Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini.
Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah."Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada pertanyaan saat melihatku melamun."Ya ampun, Nak. Maafkan ibu," ujarku yang langsung menggendongnya. "Ayah tidak memberimu makan?" tanyaku lembut. Mata Caca memerah. Kepalanya menggeleng lalu menyandarkan di pundakku, dia memeluk.Sekarang sudah jam sepuluh, wajar jika Caca mengeluh lapar. Karena sibuk, aku lupa memberinya makan. Sejak pagi dia belum makan. Tadi dia bersama Mas Daris. Aku berharap jika Mas Daris akan memberinya makan, karena aku sibuk di dapur. Walaupun hanya sekadar kue. "Ayah marah, aku di cubit. Cubitan ayah di pahaku sangat sakit, Bu. Tetapi ayah suruh jangan menangis."Aku menatap mata Caca yang telah berkaca. Bibir pun berucap, "kenapa ayah mencubit? Caca pasti nakal.""Tidak, Bu. Caca tidak nakal kok. Tadi Caca hanya minta kue yang ada di atas meja. Tetapi ayah malah marah dan mencubit Caca," keluh Caca di hadapanku. Suaranya terdengar lirih di telinga. Mungkin karena ini Caca datang mencariku. Padahal dari tadi dia bersama Mas Daris. Hanya sesekali mencariku, tetapi tidak datang dalam keadaan menangis.Hatiku teriris mendengar ucapan Caca. Kalau memang dia salah, seharusnya tidak perlu di cubit. Caca pasti mengerti jika dijelaskan bahwa kue yang ada di atas meja tidak bisa diambil. Sejak Caca lahir hingga sekarang, aku belum pernah mencubit dan memukulnya. Tak salah jika Caca menangis. Apalagi yang marah padanya adalah Mas Daris, ayahnya sendiri. Kenapa harus mencubit? Apa Mas Daris tidak bisa mengatakan dengan lembut? Hatiku sangat teriris mendengar curhatan Caca."Mungkin Caca bicara dengan cara yang tidak sopan, makanya ayah mencubit. Ibu 'kan sudah sering mengatakan kalau meminta sesuatu harus dengan bahasa yang sopan. Tidak boleh jadi anak yang nakal," tuturku sambil melanjutkan langkah. Membawa Caca ke ruang keluarga."Tidak, ibu. Caca minta ke ayah pelan-pelan. Tidak kasar kok, sumpah! Caca juga mengatakan ‘tolong’ pada ayah." Caca berkata dengan suara manjanya. Bibirnya terlipat."Iya, ibu percaya pada Caca. Terimakasih sudah menjadi anak cerdasnya ibu. Sudah, jangan menangis lagi!" ujarku sambil mengusap sayang puncak kepala Caca dan tersenyum. Caca kini duduk melipat kaki di ruang keluarga."Caca tunggu di sini, ya. Ibu mau ambilkan makan. Jangan ikut ibu karena di dapur licin. Nanti Caca jatuh." Aku langsung ke dapur dan membiarkan Caca duduk sendiri di ruang keluarga. Baru saja ingin membuka panci berisi nasi, terdengar namaku dipanggil."Kamu ingin makan, Elena? Tidak sopan! Tamu di luar saja belum makan! Kamu sudah mau makan." Perkataan Mbak Intan sangat mengiris hati. Sejak kapan dia berada di sini? Aku tersenyum, bibir pun berkata, "Caca lapar, Mbak. Dia belum makan dari pagi." "Jangan ambil banyak-banyak. Nanti makanan untuk undangan tidak cukup. Kalau kurang bagaimana? Ini juga, kenapa piring kotor belum selesai dicuci? Jangan malas, Elena! Kamu kerja jangan lelet! Kamu tidak boleh istirahat sebelum semua pekerjaan ini selesai!"Aku menatap Mbak Intan dengan tajam. Bibir berkata, "kapan mbak melihat aku istirahat? Apa mata mbak sudah buta?"Tak ada jawaban, Mbak Intan mengambil piring bersih yang sudah dirapikan di rak, dia pun meninggalkan aku yang masih mematung di depan panci nasi.Mata berkaca. Rasanya air yang terkumpul di kelopak ingin tumpah. Aku harus bisa menahan, tidak boleh menangis. Aku mencoba berpikir positif. Benar kata Mbak Intan, kalau aku mengambil makanan untuk Caca dalam jumlah yang banyak, bisa saja makanan untuk undangan akan kurang. Tetapi sebanyak apa sih makanan untuk porsi anak kecil? Padahal Caca keponakannya. Kenapa Mbak Intan tega berkata menyakitkan?"Maafkan ibu, Nak," lirihku sambil mengambil kuah opor ayam. Tetes air mata jatuh, tetapi tangan langsung menghapus. Tidak boleh ada yang melihat.Aku tidak mengambil ayam untuk dimakan oleh Caca. Hanya kuah opor yang membasahi nasi agar Caca enak makan. Aku tidak ingin Mbak Intan protes dan marah kalau melihat piring makanan Caca. Jika semua orang marah padaku, tidak mengapa. Asalkan tidak marah pada anakku.Terlalu banyak hal yang membuatku kaget. Bagaimana tidak, aku mendapat informasi dari ibu jika Mas Daris masuk penjara karena telah menjadi pelaku pembunuhan. Seperti mimpi, aku sungguh sulit untuk percaya. Yang lebih mengagetkan, kata ibu, perempuan yang dibunuh adalah perempuan yang telah Mas Daris hamili. Apa selama hidup denganku Mas Daris selingkuh? Atau dia menjalin hubungan dengan perempuan itu setelah aku pergi dari rumah. Tetapi bisakah aku membenarkan jika Mas Daris selingkuh. Tiga tahun setelah pernikahan kami, Mas Daris sudah sangat jarang meminta melakukan aktivitas ranjang layaknya pasangan suami istri. Bisa saja dia melakukan bersama selingkuhannya tanpa sepengetahuanku. Ya, aku sangat mengenal Mas Daris, dari sejak kami pacaran, dia memiliki nafsu yang sangat sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin berubah? Jika bukan melakukan denganku, pasti dia melakukan dengan selingkuhannya. Hanya saja sekarang bisa ketahuan karena perempuan itu telah hamil. Handphone ku berd
“Dia siapa lagi, Daris? Vina yang mana? Anak siapa? Apa kamu berulah lagi, Daris?” ujar Ayah, pelan namun tegas. Mba Intan mundur dari hadapanku. Dia lalu duduk di samping ibu. Begitu pun dengan Lona. Dia pun duduk di samping Mba Intan, sambil melipat tangan di depan dada. Aku terdiam, tak punya nyali untuk menjawab pertanyaan Ayah. Tidak mungkin aku jujur jika telah menghamili Vina. Tak mungkin aku berkata jika telah berselingkuh di belakang Elana. Kedua orang tuaku pasti akan lebih murka. “Vina siapa yang kamu maksud, Daris? Yang perempuan pelacur itu?” Suara Mba Intan membuatku melihatnya. Nama Vina di kampung ini hanya satu. Sudah jelas jika Mba Intan bisa menebak, Vina mana yang aku maksud. Dalam hati kecil masih ingin berbohong, tetapi takut jika nanti akan menjadi masalah besar. Setelah cukup lama terdiam, aku akhirnya hanya mengangguk sebagai jawaban. Kepala menunduk, tak kuasa melihat wajah ayah dan ibu. Mereka jelas pasti bertanya-tanya. Ada apa dan apa hubungan Vina
“Jadi selama ini ulah kamu, Vani? Dasar wanita iblis! Jangan bermimpi untuk aku menikahi kamu! Kita tidak akan pernah menikah sampai kapan pun!” ujarku dengan sangat marah. Bagaimana tidak, selama ini dia lah yang membuat masalah dalam keluargaku. Dia yang membuat semua pelanggan ibu di Pasar lari ke orang lain. Dia yang membuat orang tuaku bangkrut. Aku sungguh tidak bisa memaafkan perbuatannya. Gara-gara ulah nya, aku bahkan sudah menuduh Elena, seperti yang dikatakan oleh Pak Udin. Ternyata dukun sialan itu hanya asal bicara. Selama ini, bukan Elena pelakunya. “Kenapa, kamu mau marah? Ya silahkan marah saja! Kamu dan keluargamu pantas mendapatkan itu. Kamu terlalu sombong. Kalian layak untuk jatuh miskin!” Vani berkata sambil tersenyum. Bahkan di akhir ucapannya, dia tertawa. Seolah menghinaku. “Kurang ajar kamu, Vina! Aku akan membalas semua perbuatan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku akan membunuhmu!” Aku mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Sebenarnya ingin me
Seluruh makanan yang baru saja memenuhi perut rasanya ingin aku muntahkan saat ini juga. Perkataan yang sungguh membuat mual. Aku ingin berucap, tetapi takut jika kalimat kasar yang keluar dari bibirku. Hati pasrah, membiarkan Roni yang berucap dan aku menjadi pendengar. “Apa kabar, Elena?” Kenapa rasanya merinding ditatap seperti ini oleh Roni. Suaranya yang lembut, membuat bibir pun tak kuasa untuk berucap. Ada apa ini? “Aku tahu kalau kamu dan suamimu hanya menikah siri. Aku juga tahu kalau dia sudah menjatuhkan talak pada kamu. Makanya sekarang aku berani untuk datang lagi … menikahlah denganku!” Mataku terbelalak. Bibir pun bersuara, “maksud kamu apa, Roni? Jangan buat lelucon. Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan. Ada apa? Dulu sewaktu SMA belum cukup menghina dan membully ku, sehingga sekarang ingin menikahi ku dan kembali menyiksaku. Sebenarnya niat kamu apa, Roni? Dulu, aku tidak pernah mau berurusan dengan kamu. Tetapi kamu selalu saja berbuat ulah padaku. Sekar
“Om kenapa membela ibu?” tanya Caca dengan wajah cemberut. Aku kembali melirik Roni. Dia tersenyum lembut pada Caca. “Anak manis, makan lah! Dan jangan banyak bicara lagi. Okey, Cantik.” Caca hanya cemberut, tanpa membalas ucapan Roni. Sedangkan Roni, dia hanya tersenyum manis melihat respon Caca atas perkataannya. Aku kembali fokus dengan bakso yang ada dihadapan. Kini aku merasa canggung. Caca mengikuti perintah untuk diam dan hanya makan. Sedangkan Roni, dia juga tidak mengucap sepatah kata lagi. Aku sedikit menyesal telah menyuruh Caca diam. Jika saja dia tetap cerewet, situasi tidak akan secanggung ini. Setelah makan, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Besok saja aku membeli handphone, setelah mengantar Caca ke sekolah barunya. Jangan sampai Roni mengikuti kami seperti yang dulu dia lakukan padaku. Roni sudah selesai makan, tetapi dia masih saja duduk. Belum mengangkat kaki dari warung ini. Kalau saja tidak ada Caca dihadapanku, sudah pasti mulutku akan berkata kasar p
Lelaki ini, setelah kembali bertemu dia terlihat sangat aneh. Selalu saja tersenyum manis saat bertemu denganku. Bukan seperti saat di sekolah dulu. Lelaki yang sangat aku benci karena selalu mengejek dan membully. Padahal aku tak pernah mengusik hidupnya. Setelah membayar di kasir, aku langsung melangkah. Tetapi lagi dan lagi di usik oleh seorang Roni. Aku menatapnya tajam, sedangkan dia membalas dengan senyuman indah di wajahnya. “Awas aku mau lewat!” ujarku sambil menampilkan wajah tak bersahabat. Roni terus saja menghalangi langkahku. “Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak jadi mengambil rumah yang pernah kita lihat?” tanya Roni dengan wajah yang terus saja tersenyum. Tanpa menjawab, aku langsung melangkah. Kebetulan Roni tidak menghalangi karena ada pelanggan lain yang ingin ke kasir. Aku membenci keadaan ini. Bertemu lagi dengan Roni adalah mimpi buruk. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang? Apa dosaku terlalu besar, sehingga Tuhan tidak ingin mengampuni, sehingga selalu saja mengirim