Share

Bab 2. Hari Pertunangan Lona

"Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."

Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah.

"Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku.

"Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir.

"Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu keluar! Cukup bereskan dapur agar tidak kotor. Kalau ada yang melihat dapur berantakan, kita akan malu. Kamu duduk saja di dapur. Jangan keluar-keluar."

Setelah berkata, Mbak Intan langsung meninggalkan aku yang berdiri mematung.

Mata mulai terasa panas. Kelopak mulai basah. Bibir terdiam. Kaki terasa lemas. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Seharusnya aku sadar, keberadaanku disini tidak dianggap bagian dari keluarga mereka," lirihku bersamaan dengan jatuhnya bening dari kelopak.

Aku menolehkan kepala. Mata menatap langkah kaki Mbak Intan yang akan keluar dari rumah menuju tenda acara. Apakah mereka malu jika aku juga berada di sana?

Aku di sini menantu, bukan pembantu. Kenapa aku yang harus berada di dapur? Seharusnya aku juga berada di depan, menyambut undangan dan berpakaian rapi seperti keluarga besar Mas Daris.

Masih dengan kaki yang terasa lemas. Aku pun melangkah ke dapur. Piring kotor sudah menumpuk. Kalau aku membersihkan sendiri pasti akan lama. Tetapi harus meminta bantuan pada siapa? Semua keluarga besar Mas Daris sudah berpakaian cantik. Sangat tidak mungkin jika mereka datang membantuku.

"Ibu? Kok ibu tidak keluar? Paman ganteng sudah datang."

Suara Caca menghentikan aktifitas tangan yang sedang mencuci piring.

"Ibu sedang banyak kerjaan, Sayang. Kamu ke ayah dulu ya. Nanti baju kamu kotor kalau dekat dekat dengan ibu." Senyum lembut tak lepas dari wajah selama aku berucap.

Hati sangat senang melihat baju yang dipakai oleh Caca. Baju kebaya silver. Sangat kontras dengan kulit Caca yang putih. Warna kulit gadis kecilku sama denganku. Namun wajahnya sangat mirip dengan wajah Mas Daris.

"Memangnya ibu tidak penasaran dengan wajah paman ganteng," ujar Caca sambil melangkah mendekatiku.

"Kamu berdiri di situ saja, Nak. Di sini licin. Nanti bajunya kotor kalau kamu jatuh," ujarku sambil melanjutkan cucian piring. Sesekali kepala menoleh melihat Caca. Untung saja dia mengikuti perintah untuk tak mendekat.

"Tapi aku mau ibu juga duduk di depan. Masa ibu di sini cuci piring. Caca lihat ibu dari tadi hanya bersih-bersih dapur."

Aku terdiam sejenak. Menarik napas lalu menoleh dan tersenyum pada gadis kecilku. Aku membilas tangan hingga bersih. Mendekati Caca dan duduk di lantai agar sejajar dengannya, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Kini kedua tanganku berada di pundak Caca.

"Nak, kalau ibu juga duduk di depan, siapa yang akan bereskan pekerjaan ini? Lagi pula tidak apa-apa ibu di sini. Caca 'kan tahu kalau ibu hobinya beres-beres rumah. Ibu lebih senang berada di dapur daripada menyambut tamu."

Usia Caca sudah lima tahun lebih. Dia sudah semakin pintar berbicara. Mungkin Caca merasa aneh karena dari tadi aku sibuk ke sana kemari, berbeda dengan orang yang lain. Masih banyak yang Caca belum mengerti dan aku pun belum pantas untuk menjelaskan. Usianya masih terlalu dini untuk memahami yang terjadi pada ibunya.

"Ya sudah, kalau begitu Caca ke depan ya, Bu." Caca langsung berlari kecil.

"Jangan lari-lari, Nak." Aku sedikit mengeraskan suara. Caca pasti masih dapat mendengar.

Aku kembali pada aktivitas semula. Menggeser piring yang telah bersih untuk di keringkan. Aku pikir pekerjaan sudah selesai di jam delapan pagi tadi. Ternyata bekas piring makan semalam, membuatku masih berada di sini.

Sambil tangan terus bekerja, pikiranku melayang kemana-mana. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Terlindas dalam ingatan, kejadian beberapa hari lalu.

"Bu, tadi ada yang datang. Dia menawarkan diri untuk cuci piring di acara pertunangan Lona. Aku suruh untuk ke pasar saja, agar bertemu langsung dengan ibu."

Masih jelas diingatan, empat hari yang lalu berkata begitu pada ibu mertua saat sedang istirahat setelah pulang dari pasar.

"Tidak usah pakai jasa tukang cuci piring. Pengeluaran ibu sudah banyak. Nanti 'kan ada kamu yang bisa cuci piring. Jadi tidak usah pakai jasa apapun."

Saat itu, aku langsung bisa menebak, apa yang terjadi. Ibu mertua tidak menjahitkan baju untukku, aku juga disuruh untuk berada di dapur. Masihkah aku berharap untuk dianggap? Seharusnya tidak perlu. Tetapi bagaimanapun, aku istri Mas Daris. Aku juga sudah menjadi menantunya. Seharusnya aku berada di luar. Berpakaian dan berpenampilan cantik seperti yang lain.

Kalau memakai jasa masak dan cuci piring, aku pikir juga tidak mahal. Bahkan mungkin lebih mahal baju pertunangan yang di pakai oleh Lona. Orang tua Mas Daris termasuk orang yang mampu dan di anggap sebagai keluarga berada di kampung ini. Mereka memiliki usaha toko sembako di pasar. Aku yakin mereka pasti memiliki uang untuk menyewa jasa cuci piring.

"Elena!"

Terdengar suara Mas Daris memanggilku. Aku langsung mengusap tangan basah dibaju agar kering. Lalu bergegas ke arah suara.

"Iya, Mas," sahutku sambil melangkah.

Mas Daris memperhatikan aku dari ujung kaki hingga kepala. Dia menatap dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Ada apa, Mas? Tamu undangan sudah makan? Apa ada makanan yang mau ditambahkan." Aku berkata dengan sangat lembut.

"Kamu jangan keluar. Tetap di sini saja." Mas Daris lalu melangkah meninggalkan aku yang sedang mematung.

"Kenapa Mas Daris juga menyuruhku untuk tidak keluar? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Padahal aku sudah mengganti baju. " lirihku sambil menatap langkah Mas Daris yang menjauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status