Share

Anak Durhaka

Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku.

"Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku.

Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang.

Apa yang terjadi?

"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"

Aku terdiam, memegang dua kantung plastikku dengan erat saat wanita gemuk itu berbalik dan melihat keberadaanku. Matanya mendelik, menatap marah padaku.

"Kamu lagi! Bilang sama ibu kamu, kalau nggak bisa bayar uang sewa setidaknya nggak usah kurang ajar!"

Aku menunduk takut.

"Sok-sokan sekolah lagi! Kayak punya duit aja!" umpatnya lagi.

Wanita itu menarik tas yang kudekap di dada, membuatnya terjatuh. Isi tasku berhamburan di tanah. Tak cukup, dia juga mendorong kepalaku hingga nyaris tersungkur.

Kupunguti buku yang berserakan di tanah. Saat itulah aku melirik ke arah kanan rumah, rumah terdekat dengan rumahku. Tiga orang wanita tengah asyik berbisik dengan bibir yang mengekspresikan rasa tidak suka.

Mereka kenapa?

Apa yang mereka bicarakan?

Kudorong pelan daun pintu dan memasukinya dengan hati-hati. Aku tercenung melihat Ibu duduk di lantai, memeluk lutut, dan menangis. Tidak ada Kaina maupun Kinara bersamanya. Mungkin dua adikku itu sedang tidur.

Apa yang terjadi?

"Bu—"

"Kenapa baru pulang?" bentaknya membuatku terkejut.

"Leena ... Leena ambil sampah, Bu!" jawabku takut.

"Sampah? Hanya sampah? Kenapa kau sama saja dengan bapakmu itu? Buat apa kamu sekolah kalau cuma jadi tukang ambil sampah, hah?"

Aku menunduk, tak berani menatap Ibu yang sudah kupastikan tengah melotot ke arahku.

"Apa nggak ada kerjaan lain yang bisa kamu kerjakan, hah?"

Aku tetap diam, mencengkeram plastik dengan erat.

Klontang ....

Aku dan Ibu kompak menoleh, ke arah sofa tempat nenek berbaring.

"Apa lagi, Bu?" tanya Ibu dengan suara keras menatap nenek yang menggeliat pelan di atas tempat tidurnya.

Aku menelan ludah melihat piring seng yang berisi nasi tumpah ke lantai. Bukan rasa ingin makan yang membuatku menelan ludah, tapi kemarahan Ibu yang sebentar lagi pasti akan meledak.

Benar saja. Ibu bangkit berdiri dan menghampiri nenek.

"Sudah tahu nggak ada makanan lain, kenapa nasinya dibuang? Kalau nggak mau, tinggalkan saja!" bentak Ibu membuat nenek terdiam. Nenek terbatuk sebentar dengan tangan yang memegangi tubuh bagian belakangnya, seolah memberi tahu sesuatu.

"Apa? Berak lagi? Berapa kali ibu buang air besar, hah? Aku capek bersihinnya, Bu!"

Dengan kasar Ibu menarik tubuh nenek hingga terduduk. Ditariknya kain robek yang digunakan sebagai alas tidur nenek. Kain kotor dan berbau itu dibuang begitu saja di lantai.

"Bisa kan ngesot sendiri ke kamar mandi? Buang air sendiri!" bentak Ibu lagi.

Ibu lantas mengangkat tubuh renta nenek dan membawanya ke pemandian belakang. Aku ngilu menatap bagaimana tangan nenek terangkat ke atas karena Ibu mengangkatnya terlalu tinggi. Entah apa yang dirasakan nenek dalam kondisi seperti itu.

Aku memejamkan mata setelah Ibu mendudukkan nenek di lantai pemandian yang dingin dan melepas paksa semua yang dikenakan nenek. Aku menggeleng keras dengan air mata yang mulai mengalir. Rasanya aku ingin tuli saja saat suara guyuran air perlahan disiramkan Ibu dengan kasar pada tubuh nenek. Ya, Ibu pasti menyirami nenek seperti saat menyiramiku dulu. Sepertinya bukan hanya air, tapi juga beberapa kali pukulan gayung mendarat di tubuh nenek.

Telingaku bagai ditusuk besi saat samar-samar kudengar suara rintihan nenek yang kedinginan atau mungkin kesakitan.

"Ibu!"

Aku berlari menuju pemandian setelah menjatuhkan plastikku. Segera kudekap tubuh renta nenek yang kedinginan. Ibu berusaha mejauhkanku, tapi aku tetap memeluknya dengan erat.

"Sudah, Bu. Leena mohon!" rengekku sembari menangis. "Jangan sakiti nenek!"

"Apa? Mau bela dia? Buat apa?"

Ibu menarik tubuh nenek dari pelukanku, aku lebih mengeratkan pelukan.

"Oh, kamu mau juga?"

Dengan kasar dan cepat Ibu kembali menyiramkan air. Kali ini bukan hanya pada nenek, tapi juga padaku. Aku menangis memeluk nenek. Membiarkan guyuran air terus membasahiku, termasuk satu-satunya seragam sekolah yang kupunya. Biarlah!

"Kalian berdua sama saja! Menyusahkan!" bentak Ibu sembari terus menyiramkan air dari bak. Sesekali pukulan gayung mampir di kepalaku, karena aku menahan pukulan yang hendak diberikan Ibu pada nenek. Aku hanya menggigit bibir saat suara gayung yang beradu dengan kepalaku bersamaan dengan rasa sakit yang lumayan.

Hingga kemudian guyuran air berhenti. Ibu jatuh terduduk di lantai pemandian dan menangis. Dia memeluk lutut, terisak.

"Kenapa hidupku begini, Tuhan?" ucapnya bergetar.

"Kenapa aku tidak mati saja?"

Aku diam. Perlahan kubantu nenek berdiri, meski tidak bisa. Aku lantas susah payah membawa nenek yang kedinginan dan tanpa pakaian ke dalam, ke tempat tidurnya kembali. Kuambil kain panjang dari tumpukkan pakaian dan baju.

Air mataku mengalir deras saat melihat memar kebiruan di punggung nenek. Memar yang mungkin diakibatkan oleh pukulan gayung Ibu, atau sebab yang lain. Tanganku bergetar mengusapnya pelan. Nenek bergerak tidak nyaman saat aku mengusapnya.

Apakah sesakit itu?

Kuselimuti nenek dengan banyak kain bekas dan baju-baju besar. Mendekapnya sesaat, memberi kehangatan. Perlahan nenek tenang. Aku lantas membawa kain kotor dan bau bekas nenek ke belakang. Kulihat Ibu masih di sana, masih menangis.

"Apa Ibu jahat?"

Aku yang hendak berbalik, mengurungkan langkah dan menatapnya. Wanita kurus dan kusam itu sesenggukkan. Dia menekan-nekan dada yang mungkin terasa sesak karena menahan tangis.

"Ibu hanya melakukan apa yang nenek lakukan dulu. Apa Ibu salah?"

Aku terdiam.

Apa maksud Ibu?

"Kau tahu? Karena hamil kamu, Ibu dihajar habis-habisan oleh nenek. Ibu bahkan nyaris keguguran, kehilangan kamu. Nenek jijik dan tidak sudi karena Ibu hamil di luar nikah."

Ibu terisak.

"Nenek bahkan mengusir ibu. Tidak menganggap ibu sebagai anaknya. Nenek malu dengan keluarga yang lain."

Ibu menutup wajahnya dengan tangan. Menumpahkan tangis.

Cerita Ibu terhenti karena terdengar suara rengekkan Kaina di kamar. Ibu bergegas bangkit dan mengganti baju lantas ke kamar. Meninggalkan aku yang masih bengong dengan ceritanya. Kutoleh nenek yang berbaring. Samar kulihat tangan keriputnya mengusap mata dan pipi.

Apa nenek menangis?

Apa nenek mendengar cerita ibu?

Apa yang nenek rasakan?

Apa yang nenek lakukan pada Ibu dulu?

Lalu bagaimana nenek bersama kami?

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status