Aku menatap Caca yang terlihat lahap. Merasa beruntung memiliki anak yang sejak kecil sangat mengerti keadaan ibunya. Tidak pernah merengek meminta sesuatu saat ibunya tidak mampu memberikan.
Aku masih menemani Caca yang makan dengan lahap. Nanti saja lanjut mencuci piring. Aku juga butuh mengistirahatkan kaki yang rasanya sudah sangat lelah. "Boleh tambah?" Caca berkata dengan gaya gemas dan malu-malu. Aku langsung mencium pipi anak semata wayangku, lalu berkata, "boleh, Sayang. Tunggu ya, ibu tambahkan nasinya." "Jangan lupa dengan kuahnya … Enak, Bu." Caca berkata saat aku berdiri. "Iya, Nak," ucapku lalu melangkah dengan hati yang teriris. Hanya dengan kuah opor ayam, Caca sudah makan dengan lahap. Ayam di dalam panci masih banyak. Tetapi aku tidak berani mengambilkan untuk Caca."Elena, kamu ngapain?" Aku terkejut ketika mendengar suara memanggil namaku. Tangan yang sedang mengambil kuah opor ayam di panci, terhenti. Kepala menoleh melihat lelaki yang berdiri di pintu dapur. "Kenapa sudah makan? Orang di luar belum ada yang makan! Kalau ada yang lihat, bagaimana? Kamu tidak sopan! Seharusnya menunggu semua orang makan, baru kamu juga ikut makan." Suara Mas Daris terdengar pelan, namun sungguh sangat mengiris hati."Mas, ini untuk Caca. Dari pagi dia belum makan. Dia sudah lapar. Tidak mungkin harus menunggu semua orang makan terlebih dahulu."Untung saja di dapur hanya ada kami berdua. Jika ada orang lain, aku pasti sudah sangat malu. Aku ditegur oleh suami sendiri saat mengambil makanan untuk Caca, anak kami. Aku juga sebenarnya sudah lapar. Tetapi rasa lapar itu berganti tak berselera. Aku bahkan sudah tak berniat untuk makan. Seenak apapun makanan hari ini, aku tidak ingin makan. "Kenapa Caca belum makan? Kamu ngapain saja dari tadi?" ucap Mas Daris. Tak ada raut bersalah di wajahnya, atas pertanyaan yang baru saja terlontar.Aku tersenyum sinis, lalu berkata, "tadi aku menitip Caca ke ayahnya. Aku pikir ayahnya sudah memberinya makan. Ternyata Caca mengeluhkan lapar padaku. Dia juga meminta kue untuk dimakan. Tetapi ayahnya tidak memberi dan langsung mencubitnya." Aku melangkah menghampiri Caca, melewati Mas Daris yang mematung di pintu dapur. Tak ingin Caca mendengar perdebatan aku dan Mas Daris. Caca pasti menangis kalau melihat aku dan Mas Daris bertengkar. Caca pernah melihatku bertengkar hebat dengan mas Daris dan dia menangis histeris. Seakan mengerti jika ibunya tersakiti. "Makanannya datang." Aku berkata dengan nada ceria. Memutar-mutar piring sebelum menaruh ke lantai. Tepukan tangan Caca saat menyambut, membuat luka sedikit terobati.Aku tidak tahu, apa yang dicari oleh mas Daris sehingga harus masuk rumah. Dari tadi dia duduk di tenda acara, dan masuk hanya untuk menyuruhku agar tidak keluar rumah. Apa mungkin hanya ingin mengusikku? Sejak tadi malam, kami sudah bertengkar. Mendengar dia menegurku dengan bahasa kasar, aku yakin amarahnya padaku belum reda."Caca makan yang banyak, ya," ujarku sambil tersenyum mengusap puncak kepala Caca.Caca kembali memasukan makanan ke mulutnya. Sepertinya makanan ini sangat enak. Dari tadi Caca makan sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.Mas Daris melewati kami tanpa bicara. Aku merasa tidak nyaman. Keluarga besar Mas Daris tidak ada yang ramah padaku. Kalau Mas Daris bersikap seperti ini, rasanya ingin pergi saja dari sini.Setelah memberi makan Caca, aku kembali ke dapur. Melanjutkan cucian piring yang sempat tertunda. Di sela aktivitas, perutku berbunyi. Aku berusaha menahan karena masih merasakan sakit akibat perkataan Mas Daris. Satu jam berlalu. Sepertinya semua orang di luar sudah makan. Dari tadi piring kotor terus berdatangan dan aku hanya menyelesaikan sendiri tanpa ada yang membantu."Kamu kalau lapar makan, di dapur saja! Jangan keluar.! Aku tidak ingin malu karena pakaianmu. Sudah tahu hari ini acara pertunangan Lona. Seharusnya kamu bisa berdandan dan memilih pakaian yang bagus untuk dipakai hari ini. Dan satu lagi, jangan makan banyak. Badanmu sudah terlalu gemuk. Aku sudah berulang kali katakan, tidak suka punya istri berbadan gemuk," ucap Mas Daris setelah menaruh piring kotor. "Mas!" tuturku setelah melempar spon di ember sabun dengan kasar. Mata menatap nanar mas Daris. "Bisa tidak ucapanmu dijaga? Kamu tidak lihat, aku dari jam tiga subuh sudah bangun, sampai sekarang belum istirahat. Mondar-mandir kesana-kemari, kerjakan ini dan itu. Aku juga mau tampil cantik agar kamu tidak malu. Tetapi siapa yang akan menggantikan aku mengerjakan semua ini? Mencuci piring, menyiapkan makanan yang kurang, mengatur keperluan acara … Aku capek mas! Tolong jangan ditambah lagi dengan ucapanmu yang tidak berperasaan. Kalau kamu malu karena pakaianku, kalau kamu malu karena badanku, tidak perlu menganggapku sebagai istri di depan keluarga tunangan Lona. Anggap saja aku sebagai pembantu di rumah ini." Aku tak dapat menahan tangis. Aku berkata dengan air bening yang terus berjatuhan dari kelopak. "Tidak usah cengeng. Selesaikan saja semua pekerjaanmu, Elena." Mas Daris langsung melangkah meninggalkan aku. Tanpa berlama-lama, aku langsung berdiri, merasa tidak kuat jika harus menyelesaikan cucian piring yang masih banyak. Aku menggendong Caca yang sedang bermain di ruang keluarga lalu masuk ke dalam kamar.Aku mengunci pintu dari dalam lalu terduduk di lantai. Menjadikan pintu sebagai sandaran. Lutut menekuk menjadi tumpuan untuk kepala menunduk."Ibu kenapa menangis?" Suara Caca yang lembut terdengar di telinga. Aku langsung membawa malaikat kecilku dalam pelukan. Tangan mungilnya membalas pelukanku dalam kebingungan. Mungkin Caca mengerti yang aku rasa. Bibirnya terdiam sambil mendengar isak tangisku. Pikiranku melayang pada musibah enam tahun lalu yang membuat aku menjalani hidup begini. Sebuah rasa cinta yang aku pikir adalah nikmat, ternyata jalannya tidak semulus yang terpikir. Bahkan kini aku justru merasakan pahitnya hidup yang tiada tara. "Gugurkan kandunganmu! Kita belum bisa menikah sekarang! Aku memang berjanji akan menikahi kamu, tetapi bukan sekarang. Kamu masih kelas tiga SMA. Satu bulan lagi kamu akan mengikuti ujian kelulusan sekolah. Pasti orang tuaku akan malu kalau tahu aku menghamili kamu, menghamili anak SMA."Air mata mulai tergenang di kelopak sambil menatap Mas Daris. Setiap kali merayu untuk melakukan hubungan haram, Mas Daris selalu berjanji akan menikahi ku. Kalimat manis yang keluar dari bibirnya membuat hati luluh dan melakukan segala pintanya.Kamarku menjadi saksi dosa kami. Hampir setiap kali Tante Mita dan Om Bima keluar daerah, Mas Daris ke rumah dan kami melakukannya. Ya, melakukan aktivitas terlarang. Dia memanfaatkan saat rumah sedang kosong untuk merayuku. Setiap kali selesai melayani nafsu laknat, aku selalu menyesal dan takut, hingga hidup tak pernah tenang. Takut akan hamil, takut ibu tahu kelakuanku, takut masa depan hancur, takut Tante Mita dan Om Bima tahu kelakuanku. Takut membuat orang-orang kecewa padaku. Hingga akhirnya ketakutan itu terjadi. Aku hamil saat duduk di bangku SMA, menjelang ujian kelulusan sekolah. Terlalu dini! Tetapi semua sudah terjadi."Kamu yang pertama merayuku, Mas! Hingga akhirnya aku luluh dan mau melayani kamu. Kamu juga sering memaksa aku,
Saat itu aku tidak berniat lagi untuk menyuruh Mas Daris masuk ke dalam rumah. Entah apa tujuannya datang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya memikirkan janin dalam kandungan. Takut jika dia memaksa untuk menggugurkan malaikat tak bersalah dalam rahimku. Aku sudah berbuat dosa yang fatal, tak ingin lagi menambah dosa. Tidak mau menjadi pembunuh. "Kita bicara di dalam. Tidak enak bicara di pintu seperti ini." Suara Bas milik Mas Daris seolah menghipnotis. Tanpa berkata, aku bergeser dari depan pintu, berdiri ke samping. Mas Daris seakan mengerti pergerakanku, dia pun masuk ke dalam rumah, dengan gaya lambat. Aku pun menutup pintu."Aku minta maaf sudah marah-marah ke kamu."Perkataan Mas Daris yang pelan saat itu membuatku mengerutkan alis. Apa dia sedang kerasukan jin baik? Kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan maaf?"Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Elena. Aku tak ingin hubungan kita berakhir. Aku tak bisa hidup tanpa kamu." Mas Daris berkata sambil menatap
Setelah ijab kabul, aku di bawa oleh Mas Daris untuk tinggal di rumahnya. Beberapa hari tinggal di Rumah Mas Daris, aku tetap mendapatkan perlakuan buruk. Bahkan saat ada Mas Daris pun, aku tetap di hina. Mas Daris tak membantu, dia hanya diam saja dengan alasan, tak ingin membuat masalah lagi karena dia telah mempermalukan keluarganya. Apapun kalimat jahat yang keluar dari bibir orang tua dan keluarganya, Mas Daris hanya menyuruhku bersabar. Pernikahan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku pikir setelah Mas Daris bertanggung jawab, aku akan merasakan hidup yang sangat bahagia. Ternyata itulah awal dari penderitaan. Semua orang menganggap aku lah yang bersalah. Aku perempuan murahan, tidak lebih baik dari seorang pelacur."Ayah marah lagi? Apa Ayah bicara kasar lagi ke ibu, makanya sekarang ibu menangis?" Suara Caca menyadarkan lamunan dan menghentikan Isak tangis. Aku menatap, tangan kecilnya sedang menghapus air mataku. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah tidak kuat menj
Bunyi ketukan pintu menyadarkan aku. Terdengar suara mas Daris dari balik pintu. Apa mungkin tadi dia belum puas untuk marah? Apa dia masih ingin melanjutkan amarahnya? Apa mungkin dia belum puas berkata kasar?Aku menghapus bening yang terus berjatuhan. Di sampingku masih ada Caca, malaikat kecil penguatku. Aku berdiri, membawa Caca untuk duduk di kasur, lalu membuka pintu. Tidak ingin membuat orang di luar kamar bertanya-tanya, jika melihat Mas Daris lama berdiri di depan pintu kamar. "Mata kamu kenapa? Menangis?" tanya Mas Daris sambil menatap lekat. Tak perlu dijawab, Mas Daris pasti sudah tahu jawabannya. Keadaanku sudah sangat acak-acakan. Rambut yang tidak rapi dan baju yang kusut. Aku berjalan ingin duduk di kasur. Tidak mau menjawab pertanyaan Mas Daris karena di sini ada Caca. Tidak ingin pula Caca melihat Mas Daris dan aku bertengkar. Caca pasti akan takut. Aku semakin terpukul jika melihat Caca menangis histeris."Kenapa kamu menangis? … Kenapa kamu terlalu cengeng, Elen
***"Bu, kita mau kemana? Kenapa pakai baju bagus?" tanya Caca dengan lembut. Mungkin dia heran karena aku memakaikan baju yang dibeli saat lebaran. "Hari ini kita pergi jalan-jalan, sayang." Aku memakaikan baju di badan Caca dengan terburu. Kami harus keluar dari sekarang. Saat ini di Rumah hanya ada aku dan Caca. Semua orang sedang berada di pasar dan akan pulang ke Rumah di malam hari. Kebetulan ini hari minggu. Biasanya jika hari Minggu, pasar akan tetap ramai hingga malam. Jika ada yang melihatku keluar rumah dengan berpakaian rapi, pasti akan ada banyak lontaran pertanyaan."Kalau ada yang tanya kita ke mana, katakan saja kalau kita mau ke Rumah Nenek." Setelah Caca sudah rapi, aku pun mengganti baju. Memakai celana hitam dan baju marun. Rambut di ikat, tak lupa masker yang menutupi wajah. Aku melihat pantulan diri depan cermin. Benar kata Mas Daris, aku kini sangat gemuk. Sudah lama tidak menimbang badan. Tak tahu berapa kenaikan berat badanku saat ini. Setelah melahirkan
Kami tiba di Mall ketika jarum jam menunjuk pukul sebelas. Aku melihat wajah Caca yang sangat ceria. Berjalan sambil menampakan wajah yang bahagia."Bu, Caca boleh beli mainan?" tanya Caca saat kami melewati toko mainan. "Nak, kamu main saja ya di sini. Jangan beli mainan. Terserah mau main apa saja. Pokoknya hari ini Caca bisa main sepuasnya. Tetapi ibu tidak mengizinkan untuk membeli mainan dan dibawa pulang." "Memangnya kenapa, Bu? Kenapa aku tidak bisa beli mainan? Aku ingin beli barbie, beli boneka panda, beli tas sekolah. Tidak apa-apa kalau aku tidak main, Bu. Asalkan bisa beli dan dibawa pulang. Uang yang dikasih oleh ayah dibelikan saja mainan ya, Bu." Andai saja kami sudah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Daris, aku akan menyuruh Caca untuk membeli sepuasnya yang dia mau. Aku tak akan membiarkan dia menjadi anak yang seakan memiliki ibu tidak mampu. Hanya saja, sekarang tidak bisa. Jika aku membelikan mainan untuk Caca, ibu mertua pasti akan banyak bertanya tentang asa
***"Elena, setelah Caca sarapan, kamu mencuci! Semua baju sudah ada di mesin cuci," ujar Mbak Intan yang kini berdiri di hadapanku dengan pakaiannya yang sudah rapi. Mungkin dia mau ke Pasar."Caca sedang sakit, Mba. Aku sulit untuk mencuci kalau dia sedang rewel. Di dapur juga masih ada piring kotor bekas sarapan tadi, belum sempat aku cuci."Aku berkata sambil menyuapi Caca. Tanpa perlu melihat wajah Mbak Intan. Baru saja beristirahat, dia sudah menyuruhku lagi. Ya, aku menganggap menyuapi Caca adalah istirahat. Setidaknya bisa duduk dan meluruskan badan. Sejak bangun jam lima subuh, aku sudah menyibukan diri dengan membuat sarapan untuk semua orang di rumah. Mencuci piring bekas makan semalam yang belum sempat dicuci. Sekarang Mbak Intan menyuruhku lagi. Tidak bisakah dia membiarkan aku beristirahat sejenak?"Ya Allah, Elena! Ya kan Caca tidak rewel. Jadi, kamu bisa tinggal sebentar untuk nyuci bajuku. Lagipula tidak banyak kok. Jangan malas. Jangan hanya mau tinggal gratis di sin
"Caca duduk di sini dulu ya, ibu mau bersihkan dapur. Kalau nanti ayah pulang, terus rumah masih kotor, ayah akan memarahi ibu. Jadi Caca main sendiri dulu ya."Setelah mendapat anggukan dari Caca, aku langsung menurunkannya dari pangkuan dan menuju dapur. Aku berdiri di pintu. Kepala menggeleng melihat pekerjaan yang harus diselesaikan. Mencuci piring, mengepel rumah, dan memasak untuk makan siang. Mungkin pekerjaan rumah tidak akan terasa berat jika aku hanya mengurus keluarga kecilku. Tetapi jika dijadikan pembantu di Rumah mertua, rasanya sungguh sangat berat. Apalagi diam-diam aku bekerja mencari nafkah. Ya, aku selalu meluangkan waktu siang sampai jam empat sore untuk menulis. Selain karena waktu itu aku tidak sibuk mengurus rumah, semua orang juga jarang ada di rumah. Tetapi meskipun ada orang di rumah, aku juga sering menyempatkan untuk menulis. Kebetulan aku menulis menggunakan handphone, sehingga tidak menaruh curiga di banyak orang jika aku sering memegang handphone dalam w