Share

Bab 3. Suami Pemarah

Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini. 

Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah.

"Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. 

Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada pertanyaan saat melihatku melamun.

"Ya ampun, Nak. Maafkan ibu," ujarku yang langsung menggendongnya. 

"Ayah tidak memberimu makan?" tanyaku lembut. 

Mata Caca memerah. Kepalanya menggeleng lalu menyandarkan di pundakku, dia memeluk.

Sekarang sudah jam sepuluh, wajar jika Caca mengeluh lapar. Karena sibuk, aku lupa memberinya makan. Sejak pagi dia belum makan. Tadi dia bersama Mas Daris. Aku berharap jika Mas Daris akan memberinya makan, karena  aku sibuk di dapur. Walaupun hanya sekadar kue. 

"Ayah marah, aku di cubit. Cubitan ayah di pahaku sangat sakit, Bu. Tetapi ayah suruh jangan menangis."

Aku menatap mata Caca yang telah berkaca. Bibir pun berucap, "kenapa ayah mencubit? Caca pasti nakal."

"Tidak, Bu. Caca tidak nakal kok. Tadi Caca hanya minta kue yang ada di atas meja. Tetapi ayah malah marah dan mencubit Caca," keluh Caca di hadapanku. Suaranya terdengar lirih di telinga. 

Mungkin karena ini Caca datang mencariku. Padahal dari tadi dia bersama Mas Daris. Hanya sesekali mencariku, tetapi tidak datang dalam keadaan menangis.

Hatiku teriris mendengar ucapan Caca. Kalau memang dia salah, seharusnya tidak perlu di cubit. Caca pasti mengerti jika dijelaskan bahwa kue yang ada di atas meja tidak bisa diambil. Sejak Caca lahir hingga sekarang, aku belum pernah mencubit dan memukulnya. 

Tak salah jika Caca menangis. Apalagi yang marah padanya adalah Mas Daris, ayahnya sendiri. Kenapa harus mencubit? Apa Mas Daris tidak bisa mengatakan dengan lembut? Hatiku sangat teriris mendengar curhatan Caca.

"Mungkin Caca bicara dengan cara yang tidak sopan, makanya ayah mencubit. Ibu 'kan sudah sering mengatakan kalau meminta sesuatu harus dengan bahasa yang sopan. Tidak boleh jadi anak yang nakal," tuturku sambil melanjutkan langkah. Membawa Caca ke ruang keluarga.

"Tidak, ibu. Caca minta ke ayah pelan-pelan. Tidak kasar kok, sumpah! Caca juga mengatakan ‘tolong’ pada ayah." Caca berkata dengan suara manjanya. Bibirnya terlipat.

"Iya, ibu percaya pada Caca. Terimakasih sudah menjadi anak cerdasnya ibu. Sudah, jangan menangis lagi!" ujarku sambil mengusap sayang puncak kepala Caca dan tersenyum. Caca kini duduk melipat kaki di ruang keluarga.

"Caca tunggu di sini, ya. Ibu mau ambilkan makan. Jangan ikut ibu karena di dapur licin. Nanti Caca jatuh." 

Aku langsung ke dapur dan membiarkan Caca duduk sendiri di ruang keluarga. Baru saja ingin membuka panci berisi nasi, terdengar namaku dipanggil.

"Kamu ingin makan, Elena? Tidak sopan! Tamu di luar saja belum makan! Kamu sudah mau makan." 

Perkataan Mbak Intan sangat mengiris hati. Sejak kapan dia berada di sini? 

Aku tersenyum, bibir pun berkata, "Caca lapar, Mbak. Dia belum makan dari pagi." 

"Jangan ambil banyak-banyak. Nanti makanan untuk undangan tidak cukup. Kalau kurang bagaimana? Ini juga, kenapa piring kotor belum selesai dicuci? Jangan malas, Elena! Kamu kerja jangan lelet! Kamu tidak boleh istirahat sebelum semua pekerjaan ini selesai!"

Aku menatap Mbak Intan dengan tajam. Bibir berkata, "kapan mbak melihat aku istirahat? Apa mata mbak sudah buta?"

Tak ada jawaban, Mbak Intan mengambil piring bersih yang sudah dirapikan di rak, dia pun meninggalkan aku yang masih mematung di depan panci nasi.

Mata berkaca. Rasanya air yang terkumpul di kelopak ingin tumpah. Aku harus bisa menahan, tidak boleh menangis. 

Aku mencoba berpikir positif. Benar kata Mbak Intan, kalau aku mengambil makanan untuk Caca dalam jumlah yang banyak, bisa saja makanan untuk undangan akan kurang. Tetapi sebanyak apa sih makanan untuk porsi anak kecil? Padahal Caca keponakannya. Kenapa Mbak Intan tega berkata menyakitkan?

"Maafkan ibu, Nak," lirihku sambil mengambil kuah opor ayam. Tetes air mata jatuh, tetapi tangan langsung menghapus. Tidak boleh ada yang melihat.

Aku tidak mengambil ayam untuk dimakan oleh Caca. Hanya kuah opor yang membasahi nasi agar Caca enak makan. Aku tidak ingin Mbak Intan protes dan marah kalau melihat piring makanan Caca. Jika semua orang marah padaku, tidak mengapa. Asalkan tidak marah pada anakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status