur. Apalagi dia baru sembuh dari sakit."Bagaimana aku bisa tidur jika terus memikirkan Caca?" lirihku sambil menatap foto di layar handphone. Senyum manis Caca menghangatkan hati sekaligus membuat sakit. Aku sakit ketika mengingat kembali tangisan malaikat kecilku itu. Sungguh, jika bisa berbuat nekat, aku sudah mengambil benda tajam dan membunuh semua orang yang menghalangiku membawa Caca.“Tunggu ibu, Nak. Ibu akan berusaha untuk membawamu pergi bersama ibu. Sabar ya, Nak. Kamu sehat-sehat di sana. Kamu harus kuat ya. Jadi anak baik,” lirihku masih sambil menatap foto Caca di layar benda pipih yang ada di tanganku. Tetes
Aku masih saja mempercepat langkah, untung saja taksi online yang tadi dipesan sudah datang. Aku langsung menaiki dengan tergesa gesa. Jika ada yang menyadari, mungkin akan tahu jika aku sedang ketakutan.“Alamat sesuai aplikasi, Mba?”“Iya, Mas.”Mobil langsung melaju. Pikiranku sangat berkecamuk. Terlalu banyak yang dipikirkan hingga rasanya ingin pecah.Aku tidak mungkin bisa baik-baik saja jika bertemu dengan seorang pun teman SMA dulu. Mereka jahat! Mereka sangat jahat. Bahkan Meli – Sahabatku, dia meninggalkan aku di saat itu, saat aku sedang terpuruk.Aku kembali mengingat kejadian itu, masa putih abu abu yang sangat menyakitkan. “Elena, kamu dipanggil kepala sekolah!” ucap Mely saat aku baru saja duduk di kantin. Kami tidak ke kantin bersama karena Mely ke toilet terlebih dahulu. “Ada apa?” tanyaku dengan raut wajah heran. Aku sedang tidak mengikuti lomba atau kegiatan apapun. Tidak biasanya kepala sekolah memanggilku. Selama sekolah SMA, yang sering memanggil hanyalah wakil