Home / Rumah Tangga / Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas! / Bab 2. Hari Pertunangan Lona

Share

Bab 2. Hari Pertunangan Lona

Author: YOZA GUSRI
last update Huling Na-update: 2023-07-29 13:42:15

"Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."

Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah.

"Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku.

"Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir.

"Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu keluar! Cukup bereskan dapur agar tidak kotor. Kalau ada yang melihat dapur berantakan, kita akan malu. Kamu duduk saja di dapur. Jangan keluar-keluar."

Setelah berkata, Mbak Intan langsung meninggalkan aku yang berdiri mematung.

Mata mulai terasa panas. Kelopak mulai basah. Bibir terdiam. Kaki terasa lemas. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Seharusnya aku sadar, keberadaanku disini tidak dianggap bagian dari keluarga mereka," lirihku bersamaan dengan jatuhnya bening dari kelopak.

Aku menolehkan kepala. Mata menatap langkah kaki Mbak Intan yang akan keluar dari rumah menuju tenda acara. Apakah mereka malu jika aku juga berada di sana?

Aku di sini menantu, bukan pembantu. Kenapa aku yang harus berada di dapur? Seharusnya aku juga berada di depan, menyambut undangan dan berpakaian rapi seperti keluarga besar Mas Daris.

Masih dengan kaki yang terasa lemas. Aku pun melangkah ke dapur. Piring kotor sudah menumpuk. Kalau aku membersihkan sendiri pasti akan lama. Tetapi harus meminta bantuan pada siapa? Semua keluarga besar Mas Daris sudah berpakaian cantik. Sangat tidak mungkin jika mereka datang membantuku.

"Ibu? Kok ibu tidak keluar? Paman ganteng sudah datang."

Suara Caca menghentikan aktifitas tangan yang sedang mencuci piring.

"Ibu sedang banyak kerjaan, Sayang. Kamu ke ayah dulu ya. Nanti baju kamu kotor kalau dekat dekat dengan ibu." Senyum lembut tak lepas dari wajah selama aku berucap.

Hati sangat senang melihat baju yang dipakai oleh Caca. Baju kebaya silver. Sangat kontras dengan kulit Caca yang putih. Warna kulit gadis kecilku sama denganku. Namun wajahnya sangat mirip dengan wajah Mas Daris.

"Memangnya ibu tidak penasaran dengan wajah paman ganteng," ujar Caca sambil melangkah mendekatiku.

"Kamu berdiri di situ saja, Nak. Di sini licin. Nanti bajunya kotor kalau kamu jatuh," ujarku sambil melanjutkan cucian piring. Sesekali kepala menoleh melihat Caca. Untung saja dia mengikuti perintah untuk tak mendekat.

"Tapi aku mau ibu juga duduk di depan. Masa ibu di sini cuci piring. Caca lihat ibu dari tadi hanya bersih-bersih dapur."

Aku terdiam sejenak. Menarik napas lalu menoleh dan tersenyum pada gadis kecilku. Aku membilas tangan hingga bersih. Mendekati Caca dan duduk di lantai agar sejajar dengannya, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Kini kedua tanganku berada di pundak Caca.

"Nak, kalau ibu juga duduk di depan, siapa yang akan bereskan pekerjaan ini? Lagi pula tidak apa-apa ibu di sini. Caca 'kan tahu kalau ibu hobinya beres-beres rumah. Ibu lebih senang berada di dapur daripada menyambut tamu."

Usia Caca sudah lima tahun lebih. Dia sudah semakin pintar berbicara. Mungkin Caca merasa aneh karena dari tadi aku sibuk ke sana kemari, berbeda dengan orang yang lain. Masih banyak yang Caca belum mengerti dan aku pun belum pantas untuk menjelaskan. Usianya masih terlalu dini untuk memahami yang terjadi pada ibunya.

"Ya sudah, kalau begitu Caca ke depan ya, Bu." Caca langsung berlari kecil.

"Jangan lari-lari, Nak." Aku sedikit mengeraskan suara. Caca pasti masih dapat mendengar.

Aku kembali pada aktivitas semula. Menggeser piring yang telah bersih untuk di keringkan. Aku pikir pekerjaan sudah selesai di jam delapan pagi tadi. Ternyata bekas piring makan semalam, membuatku masih berada di sini.

Sambil tangan terus bekerja, pikiranku melayang kemana-mana. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Terlindas dalam ingatan, kejadian beberapa hari lalu.

"Bu, tadi ada yang datang. Dia menawarkan diri untuk cuci piring di acara pertunangan Lona. Aku suruh untuk ke pasar saja, agar bertemu langsung dengan ibu."

Masih jelas diingatan, empat hari yang lalu berkata begitu pada ibu mertua saat sedang istirahat setelah pulang dari pasar.

"Tidak usah pakai jasa tukang cuci piring. Pengeluaran ibu sudah banyak. Nanti 'kan ada kamu yang bisa cuci piring. Jadi tidak usah pakai jasa apapun."

Saat itu, aku langsung bisa menebak, apa yang terjadi. Ibu mertua tidak menjahitkan baju untukku, aku juga disuruh untuk berada di dapur. Masihkah aku berharap untuk dianggap? Seharusnya tidak perlu. Tetapi bagaimanapun, aku istri Mas Daris. Aku juga sudah menjadi menantunya. Seharusnya aku berada di luar. Berpakaian dan berpenampilan cantik seperti yang lain.

Kalau memakai jasa masak dan cuci piring, aku pikir juga tidak mahal. Bahkan mungkin lebih mahal baju pertunangan yang di pakai oleh Lona. Orang tua Mas Daris termasuk orang yang mampu dan di anggap sebagai keluarga berada di kampung ini. Mereka memiliki usaha toko sembako di pasar. Aku yakin mereka pasti memiliki uang untuk menyewa jasa cuci piring.

"Elena!"

Terdengar suara Mas Daris memanggilku. Aku langsung mengusap tangan basah dibaju agar kering. Lalu bergegas ke arah suara.

"Iya, Mas," sahutku sambil melangkah.

Mas Daris memperhatikan aku dari ujung kaki hingga kepala. Dia menatap dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Ada apa, Mas? Tamu undangan sudah makan? Apa ada makanan yang mau ditambahkan." Aku berkata dengan sangat lembut.

"Kamu jangan keluar. Tetap di sini saja." Mas Daris lalu melangkah meninggalkan aku yang sedang mematung.

"Kenapa Mas Daris juga menyuruhku untuk tidak keluar? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Padahal aku sudah mengganti baju. " lirihku sambil menatap langkah Mas Daris yang menjauh.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 34. Memilih Hidup Tanpa Pasangan

    Terlalu banyak hal yang membuatku kaget. Bagaimana tidak, aku mendapat informasi dari ibu jika Mas Daris masuk penjara karena telah menjadi pelaku pembunuhan. Seperti mimpi, aku sungguh sulit untuk percaya. Yang lebih mengagetkan, kata ibu, perempuan yang dibunuh adalah perempuan yang telah Mas Daris hamili. Apa selama hidup denganku Mas Daris selingkuh? Atau dia menjalin hubungan dengan perempuan itu setelah aku pergi dari rumah. Tetapi bisakah aku membenarkan jika Mas Daris selingkuh. Tiga tahun setelah pernikahan kami, Mas Daris sudah sangat jarang meminta melakukan aktivitas ranjang layaknya pasangan suami istri. Bisa saja dia melakukan bersama selingkuhannya tanpa sepengetahuanku. Ya, aku sangat mengenal Mas Daris, dari sejak kami pacaran, dia memiliki nafsu yang sangat sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin berubah? Jika bukan melakukan denganku, pasti dia melakukan dengan selingkuhannya. Hanya saja sekarang bisa ketahuan karena perempuan itu telah hamil. Handphone ku berd

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 33. Di Usir dari Rumah (POV Daris)

    “Dia siapa lagi, Daris? Vina yang mana? Anak siapa? Apa kamu berulah lagi, Daris?” ujar Ayah, pelan namun tegas. Mba Intan mundur dari hadapanku. Dia lalu duduk di samping ibu. Begitu pun dengan Lona. Dia pun duduk di samping Mba Intan, sambil melipat tangan di depan dada. Aku terdiam, tak punya nyali untuk menjawab pertanyaan Ayah. Tidak mungkin aku jujur jika telah menghamili Vina. Tak mungkin aku berkata jika telah berselingkuh di belakang Elana. Kedua orang tuaku pasti akan lebih murka. “Vina siapa yang kamu maksud, Daris? Yang perempuan pelacur itu?” Suara Mba Intan membuatku melihatnya. Nama Vina di kampung ini hanya satu. Sudah jelas jika Mba Intan bisa menebak, Vina mana yang aku maksud. Dalam hati kecil masih ingin berbohong, tetapi takut jika nanti akan menjadi masalah besar. Setelah cukup lama terdiam, aku akhirnya hanya mengangguk sebagai jawaban. Kepala menunduk, tak kuasa melihat wajah ayah dan ibu. Mereka jelas pasti bertanya-tanya. Ada apa dan apa hubungan Vina

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 32. Bukan Elena Pelakunya (POV Damar)

    “Jadi selama ini ulah kamu, Vani? Dasar wanita iblis! Jangan bermimpi untuk aku menikahi kamu! Kita tidak akan pernah menikah sampai kapan pun!” ujarku dengan sangat marah. Bagaimana tidak, selama ini dia lah yang membuat masalah dalam keluargaku. Dia yang membuat semua pelanggan ibu di Pasar lari ke orang lain. Dia yang membuat orang tuaku bangkrut. Aku sungguh tidak bisa memaafkan perbuatannya. Gara-gara ulah nya, aku bahkan sudah menuduh Elena, seperti yang dikatakan oleh Pak Udin. Ternyata dukun sialan itu hanya asal bicara. Selama ini, bukan Elena pelakunya. “Kenapa, kamu mau marah? Ya silahkan marah saja! Kamu dan keluargamu pantas mendapatkan itu. Kamu terlalu sombong. Kalian layak untuk jatuh miskin!” Vani berkata sambil tersenyum. Bahkan di akhir ucapannya, dia tertawa. Seolah menghinaku. “Kurang ajar kamu, Vina! Aku akan membalas semua perbuatan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku akan membunuhmu!” Aku mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Sebenarnya ingin me

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 31. Ternyata Cintaku Dulu Terbalas

    Seluruh makanan yang baru saja memenuhi perut rasanya ingin aku muntahkan saat ini juga. Perkataan yang sungguh membuat mual. Aku ingin berucap, tetapi takut jika kalimat kasar yang keluar dari bibirku. Hati pasrah, membiarkan Roni yang berucap dan aku menjadi pendengar. “Apa kabar, Elena?” Kenapa rasanya merinding ditatap seperti ini oleh Roni. Suaranya yang lembut, membuat bibir pun tak kuasa untuk berucap. Ada apa ini? “Aku tahu kalau kamu dan suamimu hanya menikah siri. Aku juga tahu kalau dia sudah menjatuhkan talak pada kamu. Makanya sekarang aku berani untuk datang lagi … menikahlah denganku!” Mataku terbelalak. Bibir pun bersuara, “maksud kamu apa, Roni? Jangan buat lelucon. Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan. Ada apa? Dulu sewaktu SMA belum cukup menghina dan membully ku, sehingga sekarang ingin menikahi ku dan kembali menyiksaku. Sebenarnya niat kamu apa, Roni? Dulu, aku tidak pernah mau berurusan dengan kamu. Tetapi kamu selalu saja berbuat ulah padaku. Sekar

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 30. Tutur Kata Roni

    “Om kenapa membela ibu?” tanya Caca dengan wajah cemberut. Aku kembali melirik Roni. Dia tersenyum lembut pada Caca. “Anak manis, makan lah! Dan jangan banyak bicara lagi. Okey, Cantik.” Caca hanya cemberut, tanpa membalas ucapan Roni. Sedangkan Roni, dia hanya tersenyum manis melihat respon Caca atas perkataannya. Aku kembali fokus dengan bakso yang ada dihadapan. Kini aku merasa canggung. Caca mengikuti perintah untuk diam dan hanya makan. Sedangkan Roni, dia juga tidak mengucap sepatah kata lagi. Aku sedikit menyesal telah menyuruh Caca diam. Jika saja dia tetap cerewet, situasi tidak akan secanggung ini. Setelah makan, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Besok saja aku membeli handphone, setelah mengantar Caca ke sekolah barunya. Jangan sampai Roni mengikuti kami seperti yang dulu dia lakukan padaku. Roni sudah selesai makan, tetapi dia masih saja duduk. Belum mengangkat kaki dari warung ini. Kalau saja tidak ada Caca dihadapanku, sudah pasti mulutku akan berkata kasar p

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 29. Si Makhluk Pengganggu

    Lelaki ini, setelah kembali bertemu dia terlihat sangat aneh. Selalu saja tersenyum manis saat bertemu denganku. Bukan seperti saat di sekolah dulu. Lelaki yang sangat aku benci karena selalu mengejek dan membully. Padahal aku tak pernah mengusik hidupnya. Setelah membayar di kasir, aku langsung melangkah. Tetapi lagi dan lagi di usik oleh seorang Roni. Aku menatapnya tajam, sedangkan dia membalas dengan senyuman indah di wajahnya. “Awas aku mau lewat!” ujarku sambil menampilkan wajah tak bersahabat. Roni terus saja menghalangi langkahku. “Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak jadi mengambil rumah yang pernah kita lihat?” tanya Roni dengan wajah yang terus saja tersenyum. Tanpa menjawab, aku langsung melangkah. Kebetulan Roni tidak menghalangi karena ada pelanggan lain yang ingin ke kasir. Aku membenci keadaan ini. Bertemu lagi dengan Roni adalah mimpi buruk. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang? Apa dosaku terlalu besar, sehingga Tuhan tidak ingin mengampuni, sehingga selalu saja mengirim

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status