Elena menatapku dengan tajam. Aku yakin emosinya sudah memuncak. Kenapa dia yang marah? Seharusnya aku yang sangat marah karena dia telah menggangguku. Gara-gara dia aku kalah.Selama ini Elena selalu beraktivitas sendiri. Terlalu manja jika harus meminta tolong hanya untuk mengangkat panci air panas. Bukankah selama ini dia bisa melakukannya sendiri? Mungkin dia ingin mencari perhatian padaku. "Kamu manusia yang tidak punya hati, Mas! Air panas itu juga untuk mandi anak kamu yang baru saja sembuh dari sakit. Kalau tanganku sedang tidak sakit, aku juga tidak akan minta tolong pada kamu!" Elena langsung pergi dari hadapanku. Dia membanting pintu dengan kasar. Aku tidak peduli.Elena tampak marah, tetapi dia tidak menangis. Biasanya kalau sudah bertengkar seperti ini, dia akan berkata sambil menangis. Dia itu perempuan cengeng yang hanya tau menangis. Rasanya aku sangat menyesal telah menikah dengannya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada yang bisa aku banggakan darinya. Perkataan Ibu, M
"Ibu seperti kamu seharusnya tidak pernah ada di dunia ini! Kamu terlalu egois, Elena! Tidak memikirkan masa depan anakmu. Mau jadi apa dia kalau ikut dengan kamu. Mau menjadi perempuan nakal seperti kamu? Hah!" Aku berkata sambil mengangkat wajah Elena agar menatapku yang sudah gelap mata. Marah! Ya, aku sangat murka. Aku tidak suka di bantah. Seharusnya dia mengikuti saja keinginanku, pergi dari sini tanpa membawa Caca."Kamu akan menyesal, Mas! Dan kalian semua … kalian semua akan mendapatkan karma dari perilaku kalian terhadap aku! Aku bersumpah, kalian semua akan mendapatkan balasan yang lebih parah dari yang kalian perbuat padaku!" Elena berteriak. Dia sudah seperti orang gila. Rambutnya terlihat acak-acakan. Sangat memalukan! "Pergi, Elena! Aku sudah tidak membutuhkan kamu di sini!" ucapku pada perempuan yang sangat jauh dari kata cantik. Aku masih tidak menyangka jika dulu pernah mencintai perempuan sepertinya. Elena berusaha berdiri. dia melangkah dengan pelan. Seakan tidak
***Saat ini aku sudah berada di taksi. Tidak tahu akan ke mana. Pikiranku terus tertuju pada malaikat kecilku. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tak kuat mendengar suara tangisannya tadi. Apalagi Caca baru saja sembuh dari sakitnya. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya.Semuanya seperti mimpi. Aku tak menyangka jika malam ini diusir dari Rumah itu. Masih tak percaya dengan kenyataan. Jika saja tahu hal ini akan terjadi, aku pasti sudah pergi lebih dulu, tanpa sepengetahuan Mas Daris dan semua orang di rumah itu. Aku pasti akan membawa Caca pergi. "Kita mau kemana, Mbak." Aku tersadar ketika mendengar suara supir taksi. Berhenti menatap keluar jendela. Aku tidak tahu mau ke mana. Bibirku masih enggan untuk berucap. Rasanya ingin kembali ke Rumah itu dan membawa pergi Caca agar ikut bersamaku."Mbak nya mau ke mana?" Supir taksi kembali bersuara."Berhenti di Hotel saja, Pak. Aku tidak tahu hotel terdekat di sekitar sini," ujarku yang mungkin nyaris tak terdengar. "Kenapa tidak bi
Aku akhirnya memilih untuk tidur. Sekarang sudah jam sebelas malam. Berusaha untuk tertidur namun tak kunjung bisa. Aku masih terus saja mencari cara agar bisa bertemu dengan Caca.Apa malaikat kecilku sudah tidur? Selama ini dia selalu tertidur di sampingku. Mas Daris belum pernah sekalipun membantuku untuk menidurkannya. Pasti malam ini Caca kesulitan untuk tidur. Apalagi dia baru sembuh dari sakit."Bagaimana aku bisa tidur jika terus memikirkan Caca?" lirihku sambil menatap foto di layar handphone. Senyum manis Caca menghangatkan hati sekaligus membuat sakit. Aku sakit ketika mengingat kembali tangisan malaikat kecilku itu. Sungguh, jika bisa berbuat nekat, aku sudah mengambil benda tajam dan membunuh semua orang yang menghalangiku membawa Caca.“Tunggu ibu, Nak. Ibu akan berusaha untuk membawamu pergi bersama ibu. Sabar ya, Nak. Kamu sehat-sehat di sana. Kamu harus kuat ya. Jadi anak baik,” lirihku masih sambil menatap foto Caca di layar benda pipih yang ada di tanganku. Tetes
Aku masih saja mempercepat langkah, untung saja taksi online yang tadi dipesan sudah datang. Aku langsung menaiki dengan tergesa gesa. Jika ada yang menyadari, mungkin akan tahu jika aku sedang ketakutan.“Alamat sesuai aplikasi, Mba?”“Iya, Mas.”Mobil langsung melaju. Pikiranku sangat berkecamuk. Terlalu banyak yang dipikirkan hingga rasanya ingin pecah.Aku tidak mungkin bisa baik-baik saja jika bertemu dengan seorang pun teman SMA dulu. Mereka jahat! Mereka sangat jahat. Bahkan Meli – Sahabatku, dia meninggalkan aku di saat itu, saat aku sedang terpuruk.Aku kembali mengingat kejadian itu, masa putih abu abu yang sangat menyakitkan. “Elena, kamu dipanggil kepala sekolah!” ucap Mely saat aku baru saja duduk di kantin. Kami tidak ke kantin bersama karena Mely ke toilet terlebih dahulu. “Ada apa?” tanyaku dengan raut wajah heran. Aku sedang tidak mengikuti lomba atau kegiatan apapun. Tidak biasanya kepala sekolah memanggilku. Selama sekolah SMA, yang sering memanggil hanyalah wakil
Aku juga mengingat saat keluar dari Ruang Kepala Sekolah, hampir semua orang menatap dengan wajah yang sulit aku artikan. Kaki berjalan tergesa dengan air mata yang sulit terbendung, tak mau ada yang tahu jika aku menangis. Ingin rasanya saat itu tak mengeluarkan air mata. Namun, tidak bisa. Bagaimana mungkin bisa menahan tangis setelah mengetahui kenyataan jika telah dikeluarkan dari sekolah?Ketika itu pula, aku tidak tahu yang harus dilakukan. Bagaimana dengan mimpiku menjadi seorang pegawai negeri sipil di kementerian? Bagaimana dengan cita-citaku yang ingin membawa ibu umroh? Bagaimana dengan keinginan untuk menjadi wanita karir? Semua hancur! Tak mungkin terwujud karena tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. “Tahu tidak, di Sekolah ini ada yang baru saja dikeluarkan karena diam-diam telah menikah.”Aku masih mengingat jelas ucapan Sinta. Teman kelas yang tidak menyukaiku. Ya, aku tahu jika dia tidak menyukaiku karena se
Roni – Dia lelaki yang dulu menjadi musuh, kini kembali berada di hadapanku. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun. Jika menghina atau merendahkan seperti yang sering dilakukannya dulu, aku tidak mampu membalas. Sebenarnya bisa saja aku berpura-pura tidak mengenalnya? Tetapi tidak mungkin aku melakukan itu, dia tidak salah menyebut nama. “Elena, kamu ngapain di sini? Tadi kita bertemu di Mall. Sekarang ketemu lagi,” ucap Roni dengan wajah yang tersenyum. Senyum yang tidak begitu lebar. Tetapi tidak ada raut permusuhan di wajahnya. Aku hanya menatap tanpa berkata. Banyak tanya dalam benak. Roni sedikit berubah dari yang dulu aku kenal. Lelaki yang selalu melihat dengan raut permusuhan, kini terlihat sedikit ramah. Ada apa dengannya? “Eh, Bro. Kamu kenal dengan klien aku,” ujar Renji yang baru saja turun dari mobil“Klien?” Alis Roni tampak berkerut. “Iya, dia klien aku yang aku ceritain tadi, yang ingin membeli rumah,” jawab Renji sambil memasukan kunci mobil ke dalam k
"Elena, kamu di mana? Kenapa piring yang ada di atas meja masih kurang?" Baru saja duduk untuk menyendok opor ayam, suara ibu mertua kembali terdengar. Aku menarik napas. Bibir pun berkata "iya, Bu!" Aku sedikit berteriak agar Ibu Mertua dapat mendengar. Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa sambil mengangkat piring yang sudah tersusun rapi. Sebelum mengangkat, aku menghitung terlebih dahulu, piring ini berjumlah dua belas. Sangat berat, tetapi tidak mungkin aku mengangkat dalam jumlah yang sedikit. Ibu mertua pasti akan mengomel jika melihatku mengangkat piring hanya sedikit.Aku pikir sudah cukup, ternyata belum. Ibu mertua kembali menyuruh untuk menambah piring yang ada di atas meja hidangan. "Elena, kenapa kue yang ada di kamar belum dikeluarkan? Kamu kerja jangan lelet. Tidak lama lagi keluarga besar Mas Raim datang." Kali ini Mbak Intan yang berteriak. Dia adalah kakak kesayangan Mas Daris. "Iya, Mbak." Aku menjawab ucapan Mbak Intan dengan suara