Share

Anak Durhaka

Author: Kutudollar
last update Huling Na-update: 2023-11-18 09:30:23

Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku.

"Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku.

Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang.

Apa yang terjadi?

"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"

Aku terdiam, memegang dua kantung plastikku dengan erat saat wanita gemuk itu berbalik dan melihat keberadaanku. Matanya mendelik, menatap marah padaku.

"Kamu lagi! Bilang sama ibu kamu, kalau nggak bisa bayar uang sewa setidaknya nggak usah kurang ajar!"

Aku menunduk takut.

"Sok-sokan sekolah lagi! Kayak punya duit aja!" umpatnya lagi.

Wanita itu menarik tas yang kudekap di dada, membuatnya terjatuh. Isi tasku berhamburan di tanah. Tak cukup, dia juga mendorong kepalaku hingga nyaris tersungkur.

Kupunguti buku yang berserakan di tanah. Saat itulah aku melirik ke arah kanan rumah, rumah terdekat dengan rumahku. Tiga orang wanita tengah asyik berbisik dengan bibir yang mengekspresikan rasa tidak suka.

Mereka kenapa?

Apa yang mereka bicarakan?

Kudorong pelan daun pintu dan memasukinya dengan hati-hati. Aku tercenung melihat Ibu duduk di lantai, memeluk lutut, dan menangis. Tidak ada Kaina maupun Kinara bersamanya. Mungkin dua adikku itu sedang tidur.

Apa yang terjadi?

"Bu—"

"Kenapa baru pulang?" bentaknya membuatku terkejut.

"Leena ... Leena ambil sampah, Bu!" jawabku takut.

"Sampah? Hanya sampah? Kenapa kau sama saja dengan bapakmu itu? Buat apa kamu sekolah kalau cuma jadi tukang ambil sampah, hah?"

Aku menunduk, tak berani menatap Ibu yang sudah kupastikan tengah melotot ke arahku.

"Apa nggak ada kerjaan lain yang bisa kamu kerjakan, hah?"

Aku tetap diam, mencengkeram plastik dengan erat.

Klontang ....

Aku dan Ibu kompak menoleh, ke arah sofa tempat nenek berbaring.

"Apa lagi, Bu?" tanya Ibu dengan suara keras menatap nenek yang menggeliat pelan di atas tempat tidurnya.

Aku menelan ludah melihat piring seng yang berisi nasi tumpah ke lantai. Bukan rasa ingin makan yang membuatku menelan ludah, tapi kemarahan Ibu yang sebentar lagi pasti akan meledak.

Benar saja. Ibu bangkit berdiri dan menghampiri nenek.

"Sudah tahu nggak ada makanan lain, kenapa nasinya dibuang? Kalau nggak mau, tinggalkan saja!" bentak Ibu membuat nenek terdiam. Nenek terbatuk sebentar dengan tangan yang memegangi tubuh bagian belakangnya, seolah memberi tahu sesuatu.

"Apa? Berak lagi? Berapa kali ibu buang air besar, hah? Aku capek bersihinnya, Bu!"

Dengan kasar Ibu menarik tubuh nenek hingga terduduk. Ditariknya kain robek yang digunakan sebagai alas tidur nenek. Kain kotor dan berbau itu dibuang begitu saja di lantai.

"Bisa kan ngesot sendiri ke kamar mandi? Buang air sendiri!" bentak Ibu lagi.

Ibu lantas mengangkat tubuh renta nenek dan membawanya ke pemandian belakang. Aku ngilu menatap bagaimana tangan nenek terangkat ke atas karena Ibu mengangkatnya terlalu tinggi. Entah apa yang dirasakan nenek dalam kondisi seperti itu.

Aku memejamkan mata setelah Ibu mendudukkan nenek di lantai pemandian yang dingin dan melepas paksa semua yang dikenakan nenek. Aku menggeleng keras dengan air mata yang mulai mengalir. Rasanya aku ingin tuli saja saat suara guyuran air perlahan disiramkan Ibu dengan kasar pada tubuh nenek. Ya, Ibu pasti menyirami nenek seperti saat menyiramiku dulu. Sepertinya bukan hanya air, tapi juga beberapa kali pukulan gayung mendarat di tubuh nenek.

Telingaku bagai ditusuk besi saat samar-samar kudengar suara rintihan nenek yang kedinginan atau mungkin kesakitan.

"Ibu!"

Aku berlari menuju pemandian setelah menjatuhkan plastikku. Segera kudekap tubuh renta nenek yang kedinginan. Ibu berusaha mejauhkanku, tapi aku tetap memeluknya dengan erat.

"Sudah, Bu. Leena mohon!" rengekku sembari menangis. "Jangan sakiti nenek!"

"Apa? Mau bela dia? Buat apa?"

Ibu menarik tubuh nenek dari pelukanku, aku lebih mengeratkan pelukan.

"Oh, kamu mau juga?"

Dengan kasar dan cepat Ibu kembali menyiramkan air. Kali ini bukan hanya pada nenek, tapi juga padaku. Aku menangis memeluk nenek. Membiarkan guyuran air terus membasahiku, termasuk satu-satunya seragam sekolah yang kupunya. Biarlah!

"Kalian berdua sama saja! Menyusahkan!" bentak Ibu sembari terus menyiramkan air dari bak. Sesekali pukulan gayung mampir di kepalaku, karena aku menahan pukulan yang hendak diberikan Ibu pada nenek. Aku hanya menggigit bibir saat suara gayung yang beradu dengan kepalaku bersamaan dengan rasa sakit yang lumayan.

Hingga kemudian guyuran air berhenti. Ibu jatuh terduduk di lantai pemandian dan menangis. Dia memeluk lutut, terisak.

"Kenapa hidupku begini, Tuhan?" ucapnya bergetar.

"Kenapa aku tidak mati saja?"

Aku diam. Perlahan kubantu nenek berdiri, meski tidak bisa. Aku lantas susah payah membawa nenek yang kedinginan dan tanpa pakaian ke dalam, ke tempat tidurnya kembali. Kuambil kain panjang dari tumpukkan pakaian dan baju.

Air mataku mengalir deras saat melihat memar kebiruan di punggung nenek. Memar yang mungkin diakibatkan oleh pukulan gayung Ibu, atau sebab yang lain. Tanganku bergetar mengusapnya pelan. Nenek bergerak tidak nyaman saat aku mengusapnya.

Apakah sesakit itu?

Kuselimuti nenek dengan banyak kain bekas dan baju-baju besar. Mendekapnya sesaat, memberi kehangatan. Perlahan nenek tenang. Aku lantas membawa kain kotor dan bau bekas nenek ke belakang. Kulihat Ibu masih di sana, masih menangis.

"Apa Ibu jahat?"

Aku yang hendak berbalik, mengurungkan langkah dan menatapnya. Wanita kurus dan kusam itu sesenggukkan. Dia menekan-nekan dada yang mungkin terasa sesak karena menahan tangis.

"Ibu hanya melakukan apa yang nenek lakukan dulu. Apa Ibu salah?"

Aku terdiam.

Apa maksud Ibu?

"Kau tahu? Karena hamil kamu, Ibu dihajar habis-habisan oleh nenek. Ibu bahkan nyaris keguguran, kehilangan kamu. Nenek jijik dan tidak sudi karena Ibu hamil di luar nikah."

Ibu terisak.

"Nenek bahkan mengusir ibu. Tidak menganggap ibu sebagai anaknya. Nenek malu dengan keluarga yang lain."

Ibu menutup wajahnya dengan tangan. Menumpahkan tangis.

Cerita Ibu terhenti karena terdengar suara rengekkan Kaina di kamar. Ibu bergegas bangkit dan mengganti baju lantas ke kamar. Meninggalkan aku yang masih bengong dengan ceritanya. Kutoleh nenek yang berbaring. Samar kulihat tangan keriputnya mengusap mata dan pipi.

Apa nenek menangis?

Apa nenek mendengar cerita ibu?

Apa yang nenek rasakan?

Apa yang nenek lakukan pada Ibu dulu?

Lalu bagaimana nenek bersama kami?

....

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status