Share

Bab 4. Malaikat Kecil Penguatku

Aku menatap Caca yang terlihat lahap. Merasa beruntung memiliki anak yang sejak kecil sangat mengerti keadaan ibunya. Tidak pernah merengek meminta sesuatu saat ibunya tidak mampu memberikan.

Aku masih menemani Caca yang makan dengan lahap. Nanti saja lanjut mencuci piring. Aku juga butuh mengistirahatkan kaki yang rasanya sudah sangat lelah. 

"Boleh tambah?" Caca berkata dengan gaya gemas dan malu-malu. 

Aku langsung mencium pipi anak semata wayangku, lalu berkata, "boleh, Sayang. Tunggu ya, ibu tambahkan nasinya." 

"Jangan lupa dengan kuahnya … Enak, Bu." Caca berkata saat aku berdiri. 

"Iya, Nak," ucapku lalu melangkah dengan hati yang teriris. Hanya dengan kuah opor ayam, Caca sudah makan dengan lahap. Ayam di dalam panci masih banyak. Tetapi aku tidak berani mengambilkan untuk Caca.

"Elena, kamu ngapain?" 

Aku terkejut ketika mendengar suara memanggil namaku. Tangan yang sedang mengambil kuah opor ayam di panci, terhenti. Kepala menoleh melihat lelaki yang berdiri di pintu dapur. 

"Kenapa sudah makan? Orang di luar belum ada yang makan! Kalau ada yang lihat, bagaimana? Kamu tidak sopan! Seharusnya menunggu semua orang makan, baru kamu juga ikut makan." Suara Mas Daris terdengar pelan, namun sungguh sangat mengiris hati.

"Mas, ini untuk Caca. Dari pagi dia belum makan. Dia sudah lapar. Tidak mungkin harus menunggu semua orang makan terlebih dahulu."

Untung saja di dapur hanya ada kami berdua. Jika ada orang lain, aku pasti sudah sangat malu. Aku ditegur oleh suami sendiri saat mengambil makanan untuk Caca, anak kami. 

Aku juga sebenarnya sudah lapar. Tetapi rasa lapar itu berganti tak berselera. Aku bahkan sudah tak berniat untuk makan. Seenak apapun makanan hari ini, aku tidak ingin makan. 

"Kenapa Caca belum makan? Kamu ngapain saja dari tadi?" ucap Mas Daris. Tak ada raut bersalah di wajahnya, atas pertanyaan yang baru saja terlontar.

Aku tersenyum sinis, lalu berkata, "tadi aku menitip Caca ke ayahnya. Aku pikir ayahnya sudah memberinya makan. Ternyata Caca mengeluhkan lapar padaku. Dia juga meminta kue untuk dimakan. Tetapi ayahnya tidak memberi dan langsung mencubitnya." 

Aku melangkah menghampiri Caca, melewati Mas Daris yang mematung di pintu dapur. Tak ingin Caca mendengar perdebatan aku dan Mas Daris. Caca pasti menangis kalau melihat aku dan Mas Daris bertengkar. Caca pernah melihatku bertengkar hebat dengan mas Daris dan dia menangis histeris. Seakan mengerti jika ibunya tersakiti. 

"Makanannya datang."  Aku berkata dengan nada ceria. Memutar-mutar piring sebelum menaruh ke lantai. Tepukan tangan Caca saat menyambut, membuat luka sedikit terobati.

Aku tidak tahu, apa yang dicari oleh mas Daris sehingga harus masuk rumah. Dari tadi dia duduk di tenda acara, dan masuk hanya untuk menyuruhku agar tidak keluar rumah. Apa mungkin hanya ingin mengusikku? Sejak tadi malam, kami sudah bertengkar. Mendengar dia menegurku dengan bahasa kasar, aku yakin amarahnya padaku belum reda.

"Caca makan yang banyak, ya," ujarku sambil tersenyum mengusap puncak kepala Caca.

Caca kembali memasukan makanan ke mulutnya. Sepertinya makanan ini sangat enak. Dari tadi Caca makan sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.

Mas Daris melewati kami tanpa bicara. Aku merasa tidak nyaman. Keluarga besar Mas Daris tidak ada yang ramah padaku. Kalau Mas Daris bersikap seperti ini, rasanya ingin pergi saja dari sini.

Setelah memberi makan Caca, aku kembali ke dapur. Melanjutkan cucian piring yang sempat tertunda. Di sela aktivitas, perutku berbunyi. Aku berusaha menahan karena masih merasakan sakit akibat perkataan Mas Daris. 

Satu jam berlalu. Sepertinya semua orang di luar sudah makan. Dari tadi piring kotor terus berdatangan dan aku hanya menyelesaikan sendiri tanpa ada yang membantu.

"Kamu kalau lapar makan, di dapur saja! Jangan keluar.! Aku tidak ingin malu karena pakaianmu. Sudah tahu hari ini acara pertunangan Lona. Seharusnya kamu bisa berdandan dan memilih pakaian yang bagus untuk dipakai hari ini. Dan satu lagi, jangan makan banyak. Badanmu sudah terlalu gemuk. Aku sudah berulang kali katakan, tidak suka punya istri berbadan gemuk," ucap Mas Daris setelah menaruh piring kotor. 

"Mas!" tuturku setelah melempar spon di ember sabun dengan kasar. Mata menatap nanar mas Daris. "Bisa tidak ucapanmu dijaga? Kamu tidak lihat, aku dari jam tiga subuh sudah bangun, sampai sekarang belum istirahat. Mondar-mandir kesana-kemari, kerjakan ini dan itu. Aku juga mau tampil cantik agar kamu tidak malu. Tetapi siapa yang akan menggantikan aku mengerjakan semua ini? Mencuci piring, menyiapkan makanan yang kurang, mengatur keperluan acara … Aku capek mas! Tolong jangan ditambah lagi dengan ucapanmu yang tidak berperasaan. Kalau kamu malu karena pakaianku, kalau kamu malu karena badanku, tidak perlu menganggapku sebagai istri di depan keluarga tunangan Lona. Anggap saja aku sebagai pembantu di rumah ini." 

Aku tak dapat menahan tangis. Aku berkata dengan air bening yang terus berjatuhan dari kelopak. 

"Tidak usah cengeng. Selesaikan saja semua pekerjaanmu, Elena." Mas Daris langsung melangkah meninggalkan aku. 

Tanpa berlama-lama, aku langsung berdiri, merasa tidak kuat jika harus menyelesaikan cucian piring yang masih banyak. Aku menggendong Caca yang sedang bermain di ruang keluarga lalu masuk ke dalam kamar.

Aku mengunci pintu dari dalam lalu terduduk di lantai. Menjadikan pintu sebagai sandaran. Lutut menekuk menjadi tumpuan untuk kepala menunduk.

"Ibu kenapa menangis?" Suara Caca yang lembut terdengar di telinga. 

Aku langsung membawa malaikat kecilku dalam pelukan. Tangan mungilnya membalas pelukanku dalam kebingungan. Mungkin Caca mengerti yang aku rasa. Bibirnya terdiam sambil mendengar isak tangisku. 

Pikiranku melayang pada musibah enam tahun lalu yang membuat aku menjalani hidup begini. Sebuah rasa cinta yang aku pikir adalah nikmat, ternyata jalannya tidak semulus yang terpikir. Bahkan kini aku justru merasakan pahitnya hidup yang tiada tara. 

"Gugurkan kandunganmu! Kita belum bisa menikah sekarang! Aku memang berjanji akan menikahi kamu, tetapi bukan sekarang. Kamu masih kelas tiga SMA. Satu bulan lagi kamu akan mengikuti ujian kelulusan sekolah. Pasti orang tuaku akan malu kalau tahu aku menghamili kamu, menghamili anak SMA." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status