"Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."
Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah."Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku."Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir."Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu keluar! Cukup bereskan dapur agar tidak kotor. Kalau ada yang melihat dapur berantakan, kita akan malu. Kamu duduk saja di dapur. Jangan keluar-keluar."Setelah berkata, Mbak Intan langsung meninggalkan aku yang berdiri mematung.Mata mulai terasa panas. Kelopak mulai basah. Bibir terdiam. Kaki terasa lemas. Aku tidak tahu harus berkata apa."Seharusnya aku sadar, keberadaanku disini tidak dianggap bagian dari keluarga mereka," lirihku bersamaan dengan jatuhnya bening dari kelopak.Aku menolehkan kepala. Mata menatap langkah kaki Mbak Intan yang akan keluar dari rumah menuju tenda acara. Apakah mereka malu jika aku juga berada di sana?Aku di sini menantu, bukan pembantu. Kenapa aku yang harus berada di dapur? Seharusnya aku juga berada di depan, menyambut undangan dan berpakaian rapi seperti keluarga besar Mas Daris.Masih dengan kaki yang terasa lemas. Aku pun melangkah ke dapur. Piring kotor sudah menumpuk. Kalau aku membersihkan sendiri pasti akan lama. Tetapi harus meminta bantuan pada siapa? Semua keluarga besar Mas Daris sudah berpakaian cantik. Sangat tidak mungkin jika mereka datang membantuku."Ibu? Kok ibu tidak keluar? Paman ganteng sudah datang."Suara Caca menghentikan aktifitas tangan yang sedang mencuci piring."Ibu sedang banyak kerjaan, Sayang. Kamu ke ayah dulu ya. Nanti baju kamu kotor kalau dekat dekat dengan ibu." Senyum lembut tak lepas dari wajah selama aku berucap.Hati sangat senang melihat baju yang dipakai oleh Caca. Baju kebaya silver. Sangat kontras dengan kulit Caca yang putih. Warna kulit gadis kecilku sama denganku. Namun wajahnya sangat mirip dengan wajah Mas Daris."Memangnya ibu tidak penasaran dengan wajah paman ganteng," ujar Caca sambil melangkah mendekatiku."Kamu berdiri di situ saja, Nak. Di sini licin. Nanti bajunya kotor kalau kamu jatuh," ujarku sambil melanjutkan cucian piring. Sesekali kepala menoleh melihat Caca. Untung saja dia mengikuti perintah untuk tak mendekat."Tapi aku mau ibu juga duduk di depan. Masa ibu di sini cuci piring. Caca lihat ibu dari tadi hanya bersih-bersih dapur."Aku terdiam sejenak. Menarik napas lalu menoleh dan tersenyum pada gadis kecilku. Aku membilas tangan hingga bersih. Mendekati Caca dan duduk di lantai agar sejajar dengannya, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Kini kedua tanganku berada di pundak Caca."Nak, kalau ibu juga duduk di depan, siapa yang akan bereskan pekerjaan ini? Lagi pula tidak apa-apa ibu di sini. Caca 'kan tahu kalau ibu hobinya beres-beres rumah. Ibu lebih senang berada di dapur daripada menyambut tamu."Usia Caca sudah lima tahun lebih. Dia sudah semakin pintar berbicara. Mungkin Caca merasa aneh karena dari tadi aku sibuk ke sana kemari, berbeda dengan orang yang lain. Masih banyak yang Caca belum mengerti dan aku pun belum pantas untuk menjelaskan. Usianya masih terlalu dini untuk memahami yang terjadi pada ibunya."Ya sudah, kalau begitu Caca ke depan ya, Bu." Caca langsung berlari kecil."Jangan lari-lari, Nak." Aku sedikit mengeraskan suara. Caca pasti masih dapat mendengar.Aku kembali pada aktivitas semula. Menggeser piring yang telah bersih untuk di keringkan. Aku pikir pekerjaan sudah selesai di jam delapan pagi tadi. Ternyata bekas piring makan semalam, membuatku masih berada di sini.Sambil tangan terus bekerja, pikiranku melayang kemana-mana. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Terlindas dalam ingatan, kejadian beberapa hari lalu."Bu, tadi ada yang datang. Dia menawarkan diri untuk cuci piring di acara pertunangan Lona. Aku suruh untuk ke pasar saja, agar bertemu langsung dengan ibu."Masih jelas diingatan, empat hari yang lalu berkata begitu pada ibu mertua saat sedang istirahat setelah pulang dari pasar."Tidak usah pakai jasa tukang cuci piring. Pengeluaran ibu sudah banyak. Nanti 'kan ada kamu yang bisa cuci piring. Jadi tidak usah pakai jasa apapun."Saat itu, aku langsung bisa menebak, apa yang terjadi. Ibu mertua tidak menjahitkan baju untukku, aku juga disuruh untuk berada di dapur. Masihkah aku berharap untuk dianggap? Seharusnya tidak perlu. Tetapi bagaimanapun, aku istri Mas Daris. Aku juga sudah menjadi menantunya. Seharusnya aku berada di luar. Berpakaian dan berpenampilan cantik seperti yang lain.Kalau memakai jasa masak dan cuci piring, aku pikir juga tidak mahal. Bahkan mungkin lebih mahal baju pertunangan yang di pakai oleh Lona. Orang tua Mas Daris termasuk orang yang mampu dan di anggap sebagai keluarga berada di kampung ini. Mereka memiliki usaha toko sembako di pasar. Aku yakin mereka pasti memiliki uang untuk menyewa jasa cuci piring."Elena!"Terdengar suara Mas Daris memanggilku. Aku langsung mengusap tangan basah dibaju agar kering. Lalu bergegas ke arah suara."Iya, Mas," sahutku sambil melangkah.Mas Daris memperhatikan aku dari ujung kaki hingga kepala. Dia menatap dengan tatapan yang sulit aku artikan."Ada apa, Mas? Tamu undangan sudah makan? Apa ada makanan yang mau ditambahkan." Aku berkata dengan sangat lembut."Kamu jangan keluar. Tetap di sini saja." Mas Daris lalu melangkah meninggalkan aku yang sedang mematung."Kenapa Mas Daris juga menyuruhku untuk tidak keluar? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Padahal aku sudah mengganti baju. " lirihku sambil menatap langkah Mas Daris yang menjauh.Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini. Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah."Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada
Aku menatap Caca yang terlihat lahap. Merasa beruntung memiliki anak yang sejak kecil sangat mengerti keadaan ibunya. Tidak pernah merengek meminta sesuatu saat ibunya tidak mampu memberikan.Aku masih menemani Caca yang makan dengan lahap. Nanti saja lanjut mencuci piring. Aku juga butuh mengistirahatkan kaki yang rasanya sudah sangat lelah. "Boleh tambah?" Caca berkata dengan gaya gemas dan malu-malu. Aku langsung mencium pipi anak semata wayangku, lalu berkata, "boleh, Sayang. Tunggu ya, ibu tambahkan nasinya." "Jangan lupa dengan kuahnya … Enak, Bu." Caca berkata saat aku berdiri. "Iya, Nak," ucapku lalu melangkah dengan hati yang teriris. Hanya dengan kuah opor ayam, Caca sudah makan dengan lahap. Ayam di dalam panci masih banyak. Tetapi aku tidak berani mengambilkan untuk Caca."Elena, kamu ngapain?" Aku terkejut ketika mendengar suara memanggil namaku. Tangan yang sedang mengambil kuah opor ayam di panci, terhenti. Kepala menoleh melihat lelaki yang berdiri di pintu dapur.
Air mata mulai tergenang di kelopak sambil menatap Mas Daris. Setiap kali merayu untuk melakukan hubungan haram, Mas Daris selalu berjanji akan menikahi ku. Kalimat manis yang keluar dari bibirnya membuat hati luluh dan melakukan segala pintanya.Kamarku menjadi saksi dosa kami. Hampir setiap kali Tante Mita dan Om Bima keluar daerah, Mas Daris ke rumah dan kami melakukannya. Ya, melakukan aktivitas terlarang. Dia memanfaatkan saat rumah sedang kosong untuk merayuku. Setiap kali selesai melayani nafsu laknat, aku selalu menyesal dan takut, hingga hidup tak pernah tenang. Takut akan hamil, takut ibu tahu kelakuanku, takut masa depan hancur, takut Tante Mita dan Om Bima tahu kelakuanku. Takut membuat orang-orang kecewa padaku. Hingga akhirnya ketakutan itu terjadi. Aku hamil saat duduk di bangku SMA, menjelang ujian kelulusan sekolah. Terlalu dini! Tetapi semua sudah terjadi."Kamu yang pertama merayuku, Mas! Hingga akhirnya aku luluh dan mau melayani kamu. Kamu juga sering memaksa aku,
Saat itu aku tidak berniat lagi untuk menyuruh Mas Daris masuk ke dalam rumah. Entah apa tujuannya datang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya memikirkan janin dalam kandungan. Takut jika dia memaksa untuk menggugurkan malaikat tak bersalah dalam rahimku. Aku sudah berbuat dosa yang fatal, tak ingin lagi menambah dosa. Tidak mau menjadi pembunuh. "Kita bicara di dalam. Tidak enak bicara di pintu seperti ini." Suara Bas milik Mas Daris seolah menghipnotis. Tanpa berkata, aku bergeser dari depan pintu, berdiri ke samping. Mas Daris seakan mengerti pergerakanku, dia pun masuk ke dalam rumah, dengan gaya lambat. Aku pun menutup pintu."Aku minta maaf sudah marah-marah ke kamu."Perkataan Mas Daris yang pelan saat itu membuatku mengerutkan alis. Apa dia sedang kerasukan jin baik? Kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan maaf?"Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Elena. Aku tak ingin hubungan kita berakhir. Aku tak bisa hidup tanpa kamu." Mas Daris berkata sambil menatap
Setelah ijab kabul, aku di bawa oleh Mas Daris untuk tinggal di rumahnya. Beberapa hari tinggal di Rumah Mas Daris, aku tetap mendapatkan perlakuan buruk. Bahkan saat ada Mas Daris pun, aku tetap di hina. Mas Daris tak membantu, dia hanya diam saja dengan alasan, tak ingin membuat masalah lagi karena dia telah mempermalukan keluarganya. Apapun kalimat jahat yang keluar dari bibir orang tua dan keluarganya, Mas Daris hanya menyuruhku bersabar. Pernikahan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku pikir setelah Mas Daris bertanggung jawab, aku akan merasakan hidup yang sangat bahagia. Ternyata itulah awal dari penderitaan. Semua orang menganggap aku lah yang bersalah. Aku perempuan murahan, tidak lebih baik dari seorang pelacur."Ayah marah lagi? Apa Ayah bicara kasar lagi ke ibu, makanya sekarang ibu menangis?" Suara Caca menyadarkan lamunan dan menghentikan Isak tangis. Aku menatap, tangan kecilnya sedang menghapus air mataku. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah tidak kuat menj
Bunyi ketukan pintu menyadarkan aku. Terdengar suara mas Daris dari balik pintu. Apa mungkin tadi dia belum puas untuk marah? Apa dia masih ingin melanjutkan amarahnya? Apa mungkin dia belum puas berkata kasar?Aku menghapus bening yang terus berjatuhan. Di sampingku masih ada Caca, malaikat kecil penguatku. Aku berdiri, membawa Caca untuk duduk di kasur, lalu membuka pintu. Tidak ingin membuat orang di luar kamar bertanya-tanya, jika melihat Mas Daris lama berdiri di depan pintu kamar. "Mata kamu kenapa? Menangis?" tanya Mas Daris sambil menatap lekat. Tak perlu dijawab, Mas Daris pasti sudah tahu jawabannya. Keadaanku sudah sangat acak-acakan. Rambut yang tidak rapi dan baju yang kusut. Aku berjalan ingin duduk di kasur. Tidak mau menjawab pertanyaan Mas Daris karena di sini ada Caca. Tidak ingin pula Caca melihat Mas Daris dan aku bertengkar. Caca pasti akan takut. Aku semakin terpukul jika melihat Caca menangis histeris."Kenapa kamu menangis? … Kenapa kamu terlalu cengeng, Elen
***"Bu, kita mau kemana? Kenapa pakai baju bagus?" tanya Caca dengan lembut. Mungkin dia heran karena aku memakaikan baju yang dibeli saat lebaran. "Hari ini kita pergi jalan-jalan, sayang." Aku memakaikan baju di badan Caca dengan terburu. Kami harus keluar dari sekarang. Saat ini di Rumah hanya ada aku dan Caca. Semua orang sedang berada di pasar dan akan pulang ke Rumah di malam hari. Kebetulan ini hari minggu. Biasanya jika hari Minggu, pasar akan tetap ramai hingga malam. Jika ada yang melihatku keluar rumah dengan berpakaian rapi, pasti akan ada banyak lontaran pertanyaan."Kalau ada yang tanya kita ke mana, katakan saja kalau kita mau ke Rumah Nenek." Setelah Caca sudah rapi, aku pun mengganti baju. Memakai celana hitam dan baju marun. Rambut di ikat, tak lupa masker yang menutupi wajah. Aku melihat pantulan diri depan cermin. Benar kata Mas Daris, aku kini sangat gemuk. Sudah lama tidak menimbang badan. Tak tahu berapa kenaikan berat badanku saat ini. Setelah melahirkan
Kami tiba di Mall ketika jarum jam menunjuk pukul sebelas. Aku melihat wajah Caca yang sangat ceria. Berjalan sambil menampakan wajah yang bahagia."Bu, Caca boleh beli mainan?" tanya Caca saat kami melewati toko mainan. "Nak, kamu main saja ya di sini. Jangan beli mainan. Terserah mau main apa saja. Pokoknya hari ini Caca bisa main sepuasnya. Tetapi ibu tidak mengizinkan untuk membeli mainan dan dibawa pulang." "Memangnya kenapa, Bu? Kenapa aku tidak bisa beli mainan? Aku ingin beli barbie, beli boneka panda, beli tas sekolah. Tidak apa-apa kalau aku tidak main, Bu. Asalkan bisa beli dan dibawa pulang. Uang yang dikasih oleh ayah dibelikan saja mainan ya, Bu." Andai saja kami sudah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Daris, aku akan menyuruh Caca untuk membeli sepuasnya yang dia mau. Aku tak akan membiarkan dia menjadi anak yang seakan memiliki ibu tidak mampu. Hanya saja, sekarang tidak bisa. Jika aku membelikan mainan untuk Caca, ibu mertua pasti akan banyak bertanya tentang asa